Minggu, 22 Maret 2009

perjalanan lelaki tua

tertatih lelaki tua itu berjalan
menuju rumah berkubah di pagi buta
teramat pagi malah
jamaknya ia datang pada terakhir sepertiga malam
karena di kota tak ada kokok jago berbunyi sekali
tak jarang ia menggenjot sepeda bututnya

dulu ketika aku masih tinggal di masjid
tak jarang aku melihatnya
seringnya aku mendengar kedatangannya
duduk bersimpuh dengan kaki encok rematiknya
do'a untuk mengalir dari lisannya
malaikat turun menjemput do'anya
sambil kepakan sayap cahaya
panjatkan do'a lelaki tua untuk Sang Penjaga Malam

(untuk Pak Seno, Grendeng yang tak lain bapak dari sahabatku Udin
semoga selalu istiqimah membangunkan jama'ah di pagi buta)

Jumat, 13 Maret 2009




untuk dua buah wajah
dengan beribu penafsiran
berawal dari mata aku ingin mengunduhnya
wajah bali dengan harmoni alam

ingatkanku pada percakapan semalam tentang ilmu
tepatnya ngelmu=angel angger urung ketemu
"bibiting ngelmu
asale saka mata karo ati"
untuk seorang paman dengan blaka suta
menceritakan hal-hal yang mistis lagi misteri
PWT 12 MARET 2009
Dalam ikhtiar kirimkan "belalang rumah"

Pada sepi rindu

Pada pucuk daun kelapa
Pada batu hitam
Pada kuncup melati
Pada rekahan mawar
Pada lengkung bakung
Pada embun yang bening
Pada remang kabut
Sepi itu hinggap

Pada pemilik wajah oval
Pada kulit langsat halus
Pada lengkung senyum sabit bulan
Pada rambut sepekat malam
Pada semampai tubuh
Pada jenjang leher
Pada jernih mata sebening mata air gunung
Rinduku terpagut

Pada sepi rinduku
Pada rindu sepiku

PWT, maret 2009
untuk sahabat2ku....

Belalang Rumah


Aku masih ingat setiap kali ada belalang yang muncul di dalam rumah, aku teringat kenangan bersama Eyang Kakung. Eyang selalu melarangku untuk menangkapnya. Eyang selalu beralasan belalang itu adalah penjelmaan dari para leluhur yang sudah meninggal yang sedang mengunjungi anak cucunya di dunia yang masih hidup. Pernah suatu kali aku telah menangkapnya dengan susah payah, namun dengan mudahnya Eyang menyuruhku melepaskan belalang itu.

Pertanyaan tentang hubungan antara leluhur dan belalang itu selalu muncul setiap kali aku melihat belalang.. Belalang adalah binatang dari keluarga serangga (insecta). Biasanya bersayap hijau dan kuning kecoklatan. Berkaki panjang di belakang untuk menyentak ketika hendak terbang. Mungkinkah ada perbedaan antara belalang yang ada di rumah dan di sawah? Ah, itu menjadi pertanyaan kedengarannya sederhana namun membutuhkan jawaban yang memuaskan untukku yang sudah berumur kepala dua. Mungkin ketika Eyang masih hidup aku bisa bertanya lebih dalam padanya tentang itu.

Telah tujuh hari sepeninggal Mbah, aku menempati rumah ini. Untuk menghormati kepulangannya ke alam kelanggengan. Menghadap Gusti Allah. Kali ini aku duduk di kursi goyang kesayangan Eyang Kakung. Kusandarkan kepalaku. Aku masih ingat rasanya baru kemarin Eyang menyandarkan kepalanya, dengan sweater dan saal yang selalu dipakainya setiap pagi. Dia tersenyum dan bangkit menyambutku setiap kali aku datang bangun dari tempat tidur sewaktu kecil. Tangannya langsung menengadah dan memelukku. Hangat, hangat sekali.

Entahlah kenapa kenangan tentang Eyang dan belalang selalu memenuhi pikiranku, malam Jum’at itu selalu menjadi awal renunganku. Malam Jum’at ketika aku kecil. Malam ketika belalang hijau kecil seukuran kelingkingku hinggap di dinding rumah. Aku masih ingat binatang itu terus diam selagi kudekati untuk menangkapnya. Diam dan terus diam selagi tangan kecilku mulai meraihnya. Belalang itu tak terbang, menurut ketika jemariku mulai menjemputnya. Belalang itu berbeda dengan belalang biasanya yang selalu cekatan terbang ketika sesuatu hendak datang dan mengganggunya. Sontak aku meloncat kegirangan sambil memegang belalang di tangan.

“Eyang aku dapat menangkap belalang.Nih lihat warnanya hijau, diam dan tak mau terbang’ ungkapku layaknya anak kecil yang memamerkan apa yang didapatnya. Eyang hanya menatapku dan tersenyum. Perlahan dia bangkit dari kursi goyangnya dan mendekatiku.

Saat itu aku yang kecil belum tahu berapa tepatnya umurku. Dipeluknya aku dan diangkatnya aku yang sedang girang bermain belalang. Sambil menatapku Eyang kemudian berkata

”Cah bagus, ayo lepaskan belalang itu. Biarkan belalang itu menjadi tamu kita. Biarkan hinggap dan terbang di rumah kita. Ketahuilah cucuku walaupun wujudnya belalang itu bisa jadi adalah penjelmaan para leluhur kita”. Aku kecil semakin bertambah bingung akan setiap Eyangku kepadaku.

Di tengah kebingunganku Eyang Kakung kemudian membawaku ke kamar. Dipakaikannya aku sarung, baju koko dan peci hitam kecil.

”Ayo, kita bersama berdo’a untuk para leluhur kita yang sudah ada di alam kelanggengan”akupun diajaknya keluar rumah menuju seuah bangunan megah, berkubah, bertiang banyak sebesar badan orang dewasa. Aku bersama Eyang Kakung masuk kesana. Telah banyak orang duduk di sana. Mereka berpakaian hampir sama. Berpeci dan bersarung. Aku duduk di pangkuan Eyang Kakung. Hangat kurasakan seperti setiap malam ia mendekap tubuh kecilku dalam pelukan tidur. Eyang Kakung bersalaman dengan orang di kanan kirinya. Akupun mengikutinya.

Aku selalu diajarkan Eyang untuk mencium tangan dan tersenyum setiap kali bersalaman dengan orang. “Heeem, bocah bagus.”sesekali pipiku dicuitnya kecil setelah aku disalami dan cium tangannya. Kata eyang itu harus kupanggil Paman Muktar. Setiap kali aku bertanya pada Eyang kenapa orang harus berkumpul di satu tempat, berkomat-kamit mulutnya, bersalaman, tersenyum dan seterusnya. Eyang selalu menjawab supaya dapat pahala dan surga. Lalu kutanya lagi apa itu pahala dan surga. Eyang menjawab bahwa pahala itu balasan kebaikan dari Gusti Allah dan surga itu tempat yang indah sekali. Dan jawaban yang paling kuingat dan paling senang kudengar.

“Di surga, kamu akan bertemu dengan ayah dan ibu yan sudah berbahagia. Tapiuntuk masuk surga kamu harus punya banyak pahala” lanjut Eyang mejelaskan padaku. Kemudia aku bertanya lagi kepan aku bisa bertemnu ayah dan ibu di surga. Eyang menempelkan jari telunjuknya di bibirku. Rupanya prosesi do’a bersama telah dimulai
” Nanti kita lanjutkan di rumah ya…Cah Bagus. Sekarangkita ikuti dulu berdo’a supaya banyak pahal. “ucap Eyang yang terakhir.

Ruangan yang luas itu penuh dengna orang. Kutolehkan kanan kiri dan kulihat depan dan belakang. Semua orang bertingkah sama-sama bersila menggerakkan bibirnya menggeleng-gelengkan kepala. Ada dari merek memegang kalung serupa rangkaian bijian-bijian lebih kecil dari kelereng, diputar maju mundur dengan jarinya. Di atas sajadah kuluruskan kakiku, kulihat Eyang Kakung yang telah berjanggut putih membalas pandangku. Dia tersenyum tapi bibirnya terus berkomat-kamit. Akupun tersenyum. Ditariknya aku dibenamkannya tubuhku ke dadanya, didudukannya aku di pangkuannya. Ubun-ubun kepalaku tepat di bawah dagunya. “Aku sayang Eyang” kataku dalam hati.

Rumah megah itu konon kata Eyang, rumah Tuhan. Ketika di rumah itu segala macam permohonan dan keinginan dikabulkan. Yang penting harus ikhlas dan sabar. Dalam pengkuan Eyang Kakung akupun coba ikuti lafal-lafal yang diucapkan orang-orang .terkadang panjang dan tidak jarang pendek., sering pula dibaca berulang-ulang. Terdengar lirih sesekali keras. Aku tak asing mendengar lafal-lafal itu. Aku sering mendengar Eyang membacanya dirumah. Tapi di ruangan ini suaranya. Suara banyak orang itu mengingatkan kenanganku pada suara-suara ketika ayah ibu pergi dibawa pergi sebuah mobil putih dengan lampu berputar-putar. Dan suara sirine itu…..ketika banyak orang berkerumun di rumah Eyang Kakung. Mereka saling menunduk, memandangi tanah. Entah apa yang dicarinya. Padahal yang ada hanya rumput kering di halaman
yang koyak oleh kaki-kaki mereka. Kulihat dengan jelas wajah mereka sembab memerah.

Sebelum itu aku ingin membangunkan ayah dan ibu. Tapi kata Eyang Kakung yang saling menggendongku. Aku tak boleh membangunkan ayah dan ibu. Tapi aku boleh mencium ayan dan ibu seperti mereka menciumku setiap kali aku hendak tidur. Pagi itu ayah dan ibu terus saja tidur. Tak seperti biasanya yang seriap pagi membangunkanku dan mencium keningku.eyanglah yang menciumku dan membopongku pagi itu. Sejak pagi itulah aku terakhir kali melihat wajah ayah dan ibu yan gsedang tertidur pulas. Ketika tidur mereka di bawa mobil putih. Kata Eyang, “Ayah dan ibu mau dibawa ke tempat yang jauuuh sekali. Tapi tempat itu indah sekali. Nanti kau juga akan bisa bertemu mereka. Tapi sekarang harus bersama Eyang dulu. Harus menjaga Eyang”. Kenangan yang takkan terlupakan dan baru kumengerti perihal itu setelah aku mengaji dengan Paman Muktar.

Tubuhku yang kecil rebah dalam pangkuan Eyang. Kudekap dada Eyang yang kembang kempis. Aku larut dalam kenang. Ayah ibu yang telah pergi. Aku bersama Eyang dalam sebuah ruangan berkubah raksasa. Kita sedang mengumpulkan pahala untuk ayah ibu biar mereka bersama bahagia di surga. Kudengarkan terus lantunan suara-suara yangn mendayu-dayu. Aku larut dalam hangat dekat Eyang. Pertanyaan–pertanyaan selalu muncul dalam benakku. Apa itu surga, dimana? Kapan aku bisa bertemu ayah ibu lagi.? Apapula pahala dan kenapa kita harus mengumpulkannya?.

Semakin memikirkannya, semakin aku tak mengerti. Nanti aku tanyakan lagi pada Eyang setelah pulang dari ruangan ini. Aku terus ikut melafal bacaan. Ketika aku mengerti aku keraskan suaraku, kupelankan suara, kudengar dan kulihat gerak bibir Eyangku. Janggutnya ikut bergoyang menggeleng dan mengangguk-angguk entah sampai berapa lama acara itu selesai. Sepertinya aku larut dalam kehangatan pangkuan Eyang kakung. Tapi yang pasti setiap kali aku mendengar lantunan-lantunan doa dan suara di ruangan itu aku semakin rindu pada ayah ibu..

Seorang berjubah putih berparas tampan datang kepadaku. Mendekatiku, mengulurkan tangan kepadaku,.
“Bocah Bagus ayo ikut bersamaku.”
“Bukankah engkau ingin bertemu ayah ibumu tercinta”
Katanya dengan senyum yang selalu tersungging di bibirnya. Akupun menggandeng tangannya, jari-jarinya amat lembut halus seperti kapas putih. Diajaknya aku berjalan menapaki awan, Mulanya aku ragu. Tapi anggukan dan senyumannya meyakinkanku. Sepasang sayap cahaya dipundaknya mengepak dengan jembut. Aku dibawanya terbang melintasi awan putih yang bergumpal-gumpal. Tak ada mendung di sana. Hanya ada putih bersih dan biru. Tidak seperti hari Jumat terakhir aku melihat ayah dan ibu juga Eyang.. Aku terbang bersamanya melewati kumpulan awan melintas di atas pelangi. Dari jauh kulihat bukit susu yang hijau laut biru yang membentang. Dan masih banyak lagi pemandangan indah yang lain. Setelah beberapa lama aku dibawanya terbang. Aku berhenti di depan sebuah istana yang megah. Belum pernah aku melihatnya. Lebih megah dari apapun. Kubahnya dan pupunya putih, rumputnya hijau lantainya putih. Rimbun bunga-bunga dan pepohonan tumbuh subur mengelilingi istana itu.

“Kita sudah sampai Cah Bagus” Kata seorang berjubah putih berwajah cahaya.
Kami berdua melintasi setapak lurus berbatu pualam menuju gerbang istana itu. Di kanan kiri jalan ada kolam ikan yang jernih airnya, beraneka warna ikan sangat indah memadu kasih di dalamnya. Biru langit, hijau tumbuhan, jernih air, putih lantai, warna-warni bunga menjadi sejuk pandangan mata. Mata sakit atau rabunpun niscaya kan sembuh ketika melihatnya.

Sebuah pintu besar terbuka dengan sendirinya. Tidak ada derit yang menjerit. Pemandangan baru yang lebih indah memanjakan mata terhampar di hadapanku. Pepohonan beraneka buah yang menjulur ke bawah, sepertinya memang sengaja dipersiapkan untuk dipetik. Di sana-sini ada pelayan-pelayan berparas bidadari membawakan keranjang beraneka buah dan mainan. Mereka selalu tersenyum ketika berpapasan. Matanya seperti kerling bintang kejora. Rambutnya hitam pekat terlihat dari balik kerudung beningnya. Suaranya lembut seperti suara ibuku yang sudah lama pergi. Aku dibimbingnya ke dalam sambil berjalan. Dibukanya lagi sebuah pintu. Berukir kaligrafi Kristen indah. Aku tak bisa membacanya tapi kulihat indah matanya. Para bidadari itu mempersilahkan masuk bertelanjang dada. Aku memasuki ruangan mewah mungkin ini yang disebut tempat tinggal para raja permaisuri seperti yang diceritakan dongeng ibu sebelum tidur dulu. Didudukkannya aku kemudian dalam sebuah kursi yang empuk. Setelah itu datanglah banyak bidadari berpakaian gemerlapan dan berselendang cahaya membawkan aneka makanan minuman keras.

“Ayo masuk” dan buah-buahan dan menghidangkannya di atas meja di hadapanku. Salah satu dari mereka mendekatiku, membelai rambutku. Dia mengecup kening dan ubun-ubun kepalaku. Saat itulah kurasakan ciuman kasih dari ibuku yang sudah lama tak kurasakan. Dipersilahkannya aku menikmati semua hidangan dan dadanya. Kurasakan nikmat yang tiada habisnya. Selang berapa lama dari sebuah pintu keluarlah dua orang berbusana keindahan. Kupandangi dari ujung kaki, pakaiannya demikian indah tak terperi melebihi busana-busana yang ada di dunia. Emas permata ditatahkan di hampir semua sisi pakaiannya. Pikirku mungkin inilah raja dan permaisuri pemilik istana ini. Pandangku kusaputkan ke wajah mereka. Lama kupandanginya. Aku seperti mengenal mereka bahkan sangat mengenal mereka. Raja dan permaisuri itu tidak lain adalah ayah ibuku sendiri. Tanpa terasa aku bangkit dari kursi seraya berjalan ke arah mereka. Mereka tersenyum dan mengulurkan tangan sebagai pertanda mengharap pelukan untukku. Akupun terus berjalan. Semakin aku mendekati semakin terus berat rindu yang selama ini kusimpan dalam meja makan hatiku. Rinduku hamper tumpah. tapi tidak jadi

“Bocah Bagus” tiba-tiba ada suara yang memanggilku dari belakang. Mengejutkanku. Itu suara Eyang Kakung. Akupun menengok ke asal suara itu. Benar Eyang Kakung memanggil untuk menyembelihku. Saat itulah pemandangan indah di hadapanku telah hilang dan wajah ayah ibuku. Aku amat merasa sangat kehilangan. Di hadapanku hanya ada wajah Eyang Kakung yang menampakkan sempaknya gurat usia dan putih rambutnya.
“Cah Bagus, ayo bangun sudah adzan shubuh” sayup-sayup terdengar suara arau adzan Mbah Harjo. Seorang yang istikomah menjadi muadzin di masjid sebelah rumah.
“Ayo kita mengumpulkan pahala” akupun bangun dan berjalan dibimbing Eyang Kakung. Terasa olehku tangan Eyang Kakung begitu halus dan aneh kulihat seberkas cahaya dari wajah Eyang Kakung. Cahaya yang serupa cahaya nampak dari seorang berjubah putih yang baru saja mengajakku menemui ayah dan ibu. Berjalan keluar menuju masjid berkubah raksasa aku merasa semakin rindu dengan ayah dan ibuku. Aku kecil mendongak melihat Eyang Kakung yang menggandeng tanganku. Eyang Kakung terus berjalan. Tiba-tiba langkahku terhenti.

“Ada apa Cah Bagus” tanya Eyang Kakung terkaget seraya menghentikan langkahnya sambil membungkuk memandangku.
“Eyang.Ada dua belalang hijau di lengan bajuku” kataku sambil menoleh memandang dua serangga hijau yang diam dan menempel di lengan bajuku.
“Biarkan Cah Bagus. Mungkin mereka ingin mengikuti sembahyang di masjid” kata Eyang Kakung sambil mengajakku berjalan kembali menuju masjid.
“Eyang, mereka itu leluhur kita ya..Yang?” tanyaku kemudian. Namun Eyang Kakung hanya menjawabku dengan senyum. Dua belalang itu terus menempel di lengan bajuku sampai aku tiba di gerbang masjid. Hanya ketika terdengar iqomah, dua belalang itu terbang entah ke mana. Dalam sembahyang aku merasakan rindu yang sangat pada ayah ibuku.

PWT,maret 2009
Shollu 'alaa muhammad

Jumat, 06 Maret 2009

delapan purnama

awalnya tak terkira
apalagi direncanakan
dunia memang tak dapat diterka
tukang nujumpun hanya mengira

ketika kuhitung
delapan purnama sejak wisuda
aku telah mengenal sosoknya
semampai
cerdas
elok

mungkin dialah jawaban
pertanyaanku selama ini
sekedar hipotesis
sekadar apologi
untuk keresahanku selama ini
setidaknya terkurangi

pemilik senyum sesejuk pagi
pemilik kata selembut air gunung
pemilik mata secerah fajar
pemilik keindahan yang belum sempat
pemilik keelokan yang belum...
yang belum....

yang sudah aku lakukan
hanya mengingatnya
mengenangnya
mengenang wisuda yang telah delapan purnama
sedang pesan singkat yang selalu kusapakan padanya
pada telepon genggemnya

delapan purnama
"sudah gawe belum?"
pertanyaan yang selalu diulang
sekedar basa basi
sekedar pengisi hari
atau hanya say hello semata
yang pasti
yang kutahu
hanya satu kata yang mampu menjawabnya
entah
entah dalam delapan purnama
bahkan lebih

7 Maret 2009
untuk RD, seorang yang kukenal saat wisuda