Di bawah ujung pipa terpasanglah sebuah toples kecil sebagai tempat hasil sulingan uap air. Tetes demi tetas uap air itu dikumpulkan oleh Tini, istri Kartasim perajin ciu dari Desa Wlahar. Puluhan tahun ia menyandarkan hidup dari kerajinan ciu tersebut.
Walaupun usianya sudah senja suami istri Kartasim (77) dan Tini (67) ini masih memproduksi arak tradisional tersebut. Pengelihatan Kartasim yang sudah lama berkurang tak menciutkan semangat hidup orang tua itu untuk menggantungkan hidup kepada anak-anaknya. Di rumah itulah suami istri renta itu menjalani setiap periode jaman dengan menggantungkan hidup dari kerajinan ciu warisan nenek moyangnya.
"Yah untuk "tulak mlarat" lah mas, kita membuat ciu. Kita bisanya kerja seperti ini dari jaman dulu hingga sekarang. Saya bisa menghidupi anak-anak, iuran lingkungan, membayar pajak juga dari sini. Yah walaupun kondisi saya seperti ini saya membuat ciu. Dengan meraba peralatan karena memang telah terbiasa sejak dulu" kata Kartasim yang memang sudah terganggu pengelihatannya sejak puluhan tahun lalu. Dengan kondisinya yang terbatas ia tetap memproduksi ciu bersama isterinya Tini (67) yang setia menemaninya.
Kartasim sudah mengenal ciu sejak kecil. Bapak dan ibunya juga dulu pembuat ciu. Bahkan jaman 'Landa'
(kolonial Belanda,Red) ayahnya ditangkap dan dihukum kerja paksa karena membuat ciu ini. Terpaksa bapak saya harus kerja paksa sesuai dengan keinginan Landa karena tidak sanggup membayar denda. Ibunyapun juga terpaksa dihukum satu bulan karena ketahuan membuat ciu tersebut.
Walaupun usianya sudah senja suami istri Kartasim (77) dan Tini (67) ini masih memproduksi arak tradisional tersebut. Pengelihatan Kartasim yang sudah lama berkurang tak menciutkan semangat hidup orang tua itu untuk menggantungkan hidup kepada anak-anaknya. Di rumah itulah suami istri renta itu menjalani setiap periode jaman dengan menggantungkan hidup dari kerajinan ciu warisan nenek moyangnya.
"Yah untuk "tulak mlarat" lah mas, kita membuat ciu. Kita bisanya kerja seperti ini dari jaman dulu hingga sekarang. Saya bisa menghidupi anak-anak, iuran lingkungan, membayar pajak juga dari sini. Yah walaupun kondisi saya seperti ini saya membuat ciu. Dengan meraba peralatan karena memang telah terbiasa sejak dulu" kata Kartasim yang memang sudah terganggu pengelihatannya sejak puluhan tahun lalu. Dengan kondisinya yang terbatas ia tetap memproduksi ciu bersama isterinya Tini (67) yang setia menemaninya.
Kartasim sudah mengenal ciu sejak kecil. Bapak dan ibunya juga dulu pembuat ciu. Bahkan jaman 'Landa'
(kolonial Belanda,Red) ayahnya ditangkap dan dihukum kerja paksa karena membuat ciu ini. Terpaksa bapak saya harus kerja paksa sesuai dengan keinginan Landa karena tidak sanggup membayar denda. Ibunyapun juga terpaksa dihukum satu bulan karena ketahuan membuat ciu tersebut.
Di jaman penjajahan Belanda yang sengsara itu keluarganya ihidup dengan membuat ciu. Penangkapan perajin ciu dan perampasan peralatannya oleh Belanda disebabkan karena harga ciu yang lebih murah dibandingkan dengan minuman alkohol Junewer produksi Belanda. Produksi ciu dianggap membuat penurunan pemasaran minuman beralkohol kegemaran sebagian bangsa Landa waktu dulu.
Kejadian serupa juga terjadi ketika pemerintah Jepang tiba. Para perajin ciu ditangkapi oleh pemerintah Jepang. Pembuatan ciu tersebut juga dibuat secara sembunyi-sembunyi. Tidak hanya itu penjualan ciu juga dilakukan dengan cara tertutup. Semua dilakukan agar tidak diketahui pemerintah Jepang. Kartasim mengaku sejak ayahnya meninggal di jaman Jepang ia mulai membuat ciu bersama ibunya. Dengan membuat ciu itulah ia bersama ibunya bertahan hidup. Waktu itu harga 1 liter ciu hanya sekitar 5 ketip atau 50 sen.
"Saya masih ingat saya sunat dengan berpakaian karung goni. Saat itu kita memang sangat kekurangan makan. Apapun kita lakukan agar bisa makan termasuk membuat ciu. Karena dilarang, dulu membuat ciu tersebut di hutan. Ketika datang Jepang, api langsung kita matikan. Sedangkan kalau menjual kita jual ke babah di Pasar Ajibarang. Kalau sedikit ciu kita tempatkan pada botol namun kalau banyak ciu kita tempatkan di impes (kantong kencing kerbau, Red) biar muatannya lebih banyak" cerita Kartasim.
Dihitung sejak Jaman Jepang hingga sekarang, kakek 5 orang cucu telah menjadi perajin ciu sekitar 50 tahunan. Ia telah banyak mengalami peristiwa razia kerajinan ciu ini sampai dengan sekarang. Tak terkecuali peristiwa razia besar-besaran pada perajin ciu di Wlahar sekitar tahun 1993-1994.
Sebagai ayah yang sudah pengelihatannya berkurang ia bersyukur bisa membesarkan anak-anaknya, walaupun dengan usaha membuat minuman yang dihukumi haram oleh agama yang dipeluknya. Namun tidak bisa dipungkiri tidak hanya Kartasim, puluhan perajin ciu di Wlahar juga menjadikan ciu sebagai topangan hidup di tengah kesulitan dan keterbatasan ekonomi yang membelit mereka.
Kejadian serupa juga terjadi ketika pemerintah Jepang tiba. Para perajin ciu ditangkapi oleh pemerintah Jepang. Pembuatan ciu tersebut juga dibuat secara sembunyi-sembunyi. Tidak hanya itu penjualan ciu juga dilakukan dengan cara tertutup. Semua dilakukan agar tidak diketahui pemerintah Jepang. Kartasim mengaku sejak ayahnya meninggal di jaman Jepang ia mulai membuat ciu bersama ibunya. Dengan membuat ciu itulah ia bersama ibunya bertahan hidup. Waktu itu harga 1 liter ciu hanya sekitar 5 ketip atau 50 sen.
"Saya masih ingat saya sunat dengan berpakaian karung goni. Saat itu kita memang sangat kekurangan makan. Apapun kita lakukan agar bisa makan termasuk membuat ciu. Karena dilarang, dulu membuat ciu tersebut di hutan. Ketika datang Jepang, api langsung kita matikan. Sedangkan kalau menjual kita jual ke babah di Pasar Ajibarang. Kalau sedikit ciu kita tempatkan pada botol namun kalau banyak ciu kita tempatkan di impes (kantong kencing kerbau, Red) biar muatannya lebih banyak" cerita Kartasim.
Dihitung sejak Jaman Jepang hingga sekarang, kakek 5 orang cucu telah menjadi perajin ciu sekitar 50 tahunan. Ia telah banyak mengalami peristiwa razia kerajinan ciu ini sampai dengan sekarang. Tak terkecuali peristiwa razia besar-besaran pada perajin ciu di Wlahar sekitar tahun 1993-1994.
Sebagai ayah yang sudah pengelihatannya berkurang ia bersyukur bisa membesarkan anak-anaknya, walaupun dengan usaha membuat minuman yang dihukumi haram oleh agama yang dipeluknya. Namun tidak bisa dipungkiri tidak hanya Kartasim, puluhan perajin ciu di Wlahar juga menjadikan ciu sebagai topangan hidup di tengah kesulitan dan keterbatasan ekonomi yang membelit mereka.
Dibanding dengan juragan, tengkulak ataupun pedagang penampungnya, pendapatan perajin memang sangat jauh berbeda. Dengan produksi yang panjang hingga mencapai seminggu, ciu produksi perajin hanya bisa dihargai Rp 7.000-8.000 per liter. Sedangkan di pasaran harga miras oplosan yang berasal dari ciu bisa dihargai mulai dari Rp 20 ribuan. Bisa dibilang kehidupan perajin ciu dari dulu memang biasa-biasa saja.
Sebagaimana perajin ciu yang lain iapun mengetahui bahwa pada dasarnya hasil kerajinanya itu melanggar aturan agama dan hukum positif. Namun memang dari keterbatasan pekerjaan, kemampuan dan keterampilan ia tak berdaya untuk bisa beralih ke pekerjaan lainnya. Sampai dengan sekarang dengan membuat ciu itulah ia bisa menghidupi dirinya dan keluarganya. Iapun menyatakan bahwa ciu hasil kerajinannya memang sebenarnya tidak hanya bisa dimanfaatkan untuk hal negatif saja. Dengan dosis dan takaran tertentu, ciu bisa menjadi jamu yang menyehatkan.
Kartasim juga mengalami pengalaman yang serupa dengan perajin ciu lain di desanya. Untuk memproduksi ciu, tidak jarang ia harus berhutang dulu kepada juragannya. Harga gula kelapa yang tinggi seringkali menjadi kendala pasokan bahan baku mereka. Selain gula kelapa, ia juga harus mencari ketan hitam dan singkong sebagai tambahan bahan baku pembuatan ciu tersebut. Proses perendaman adonan cair gula kelapa dan tape ketan hitam ini mencapai seminggu. Baru setelah seminggu itulah ia menunggu pembeli atau tengkulak yang memberinya modal. Posisi tawar mereka dalam menentukan hargapun rendah. Harga ditentukan oleh para tengkulak dan pedagang besar. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa kecuali membuat dan membuat terus ciu untuk bisa menghidupi mereka.
Tak mengherankan ketika harga miras melambung di pasaran, ciu menjadi salah satu alternatif pengganti miras yang dipandang murah. Melambungnya pasaran miras bermerek di pasaran melambung, produksi ciu cikakak itulah menerima dampaknya. Ciu produksi para perajin laris manis. Melihat harga ciu yang gila-gilaan itulah, perajin yang semula tak memproduksipun tertarik untuk memproduksi ciu lagi. Namun panen perajin ciu itu hanya sebentar, karena dua orang perajin tertangkap oleh pihak berwajib.
"Yyah memang seperti itulah pasang surut perajin ciu di sini sejak jaman dulu hingga sekarang. Sebagai perajin kita hanya hidup pas-pasan dari membuat ciu ini. Tapi mau tidak mau saya bisanya bergantung dari sini, karena dari sinilah dari dulu saya hidup. Membuat ciu adalah tulak mlarat bagi saya" pungkas Kartasim seperti menunjukkan kepasrahannya. Anehnya walaupun telah puluhan tahun ia memproduksi ciu, Kartasim mengaku belum pernah setetespun ia merasakan ciu buatannya sendiri.
Sekretaris Desa Wlahar Kadiwan juga membenarkan bahwa tidak hanya Kartasim, sebagian warga Wlahar memang menggantungkan hidup dari pembuatan minuman beralkohol tersebut. Pemberian alat penyulingan dan pelatihan memproses ciu menjadi bioetanolpun pernah diterima oleh para perajin di desa Wlahar. Namun memang dari pengalaman pembuatan dan hasilnya memang belum maksimal. Perbandingan penghasilan dari proses membuat ciu dan bioetanol memang selisihnya sangat sedikit. Padahal prosesnya memakan waktu lagi.
"Perbandingan dari hasil membuat ciu dan etanol ini memang tidak jauh berbeda. Perbandingan dari pembuatan ciu dengan etanol kemarin sekitar 2:1 padahal perlu proses dan waktu lagi. Harga etanolpun tentunya harus tidak jauh berbeda dengan harga BBM seperti bensin. Mungkin dari situlah para perajin belum bisa mempraktikkan hal itu. Sesuai informasi yang ada katanya dalam peraturan yang ada katanya pembuatan etanol ini tidak boleh menggunakan bahan makanan. Padahal di sini orang membuat ciu dengan gula jawa. Jadi perlu pencarian solusi yang tepat untuk permasalahan ini agar para perajin atau warga secara umum bisa terus hidup"jelas Sekretaris Desa Wlahar Kadiwan. *
Sebagaimana perajin ciu yang lain iapun mengetahui bahwa pada dasarnya hasil kerajinanya itu melanggar aturan agama dan hukum positif. Namun memang dari keterbatasan pekerjaan, kemampuan dan keterampilan ia tak berdaya untuk bisa beralih ke pekerjaan lainnya. Sampai dengan sekarang dengan membuat ciu itulah ia bisa menghidupi dirinya dan keluarganya. Iapun menyatakan bahwa ciu hasil kerajinannya memang sebenarnya tidak hanya bisa dimanfaatkan untuk hal negatif saja. Dengan dosis dan takaran tertentu, ciu bisa menjadi jamu yang menyehatkan.
Kartasim juga mengalami pengalaman yang serupa dengan perajin ciu lain di desanya. Untuk memproduksi ciu, tidak jarang ia harus berhutang dulu kepada juragannya. Harga gula kelapa yang tinggi seringkali menjadi kendala pasokan bahan baku mereka. Selain gula kelapa, ia juga harus mencari ketan hitam dan singkong sebagai tambahan bahan baku pembuatan ciu tersebut. Proses perendaman adonan cair gula kelapa dan tape ketan hitam ini mencapai seminggu. Baru setelah seminggu itulah ia menunggu pembeli atau tengkulak yang memberinya modal. Posisi tawar mereka dalam menentukan hargapun rendah. Harga ditentukan oleh para tengkulak dan pedagang besar. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa kecuali membuat dan membuat terus ciu untuk bisa menghidupi mereka.
Tak mengherankan ketika harga miras melambung di pasaran, ciu menjadi salah satu alternatif pengganti miras yang dipandang murah. Melambungnya pasaran miras bermerek di pasaran melambung, produksi ciu cikakak itulah menerima dampaknya. Ciu produksi para perajin laris manis. Melihat harga ciu yang gila-gilaan itulah, perajin yang semula tak memproduksipun tertarik untuk memproduksi ciu lagi. Namun panen perajin ciu itu hanya sebentar, karena dua orang perajin tertangkap oleh pihak berwajib.
"Yyah memang seperti itulah pasang surut perajin ciu di sini sejak jaman dulu hingga sekarang. Sebagai perajin kita hanya hidup pas-pasan dari membuat ciu ini. Tapi mau tidak mau saya bisanya bergantung dari sini, karena dari sinilah dari dulu saya hidup. Membuat ciu adalah tulak mlarat bagi saya" pungkas Kartasim seperti menunjukkan kepasrahannya. Anehnya walaupun telah puluhan tahun ia memproduksi ciu, Kartasim mengaku belum pernah setetespun ia merasakan ciu buatannya sendiri.
Sekretaris Desa Wlahar Kadiwan juga membenarkan bahwa tidak hanya Kartasim, sebagian warga Wlahar memang menggantungkan hidup dari pembuatan minuman beralkohol tersebut. Pemberian alat penyulingan dan pelatihan memproses ciu menjadi bioetanolpun pernah diterima oleh para perajin di desa Wlahar. Namun memang dari pengalaman pembuatan dan hasilnya memang belum maksimal. Perbandingan penghasilan dari proses membuat ciu dan bioetanol memang selisihnya sangat sedikit. Padahal prosesnya memakan waktu lagi.
"Perbandingan dari hasil membuat ciu dan etanol ini memang tidak jauh berbeda. Perbandingan dari pembuatan ciu dengan etanol kemarin sekitar 2:1 padahal perlu proses dan waktu lagi. Harga etanolpun tentunya harus tidak jauh berbeda dengan harga BBM seperti bensin. Mungkin dari situlah para perajin belum bisa mempraktikkan hal itu. Sesuai informasi yang ada katanya dalam peraturan yang ada katanya pembuatan etanol ini tidak boleh menggunakan bahan makanan. Padahal di sini orang membuat ciu dengan gula jawa. Jadi perlu pencarian solusi yang tepat untuk permasalahan ini agar para perajin atau warga secara umum bisa terus hidup"jelas Sekretaris Desa Wlahar Kadiwan. *
::memory untuk mengenang perajin ciu yg telah tiada...::
17 Desember 2012