Minggu, 27 Juli 2008

harapan freshgraduated

ketika kuliah kita dituntut untuk segera lulus
baik itu dengan pertimbangan finansial, job, keluarga, bahkan orang lain
ketika sudah lulus kita menuntut diri kita untuk berpenghasilan
setidaknya tidak tidak semata-mata tergantung pada keluarga atau orang lain...

tapi bagi orang-orang yang mandiri
aku salut bisa bertahan hidup, dengan topangan kaki sendiri

Kamis, 24 Juli 2008

DOLANAN GOTRI

gotri ala gotri nagasari ri
riwul awul awul jaka mentul tul
tulen mbesuk gedhe dadi opo po
bodem mbako enak mbako sedheng dheng
dhengklok engklak engklok dadi kodok


syair dolanan ini sudah lama tak kudengar dengan riuh berisik anak-anak desa. bermain dengan serpihan genteng ditumpuk sejumlah pemainya, yang diletakkan daam sebuah lingkaran di atas tanah. berkumpul melingkar, memutar, dan mendapat giliran apes ketika mendapat kodok yang disimbolkan dengan sebuah batu yang besarnya segenggam tangan.

penunggu kodok selalu menginjak kodoknya.
mencari teman-temannya yang ngumpet di sela-sela semak ataupun belakang rumah-rumah
memanggil nama teman yang telah ketemu dan menginjak kodok batu, sampai terpanggil dan ketemu semua atau kalau tidak ketemu dia akan menjadi penunggu lagi dan terus menunggu,
malah kadang sampai nangis karena bosan atau ingin ngumpet tapi tak berkesempatan

dolanan itu dulu dimainkan seusai kami pulang sekolah
malam purnama itu sangat dinantikan kami, kebetulan dulu tetanggaku punya halaman luas
kini halaman itu telah ditanami bangunan rumah megah
dan kami sudah dewasa sedangkan otak kapitalisme telah menyulap dan menciptakan permainan-permainan yang serba baru elektronik, duit, listrik, dan sebagainya.

yang menyedihkan generasi sekarang
suka produk luar negeri, dolanan dalam negeri yang sarat akan kegotong royongan, kerjasama, toleransi, kerja keras, belajar strategi, kecermatan, ketelitian, kecepatan seperti salah satunya dalam dolanan GOTRI ini telah hilang bahkan tidak dikenal

SUDAH SAATNYA KITA ANGKAT KEMBALI LOKALITAS YANG KIAN TERPURUK DAN MUMPUNG BELUM HILANG DAN MASIH ADA GENERASI SEPERTI KITA

KALAU BUKAN KITA SIAPA LAGI?

GO TO HELL CAPITALIST!!!!!!

bibir












mungkin dari sinilah semua tercipta

bermula gerakan bibir

ucapan
kata
bahasa
perkenalan
persahabatan
cinta
kehidupan
dendam
peperangan
perdamaian
kematian

diakhiri dengan gerakan bibir
saat manusia menjawab pertanyaanNya nanti

wong gemiyen ndeleng terangan

mangsa terangan kaya siki pancen gawe susah wong sing ning desane ora sugih banyu. mangsa terang nyebabna banyu-banyu ning kali, sumur, utawa tuk kuwe pada cilik malahan akeh sing wis padha garing juga, padahal banyu kuwe banget pentinge tumerape wong urip.

siki sing dadi pitakonan kuwe, sebab apa deneng banyu-banyu ning mangsa terang siki banget angele?
aku dadi kemutan karo biyung niniku sing nyeletuk ngomong kaya kiye
"jaman gemiyen tah mboka mangsan terang kaya kiye, apa maning nembe telung wulan kuwe banyu esih akeh.angger jaman siki kuwe aneh. mbuh kepriwe? alame wis owah ndean? apa wonge sing padha kekehen polah merekna dadi kaya kiye..."

"jaman ganu kuwe rampunge mangsa terangan mlebu mangsa rendeng kuwe akeh pertandane misale
1. wit gadhung pada lung
2. gemiyen kuwe ana manuk rangkok sing mabur maring gunung Slamet sekang kidul kuwe pertandane arep udan...
tapi jaman siki kuwe angel, medheke. sebabe wit gadhung wis jarang sing nandur apa maning manuk rangkok sing cucuke dawa, malah wis ora ana ndean"

Tangan Abah Yang Bercahaya

Syair al barjanzi itu terus mengalun berulang-ulang diiringi bunyi tepakan rebana oleh tangan-tangan ibu-ibu berseragam putih. Ibu-ibu itu berdiri berjajar rapi di serambi masjid berwarna hijau pinggir jalan itu. Sementara jamaah pengajian juga ikut berdiri rapi memenuhi jalan beraspal depan masjid yang telah ditutup untuk acara itu. Atap panggung yang telah didirikan terlihat basah karena hujan sore itu mengguyur. Sementara jalananpun tidak jauh berbeda. Aku mencium bau amis katak yang mungkin baru saja terlindas roda motor di jalan itu sewaktu hujan. Padahal mungkin katak itu sedang bermain-main dengan hujan sambil mengejar pasangannya.
Semua mata jamaah pengajian malam itu mengarah ke barat jalanan yang basah. Lisan mereka tetap saja mengucap berulang-ulang syair biografi Kanjeng Nabi. Mereka masih berdiri layaknya sikap sempurna ketika upacara bendera di sekolah. Tiba-tiba setelah lama berdiri semua jamaah, dengan kompak melongokkan kepalanya menuju arah barat ketika di jalan mulai terllihat serombongan orang berjalan menuju arah masjid.

Thola’al badru ‘alaina min tsaniyyatil wada’ : Wajabasy syukru ‘alaina mada’a lillahi da
Ayyuhal mab’utsufiina : Ji tabil amril mutha’

“Abah… abah sudah datang” kata temanku di samping kiriku yang berdiri.
“Iya” jawabku singkat, namun semua mata tertuju pada satu sosok dalam rombongan itu yang ke arah masjid. kelibat-kelibat sosok itu mulai terlihat. Sosoknya kecil memakai sarung hitam dan jas hitam. Namun wajahnya tak terlhat olehku karena terhalang oleh kepala jamaah pengjian yang ingin melihat Sang Abah Kyai yang baru datang. Semakin dekat sosoknya terlihat dengan jelas. Syair bacaan sholawat itu masih saja dibaca berulang-ulang dengan bunyi rebana yang ditepak-tepak.
“Masya Allah” mulutku refleks mengucap ketika sosok wajah teduh bercahaya semakin dekat dengan ke arah masjid. Aku melihat sesosok Abah yang berpakaian serba hitam, mukanya teduh bercahayan dengna balutan sorban hitam dikepalanya diiring oleh para jamaah.

Semakin dekat saja sosok Abah berjalan menuju kerumunan jamaah pengajian yang sedang berdiri menantinkannya sejak lama. “apa yang membuat orang yang sebegitu dihormati, bahkan dinantikan kehardirannya” tiba-tiba temanku nyeletuk kepadaku. “Mungkin ikhlasnya” kataku sok tahu, padahal aku tak tahu pasti kenapa sesosok manusia biasa jadi sangat dihormati oleh manusia lain.
“Sungguh berbeda dengan dosen-dosen kita di kampus, bagaimana dosen-dosen dinantikan kehadirannya di tengah-tengah kampus.” Lagi-lagi temanku nyeletuk padaku. Rupanya dari tadi ia juga sedang memikirkan sosok yang semakin dekat menuju kerumunan jamaah pengajian. Rupanya ia sedang membandingkan Abah Kyai dengan dosen-dosen di kampus yang pandai bersilat lidah membicarakan konsep logika dan angka pada mahasiswanya.

Ketika Abah telah memasuki arena pengajian dengan atap panggung yang basah, kerumunan jamaah itu berebut, berdesak mendekati sang Abah untuk bersalaman. Aku bersama temanku pun tak mau kalah ikut bersalaman dengan beliau. Semakin cepat, semakin dekat abah berjalan melintasi kursi posisi tempat kami berdua duduk. Aku telah berdiri berdiri sejak lama menantikannya melintas dihadapan kami. Jujur saja aku, dadaku berdegub kencang dan semakin kencang ketika Abah semakin dekat denganku . tiba saatnya akhirnya sang abah malintasi jalan di depanku. Akupun langsung meraih tangannya, untuk beralaman dan mencium tangannya seperti jamaah-jamaah lain. Seolah tangan abah adalah makanan yang dinanti-nanti setelah kami seharian berpuasa.

“Tangannya bercahaya” ucapku dalam hati saat aku salaman dan mencium tangannya. Rasanya aku tak percaya ternyata di dunia ini memang benar ada tangan yang bercahaya. Ketika aku mencium tangannya aku merasakan ada kesejukan yang menghangatkan suasana malam yang dingin. Ada desir seperti air mengalir dan menetes dingin ke dalam relung kalbuku yang sudah sekian lama gundah. Aku ingin berlama-lama mencium tangan itu bahkan aku ingin selamanya mencium tangan bercahaya itu, biar hatiku dan jiwaku selalu adem ayem dan tentrem menghadapi hidup di jaman edan ini. Aku semakin tak percaya ternyata di dunia ini masih ada orang yang memiliki tangan yang bercahaya.

Hatiku berkata mungkin inilah yang dsebut pengalaman spiritual yang tak bisa dibagikan keada orang lain. Mungkinkah yang kurasakan ini sama dengan perasaaan orang lain. Adakah pengelihatanku itu sama dengan yang lain ketika menyalami tangan Abah yang bercahaya. Rasanya terenyuh saat aku bisa menyentuh tangannya dengan tanganku yang penuh lekatan dosa. Mungkin ketika tanganku berasalam dengan tangan beliau, seluruh debu kotoran yang ada di tanganku bahkan di hatiku tersapu bersih oleh air telaga Kautsar yang jernih membersihkan. Masya Alloh….

Sebenarnya aku ingin bercerita dengan teman samping kirirku namun rasanya aku malu. Mugkinkah yang dirasakanya sama dengan apa yang aku rasakan. “Bagaimana orang bisa begitu dihormati, seperti itu?” sekali lagi teman samping kiriku bertanya kepadaku. Mendengar pertanyaannya aku hanya menggelengkan kepala saja, bukan pertanda bahwa aku tidak tahu. Terbersit di hatiku, bisakah tanganku bisa menjadi seperti tangannya. Bercahaya seperti bintang dan selalu menyejukkan ketika ada mata yang memandang. Wajahnya teduhnya mampu menenteramkan hati yang gelisah. Saat aku mencium tangannya aku merasakan ada yang lain dari yang lain. Yah…tangan itu bercahaya aku hanya bisa mengatakan itu.

“Sementara abah itu terus berjalan dan setiap jamaah menyalaminya dengan takdzim. Entah mengapa semua orang di situ seperti mencintainya, tepatnya tersirhir olehnya. Mugkinkah Sang Abah punya sihir, tapi hatiku mengatakan tidak mungkin Sang Abah memilliki sihir. Aku terus mengamati perjalanan Abah sampai tempat duduk yang telah disedikan khusus untuknya. Setelah sampai dia masih saja disalami, bukan menyalami. Bahakan berebut orang ingin menyalaminya. Aku lihat abah bersalaman bersama Kyai-Kyai dan Pak Lurah sambil berpelukan. Rasanyr aku semaikin iri melihat beliau. Mungkinkah itu yang namanya karomah?

Aku telah duduk dikursi. Sholawat al barjanzi dan bunyi rebanapun telah berhenti bersamaan ketika Sang Abah duduk. Pembawa acara membacakan susunan acara, sementara pikirku terus melayang, bekelana dalam ruang imaji yang tak pernah aku singgahi sebelumnya.
“Aku berpikir dan membayangkan seandainya aku ditakdirkan menjadi anaknya, tapi tak mungkin karena aku sekarang sudah menjadi anak bapakku. Atau kalau tidak aku ingin jadi menantunya. Tapi apakah dia punya anak perempuan? Apakah beliau sudi menjadikanku menantu beliau? Padahal statusku, fisikku, ilmuku, agamaku bisa dibilang masih sangat dangkal. Tangankupun tak bercahaya seperti tangan beliau. Wajahku hampir tak pernah teduh, wajahku gersang ibarat padang pasir tanpa oase. Mulutku tak pernah fasih melafal ayat suci Tuhan dan Sabda Kanjeng Nabi yang dikutip, Orang selalu percaya pada setiap tutur kata diucapnya. Sementara aku hanya orang yang gagap untuk berbicara kejujuran aku wasis ketika berbicara dosa maksiat dan syahwat. Nada jawabul jawab seorang qori yang melantunkan ayat-ayat awal surat Luqman itu menyentakku, khayalanku yang melayang seketika turun menukik tajam menuju lembah kesadaranku.

Pikiranku semakin berkecamuk dan hatiku semakin merintih ketika kudengan suara saritilawah membacakan terjemahan surat luqman itu. Terbayang olehku bagaimana sikapku selama ini kepada orang tua. Bagaimana aku membohongi orang tua tentang kiriman uang, kebutuhan kuliah dan sebagainya. Bagaimana aku selalu menghambur-hamburkan uang kirimannya untuk berbuat maksiat. Aku harus berbakti. Aku harus menghormati bapaku dan ibuku. Tanpa terasa dalam khayalku aku berharap pada Tuhan, tentang impianku agar bisa berbuat baik pada orang tua dan sering bisa mencium tangan-tangan bercahaya seperti tangan Abah Kyai. Terimakasih yang tak terhingga untuk teman di samping kiriku yang telah membatalkan acara begadang di malam minggu dan susah payah mengajakku ke pengajian ini. Mungkin kaulah kran yang mengalirkan hidayah Tuhan untukku setelah selama ini aku telah mengabaikanNya.

Aku akhirnya mengikuti pengajian itu sampai selesai, mendengarkan ceramah Abah Kyai dan tak pernah bosan terpana memandang tangan Abah Kyai yang bercahaya dan selalu bertanya apa yang membuat tangan itu bercahaya?

Purwokerto, 24 Juli 2008
Cerita ini terinspirasi sosok Abah Ipung (K.H Saiful Anwar Zuhri Rosyid)

untuk Perempuanku

kau serupa racun yang selalu ingin kureguk hingga sesak nafasku kembali lega. Racun yang semakin memacu degub jantungku yang hampir berhenti. Hatiku yang selama ini menjadi penawar racun akan menjadi penampung racun keabadian cinta. Racun yang kau sembulkan dari kedua bibirmu yang merah kepada bibir keriputku yang tengah tengadah selama bertahun-tahun.

tangan-tanganku yang tak perdaya bisa kau bawa serta lewat cawan-cawan racun cinta yang memabukkan. Aku ingin meneguk sepuasnya sambil kubasuh wajahku dengan rona parasmu yang cemerlang serupa bintang. Ijinkan aku mengulang masa-masa indah ketika aku masih mengecap puting susu ibuku yang kecoklatan muda sewaktu aku masih bayi.

Aku ingin kau tusukkan cahaya matamu yang tajam hingga bisa kubuka kelopak mataku yang sudah lama mengatup. cahaya itu masuk perlahan hingga kurasakan kehangatan tatapan indah matamu yang seindah telaga biru yang memikat peri-peri kahyangan. Hingga aku bisa memandang segala keindahan semesta lewat lekuk tubuhmu dan kulihat sapuan ombak lewat gerai-gerai rambutmu yang dipermainkan angin.

aku pernah bahkan sering nikmati mekarnya bunga-bunga dan girangnya kumbang-kumbang terbang ketika engkau mulai menarik dengan lembut kuas kasihmu hingga kauciptakan seulas senyum yang merekah di wajah ovalmu.

Ijinkan aku nikmati angin sepoi gunung dan angin hangat pantai lewat sapuan selendang suteramu dan kain pembebat tubuhmu yang anggun semampai menyematkan renda-renda keindahan rahasiaNya.

aku pasrah kepadamu, karena aku yakin engkaulah utusan Tuhan, walaupun kau bukan nabi terakhir tapi aku percaya bahwa kau adalah mesiasku yang sekarang telah bertahta di dalam hatiku, dengan kesetiaan dan kejujuran yang selalu menjadi penjaganya. Mempersembahkan pada dewa, sesaji-sesaji cinta yang beraneka warna dalam altar keabadian.

tubuhku yang telah lemah dimakan oleh kebencian dan dendam ini kau lumuri dengan darah kesejatianmu, hingga jiwaku bisa bebas dari penjara angkara. Tunjukkan padaku arah menuju jalan kasunyatan sejati, dalam iringan do'a-do'a dan mantra-mantra yang selalu kau ucapkan dengan berbisik.

Biarkan jiwaku menjelma dalam wujudmu yang sempurna, mendekat, merengkuhmu menjadi satu dalam wujud kehampaan yang bermakna dan menyeruak, mengangkasa dengan makna yang tidak bisa dirupakan oleh lukisan awan-awan. malam yang selalu merindukanmu, rembulan itu selalu menjadi iri atas kehadiranmu, karena kaulah penguasa malam.

lamat-lamat bayangan remang senja dan cemerlang putih fajar itu menjadi pakaian indahmu, hingga aku berpuas-puas memandang matahari yang tenggelam dan surya terbit di ufuk pagi. aku hidup karena kau racunku.

sayap-sayap di tanganmu terbangkan menuju puncak kedamaian yang terus menerus meninggi tanpa henti hingga aku terus amati lembah-lembah membentang dan samudra biru yang tenang dengan karang-karang atol yang setia menjaganya dari amukan tsunami yang keji.

nafasmu menyatu dengan nafasku hingga kau bisa tumbuhkan terus harapan-harapan hidup bagi makhluk di semesta jagad yang selalu merindukan cinta dan aroma bunga teratai putih yang menjulang tegak di atas samudra.

aku menjadi dirimu walau aku tak serupa dengan dirimu
Akupun tak memaksa dirimu untuk jauh dariku
Karena aku lelaki
Dan kau wanita yang menjadi racunku dalam setiap mimpi dan nyataku....

nenekku

renta usiamu tak kunjung letihkan semangatmu
padahal tubuhmu telah lelah bekerja dari jaman kompeni hingga kini
pundakmu yang dulu menggendong karung-karung batang singkong
kini telah membungkuk hormat

masih saja kau timpuk punggungmu yang jongkok
dengan sekarung rumput untuk kambing cucu-cucumu
tak lupa seikat besar kayu bakar untuk tungku batu yang lebih tua dari usiaku
kau pulang pergi ke kebun tanpa henti
padahal makanmu sekarang sedikit
keriput kulitmu juga semakin kelihatan
usiamu kini sudah petang

kita berempat

kidung itu selalu kita nyanyikan bersama
nada-nada sumbang terucap dari mulut-mulut gamang
kembang-kembang kampus selalu kita goda
dengan pantun dan sajak-sajak picisan
atau dengan rayuan seporsi mie ayam di warung Bu Parno

tiap tanggal mulai menua, ketika bulan mulai tutup usia
sepiring nasi rames kita serbu bersama,
berempat dalam satu tempat
padahal galon air belum kita isi
bergantian dengan kita minum air kran di masjid seberang

pernah kita menaksir satu nama berwajah bidadari
kita berempat menamakannnya Nawang Sih putri Nawangwulan
bertaruh berebut kesempatan dalam dua bulan
merayunya, mengapelinya bergantian
tapi akhirnya kita ketahuan olehnya
hingga yang kita dapati adalah senyum cemberut
penolakan cinta itupun kita sebut perhatian

datang seorang pemuda berwajah Jaka tingkir
menggoda perempuan berwajah Nawang Sih itu
membawa kendaraan mewah pula
malam itu kita sepakat mengempeskan dua ban motornya
supaya dia kapok dirampok keusilan kita
tepatnya kecemburuan kita pada nawang sih yang ternyata mencintai pemuda itu

saat itu kita berempat patah hati bersama-sama
kita beranikan untuk datang ke tempat prostitusi
baru sekali kita berempat kita di situ
mencari wajah-wajah bidadari yang masih suci
betapa bodohnya kita saat itu
akhirnya kita tunggang langgang pulang
menghindari rayuan waria-waria jalang

Serabi Senja

Pedagang kaki lima itu mendorong gerobagnya.
Hari ini begitu sepi pembeli
Sudah jarang anak-anak muda membeli serabimu
Mereka lebih suka membeli dorayaki yang pedagangnya tak bermata sipit
Bungkus daun pisangmu sudah layu seperti kuyu tubuhmu yang mulai renta
Dimakan umur, dihisap gerobagmu yang as rodanya mulai berkarat
Kau harus mendorongnya kuat-kuat
Sendirian tanpa teman, tanpa senyuman

Daganganmu masih sisa banyak sore ini
Padahal kau sudah berangkat pagi-pagi sekali
Biar kau banyak rengkuh uang segerobak
Memungut uang dari para pejalan kaki, pelari pagi
Yang dulu setia membeli serabimu
Dengan aroma asap kayu bakar dan wajan gosongmu

Serabimu dulu sangat terkenal
Hari ini dorayaki, konon kata anak-anak muda lebih bergengsi
Apakah kau tak ingin ganti bungkus serabimu dengan plastik-plastik transparan itu
Atau kalau tidak dengan koran bekas mungkin?
Bukankah daun pisang yang kian jarang kau jumpai di pasar?
Bukankah kayu bakar sekarang sama mahalnya dengan harga minyak dan gas?

Kenapa masih saja kau pegang teguh prinsipmu
"serabi itu akan enak rasanya, ma nyus ketika di masak dengan tungku batu dan kayu bakar pohon asem. Kalau tidak begitu, rasanya akan hambar"
itu selalu kau katakan ketika serabi senjamu tak kunjung laku
aku selalu membujukmu agar kau menjadi anak buahku
berganti profesi menjadi menjadi pedagang dorayaki
tapi kau tetap bersikeras berideologi
menjadi pedagang serabi di pinggir jalan sampai mati
"aku lebih suka produk dalam negeri yang asli"

Minggu, 20 Juli 2008

cinta

kita meneguknya laksana arak
pertama menyedak tenggorokkan
mengagetkan namun ketika telah terbiasa
kadang menghangatkan dan menggairahkan
kadang memusingkan dan menyakitkan

indah ketika kuncupnya mekar
selalu dinanti sejak masih muda

jelek ketika busuk dan bau
selalu dibenci sejak injakan pertama

datang dan hilang
membuka dan menutup hati manusia
dengan suka dan atau duka
sementara atau selamanya

MUSIK

suatu malam seorang eyangku berkata
"jaman ganu wong tuwa ngomong
jaman ngarep kuwe arep ana
1. bangkong ngomong saben umah
2. presiden pidato saben umah
3. ora ana wong nutu gabah, nutune ngodekna wong sugih
4. ana kebo mangane solar ning sawah
5. jago kluruke melung, aduane ora kalah, jalune kuning, tapi mambu tai
siki wis akeh sing kadadian"
semua itu menjadi renungan kita....

mencari-cari

hidup itu selalu dipenuhi kata mencari
mencari kehidupan
mencari jodoh
mencari penghasilan

mencari mencari
sesuatu yang bakal dicari sebagai bekal

di dunia
untuk di sini dan kini

dan juga
untuk di sana dan nanti

Sabtu, 12 Juli 2008

pengeluaran dan pemasukan

kenapa kita selalu senang mengeluarkan
daripada memasukkan

mengeluarkan apapun itu
memasukkan apapun itu

Jernih air itu mengalir

Jernih air itu mengalir di tengah pegunungan yang tandus. Memang aneh ketika di perbukitan yang gundul itu masih keluar mata air, mungkin itulah kasih sayang Tuhan yang masih saja memperhatikan segelintir orang yang tidak berdaya di tengah penggundulan hutan. Aku berdiri di atas perbukitan tandus itu, Sementara angin semilir menggiring tubuhku yang kurus untuk masuk ke bilik kamar yang telah setahun tak pernah aku tempati. Aku lihat banyak buku tebal bersampul debu. Lampu belajar yang telah mati dan jendela mulai keropos dimakan rayap hutan yang kelaparan. Aku masih ingat rumah kayu ini dibangun berdua dengan mendiang istriku yang sangat imajinatif merancang bangunan yang sekarang sudah udzur.

Aku melangkah menuju jendela kamar jendela. Kubuka jendela itu. Ternyata butuh tenaga untuk membuka engsel yang telah berkarat dimakan oleh jaman. Kubuka mataku dengan lebar keluar jendela untuk memandang lepas keluar. Harapanku pertama kali adalah mendapatkan pemandangan yang sejuk. Tapi yang kudapati hanya rumput ilalang yang tumbuh meninggi memagari pekarangan rumah itu. Warnanya telah menguning bahkan tidak jarang telah kering karena kemarau panjang telah melanda perbukitan itu.

Aku masih ingat dulu pekarangan rumah itu dikelilingi oleh pakis, bakung dan anturium putih. Daerah perbukitan itu rasanya sangat sejuk dan hijau. Suasana itu semakin terasa mesra ketika isteriku duduk di sampingku sambil bersama menikmati hangatnya secangkir kopi setiap pagi. Sayup-sayup kami dengar jernih air itu masih mengalir, gemericik suaranya selalu kami rindukan. Sementara kicauan burung kutilang dan prenjak tak henti-hentinya berlomba menyaingi suara angin gunung yang berbisik di sela dedaunan bambu ampel gading yang tinggal serumpun. Aroma bunga kopi yang menyengatpun semakin terasa karena terbawa angin gunung.

Setiap pagi, dari serambi rumah aku berdiri memandang hamparan kebun kopi yang hijau menghampar dari utara menuju selatan perbukitan hutan Cigledek. Kebun kopiku di perbukitan memang tidak rata. Bentuknya terasering, berundak. Ketika menyiangi dan memanen kopi, orang wajib naik dan turun dan harus selalu berpegangan pada batang kopi. Untuk akar pohon kopi itu terkenal cukup kuat menancap ke bumi.

Sesekali aku turun dari undak-undakan rumahku untuk melihat dan menyapa karyawan kebun kopiku yang sedang bekerja menyiangi rumput di bawah pohon-pohon kopi berbatang putih yang tumbuh di atas tanah hitam gembur dan subur. “Sugeng enjing, Pak!” suara itu selalu keluar dari seorang yang sedang memegang cangkul kecil sambil mengucap peluh yang mengalir di dahinya yang mulai keriput. Aku membalas senyumannya. Aku melihat senyumannya,begitu khas, lugu dan jujur. Aku memang mengenal mereka sebagai orang desa yang jujur,polos dan tak pernah minta macam-macam. Mungkin kokohnya gunung dan ketenangan alam pedesaan itu membuat mereka selalu bersyukur dan selalu tersenyum padaku.

“Pak Karmo, istirahat dulu. Ayo naik, ke serambi, sarapan dulu!” ajakku sambil melambaikan tanganku. Dia mendongak ke atas. “Saya sudah sarapan, Pak” jawabnya sambil menganggukkan kepalanya, tanda hormatnya kepadaku. Yah mungkin dalam pikiran mereka aku adalah majikan mereka yang harus dihormati. Entah kenapa jawaban yang sama itu selalu kudapati ketika mengajak pak Karmountuk sarapan. Pak Karmojarang sekali sarapan denganku. Sangat jarang dia mau sarapan dengan aku dan isteriku. pernah suatu hari ia mau sarapan dengan aku dan isteriku, itupun dengan ditemani oleh isterinya yang waktu itu membantunya untuk memanen kopiku. Kami berempat duduk di serambi rumah. Aku dan isteriku bersebelahan dan berhadapan dengan pak Karmodan isterinya. Nasi hangat yang masih kebul-kebul,telah tersedia di hadapan kami berempat. Sementara lauk ayam goreng, sambal terasi, lalap daun singkong, kerpupuk udang dan ikan asin juga tersedia di situ. Yah bagi kami sambal terasi adalah lauk pokok yang harus ada untuk menemani lauk lain sekalipun itu untuk sarapan pagi.

“Ayo, kita mulai makan, silahkan Pak Karmo, Bu Saitem” isteriku memulai sarapan pagi itu. Sementara aku juga mengangguk sambil memandang mereka sambil tersenyum mempersilahkan mereka untuk mengambil nasi dalam bakul anyaman bambu itu. “Inggih Pak, silahkan Bapak Ibu duluan” yah selalu saja begitu jawaban mereka ketika kami meminta mereka mengambil makanan terlebih dahulu.
“Ya, sudah. Kalau begitu aku akan ambilkan nasi dulu untuk bapak” isteriku menjawab mereka sambil mengambilkan nasi dengan piring di hadapanku untukku. Lalu dia mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Kami berdua mengambil lauk ayam goreng yang telah tersedia di situ. Sementara kami telah memegang piring dengan nasi lengkap dengan lauk pauknya, Pak Karmod an Saitem masih saja bengong memperhatikan kami. Mereka malu-malu ketika makan bersama kami, majikan mereka. “Ayo Bu Saitem, nasinya diambil, jangan malu-malu. Ayo kita makan, nanti dingin lho!” isteriku kembali mengajak mereka. “Inggih Bu” jawaban itu sering sekali aku dengar dari lisan mereka.

Saitem mengambil nasi untuk suaminya, Karmo. Nasi yang diambil Saitem porsinya begitu sedikit. “Bu, nasinya yang buat Pak Karmo, mbok ya ditambah, nanti tidak kenyang” aku menyuruh bu Saitem untuk menambah kembali porsi Pak Karmo. Akhirnya mereka sudah memegang nasi. Lalu aku persilahkan mereka mengambil lauk yang ada di situ. Aku dan isteriku saling berpandangan ketika mereka hanya mengambil lauk lalap daun singkong, sambal terasi dan ikan asin saja. Aku tidak tahu kenapa mereka hanya mengambil lauk itu. Bukankah masih ada ayam goreng? Atau mungkin mereka hanya berselera dengan sambal, daun singkong dan ikan asin itu?. Akhirnya isteriku mengambilkan ayam goreng dan ditaruhkan kepada piring Saitem. Sementara aku juga taruhkan ayam goreng dan kerupuk ke piring pak Karmo. “Ayo, dimakan sampai habis” isteriku mengajak memulai makan bersama pagi itu. Seusai isteriku mengajak mereka bersama kami, kamipun makan bersama sampai selesai makan. Selama makan bersama dengan keluarga Karmo tanpa dengan pembicaraan dan obrolan sedikitpun.
Tanpa disangka sarapan bersama pagi itu adalah sarapan kami berempat yang terakhir kalinya. Setelah itu aku tak pernah lagi merasakan enaknya makan ikan asin, sambel terasi, lalap daun singkong. …..

****

Di tengah malam yang tenang kepolosan Karmo dan isterinya telah musnah oleh longsor tanah yang menenggelamkan desa. Aku selalu berpendapat bahwa bencana longsor yang menimpa Karmo sekeluarga dan warga desa lain adalah getah dari seseorang oknum perambah hutan yang telah membabat tanpa pilih, menebang tanpa kasih. Namun warga desa yang lain selalu mengatakan bahwa bencana alam longsor ini akibat dari penguasa gunung yang sedang murka pada warga desa yang sudah meninggalkan tradisi leluhur selama beberapa tahun itu. Aku tak bisa memaksakan asumsiku dan logikaku pada mereka. Toh, segala pendapatku tak bisa lagi mengembalikan nyawa penduduk desa yang telah hilang ditimbun tanah. Yang menyedihkan isteriku yang tercinta harus juga menjadi korban saat malam itu dia yang sedang hamil dan sedang ngidam meminta kalung perhiasan berbandul mutiara. Malam itu dia tidur di rumah isteri karmo sekeluarga.

Malam itu aku harus keluar kota untuk menemui juragan kopi di kota. Aku tak membawa serta isteriku tercinta. Perjanjian jual beli itu begitu lancar namun malam itu di kotapun hujan deras mengguyur hingga memaksaku pulang esok harinya.

Besoknya dengan suka cita aku pulang membawa kalung perhiasan berbandul mutiara untuk isteriku. Setelah sampai di pedukuhan, seketika itu pula perasaanku remuk redam ketika melihat sekelilingku telah rata dengan tanah. Hujan deras itu rupanya tidak hanya melumat pedukuhan dan memporak-porandakan rumah-rumah gedheg warga. Aku bisa membayangkan bagaimana dahsyatnya air dan lumpur yang bersekutu untuk memboyong batu besar di atas perbukitan itu sekaligus mempermainkan dan menerjang rumah-rumah penduduk yang ada di bawahnya. Yang tragis aku melihat orang yang paling aku cintai, telah berbalut lumpur membujur kaku tertimpa tiang rumah Pak Karmo. Mungkin dia berusaha lari, namun larinya kalah cepat.

Hanya perkebunan kopi dan rumahku inilah yang disisakan oleh prahara longsor itu. Tak ada lagi sarapan bersama, duduk menyantap secangkir kopi, lebih-lebih senyum isteriku. Tempat inilah satu-satunya kenangan terakhir saat kami masih bersama. Ruang perpustakaan yang selalu menjadi kenangan saat aku bersama isteriku merencanakan masa depan dan menceritakannya pada anakku yang masih dalam kandungan. Semua telah hilang, yang ada hanya kenangan yang menggenang. Tanganku membuka kotak berdebu berisi kalung perhiasan berbandul mutiara. Tanpa terasa air mataku meleleh. Di depanku perbukitan itu masih tandus dan gundul. Pedukuhan itu sekarang telah hilang, semua telah pindah. Untuk menghindari kutukan penguasa gunung, kata mereka.

Purwokerto, 3 Juli 2008

Jam-jam untuk Penjaga Masjid

16.45 WIB
Selalu beberapa orang dari keempat penjaga masjid mengepel pendopo masjid ini bergantian dan kadangkala bersama-sama. Biar masjid ini kelihatan bersih dan suci, itu jawaban ketika aku ditanya seseorang. Aku tidak mau menjawab lebih panjang. Kadang temanku menjawab sebagian dari iman itu kebersihan. Tepatnya mungkin kebersihan sebagian dari iman. ada saja orang yang selalu menanyakan perihal kebersihan masjid dan sebagainya padahal menjaga masjid adalah kewajiban setiap orang. Sore itu aku mengepel dengan temanku bertiga. Sementara udara dingin dan gerimis hujan seolah sangat kerasan dan betah mengguyur kota kecil ini. Kami bertiga berbagi tugas, sahabatku yang satu membenahi karpet di dalam masjid yang berantakan karena ulah anak-anak yang bermain sewaktu mengaji, belajar membaca huruf Hijaiyah dan Al Qur'an.

Sahabatku yang satunya dengan gagah memegang sapu yang telah pendek gagang sapunya. Sementara aku memegang tongkat pel dengan ember air yang berisi setengah saja. Aroma pewangi lantai dalam ember itu seolah menjadi shockterapy bagiku yang baru saja kuliah dengan dosen killer yang menjemukan tadi siang. untuk mahasiswa dengan intelegensia pas-pasan seperti aku, nilainya pelit, tugas-tugasnya berbelit-belit dan terlampau sulit,

Entah kenapa beberapa bulan ini aku merasa mengalami gejala keanehan dalam diriku tapi tak pernah tahu pasti penyebabnya. Aku seringkali terbalik-balik dalam menyusun kata-kata dalam setiap harinya. Arah tidurpun selalu sangat kontra arah dengan sahabat sekamarku, kepalaku di bagian kepalanya dan kepalanya di depan kakiku. kebetulan aku tidur dengan sesame pria setipa malamnya. Pernah aku berpikir sebab semua ini mungkin karena aku kebetulan kuliah di sosiologi,efek dari kuliah dari dekonstruksi Derida atau Foucault. Ah…tapi….setelah aku amati ternyata teman-teman sosiologi juga normal-normal saja. berarti hipotesisku bisa saja salah. Aku selanjutnya mencari jawaban lain yang lebih logis. Tapi lagi-lagi aku tak pernah puas, selalu saja aku merasa jawabanku sangat irrasional. Sementara aku pernah berkesimpulan mungkin karena aku tinggal di mesjid. Karena konon katanya mahasiswa yang tinggal di masjid berbeda dengan mahasiswa yang tinggal di kos-kosan. Lagi-lagi katanya. orang yang tinggal di masjid terkendali imannya, tapi sekali lagi pernyataan itu aku serta merta kusangkal dengan keras.

17.00 WIB
Masjid yang aku tempati bersama kedua sahabatku di pinggir jalan, bahkan sangat dekat dengan jalan yang selalu ramai dengan lalu lalang kendaraan dan juga pedagang makanan yang setiap sore selalu berjajar berjualan melayani mahasiswi-mahasiswa cantik berkulit putih yang selalu menjadi impian lamaku dan selalu menjadi impian terbaruku. Bagiku waktu dulu atau sekarang itu tak ada bedanya, karena menurutku aku masih saja seperti dulu, tetap sama. Tetap sama sebagai mahasiswa yang tinggal di masjid bersama kedua sahabat setiaku. Sama-sama sebagai santri Pak Kyai. Sama-sama sebagai mahasiswa yang sudah semester sepuluh tapi belum lulus-lulus.

Impianku memang dari dulu ialah cukup sederhana. Mempunyai seseorang yang bisa memotivasiku ketika aku sedang lemah dan patah semangat. Tapi entahlah, aku belum menemukan orang tersebut. Aku harap seseorang itu adalah seorang gadis atau perawan yang cantik baik hati, bukan seorang lelaki konyol seperti sahabat-sahabatku di masjid yang ketika tidur senang sekali melingkarkan kakinya di pinggangku.

Aku terus saja mengepel lantai yang kotor oleh kaki-kaki sang ahli ibadah yang rajin ke masjid. Walaupun bersandal dan berpayungan kaki mereka tetap saja ngeres. Entah semangat apa yang menjadi rajin ke masjid untuk sembahyang pada tuhan sang pemberi hujan. Tapi aku tak peduli dengan mereka yang rajin sholat di masjid yang aku tempati. Yang penting waktu itu dalam pikiranku adalah menyelesaikan pekerjaan mengepel lantai itu rampung dengan secepatnya karena keburu waktu maghrib tiba. Sambil cepat-cepat mengepel lantai masjid, sambil cepat-cepat pula aku mencuri-curi pandang ketika melintas mahasiswi-mahasiswi pemburu makanan sore di deretan penjual makanan di jalan kampus. Kebetulan setelah lama aku mengamati satu persatu orang melintas di depan mesjidku. Kebetulan aku melihat seorang gadis. Kebetulan pula seperti gadis impianku. Kebetulan pula dia menengok ke arahku dan melihatku yang keren dengan pegangan tongkat pel, berkaos dan bersarung.
Alam khayalku muncul dihadapanku setelah melihat wajah manis yang melintas di depan masjidku. Wajahnya manis seperti madu penawar sariawanku. Rambutnya mengombak seperti ombak lautan sore hari yang menenangkanku ketika aku melihat matahari tenggelam. Alisnya yang kata orang jawa nanggal sepisan semakin menambah jelas jernih matanya dan lentik bulu matanya yang telah membuaiku terbang ke langit biru yang amat tinggi dengan menutup mata. Ya… Tuhan bibirnya begitu indah, melebihi indah bibir para bidadari syurga mungkin….

Sosok impian akhirnya melintas dengan cepat meninggalkan pelataran masjid yang sempit. Yah…seandainya aku bisa menghentikan waktu mungkin akan kulukis dirinya sebelum ia pergi. Sementara mega merah di ufuk barat telah benderang menandakan waktu maghrib segera tiba, aku hentikan mengepel sambil berjalan menaruh kain pel seraya memandangi kepergian sosok impian yang telah hilang bersama angin senja yang menyapa perutku yang keroncongan.

17.45 WIB
Maghrib telah tiba, suara adzan temanku menggema menyambut mega merah di langit barat. Sesaat kemudian pujian pada Tuhan dan sholawat Nabi berkumandang dilanjutkan iqomat didengungkan. Kamipun semua bercinta dengan Tuhan lewat gerak takbir, ruku dan sujud kami. Gerak bibir kami senantiasa memujinya, membesarkan namanya dan mensucikan keindahan dan keagungan-Nya.
Selesai sholat aku berdoa pada Tuhan yang maha pemurah untuk mengasihi penjaga masjid. Mendatangkan bidadari-bidadari dari langit untuk sholat berjamaah di masjid ini, hingga aku dapat mencuri mukena milik salah satu bidadari yang ikut sholat jamaah supaya menjadi isteriku. Mungkinkah ketika kupintakan kepada-Mu, terkabulkah? Kebetulan aku hanya bisa berdo’a dan usahaku sebagai seorang penjaga mesjid.

17.45-22.42 WIB
Sholat, mendengarkan ceramah, berdiskusi tentang wanita yang kami tak kenal namanya.

00.12 WIB
Menjelang tidur aku biarkan imajinasi liarku berkelana. Seandainya tengah malam ini datang seorang bidadari. Menemuiku di bilik masjid yang sepi ini. Sementara saudara-saudaraku telah tertidur lelap dalam pangkuan-pangkuan mimpi malam.Sementara para pedagang di jalan kampus telah banyak pulang mendorong gerobaknya.

Sementara bidadari itu mengajakku terbang. Sementara kabut malam ini begitu tebal putih dalam hitam malam.Sementara dingin udara ini semakin memucatkan bibirku. Sementara badanku menggigil kedinginan. Sementara ada depanku terpatung seorang bidadari.Sementara senyumnya tersungging sangat manis dari bibirnya yang tipis. Sementara aku semakin kedinginan. Sementara angin itu merangkak menelusuri tubuhku yang menggigil. Sementara rambut bidadari yang wangi itu sebagian terkena angin mengenai wajahkuTuhan….apa yang harus aku lakukan. Sementara bidadari itu telah hilang terbang bersama kabut malam yang semakin meninggi dan menjemput embun malam untuk turun ke bumi.

05.30 WIB
Jum’at pagi ini seperti biasa berusaha untuk bekerja keras untuk membersihkan karpet yang terpasang di masjid. Entah kenapa semenjak malam tadi kabut begitu tebal menutupi jalanan di sudut kecil kota purwokerto. Yah….kabut begitu tebal. Menjelang subuh aku tidak begitu memperhatikan cuaca alam, yang aku perhatikan mungkin karena aku sudah kesiangan bangun untuk adzan subuh. Kebetulan entah kenapa tadi malam aku juga mimpi cukup indah hingga membasahi sedikit bagian dari tubuhku. Mungkinkah ini karena kabut yang tebal yang menutupi malam.ah….aku tak tahu, aku tak peduli. Yang aku pedulikan adalah aku begitu ingin mengurangi mimpi yang sangat ini. Aku ingin mengulangi lagi mimpi malam tadi. Tapi….mungkinkah ketika aku tidur kembali aku akan bermimpi yang sama seperti tadi malam. Ah….lagi-lagi aku berkhayal.

Sementara kabut masih tebal menutupi sisi jalan kampus setelah subuh ini. “wahai saudaraku, kabut begitu tebal pagi ini bahkan akhir-akhir ini. Kenapa ya?” aku bertanya dengan spontan kepada sahabatku ketika memasuki bilik suci tempat tinggal kami berdua bahkan bertiga. “kata pak kyai ini lah tanda-tanda jaman akhir”jawaban yang tak disangka-sangka keluar dari lisan sahabatku, yang sedari tadi ada di kamar setelah melanjutkan tahlil dan wirid bersama pak kyai.” Ah…benarkah seperti itu?”tanpa sadar aku merasa gelisah, setelah mendengar jawaban dari sahabatku tadi.
Jaman akhir, jaman mendekati kiamat. Bumi sudah tua, sudah banyak bencana, sudah banyak musibah besar silih berganti menerpa negeri ini. Kalau kata pak kyai, semua ini karena banyak umat yang telah meninggalkan ulama, banyak laku maksiat. Tapi kalau kata mbah buyutku ini jaman akhir jaman edan, jaman orang gila yang serakah dengan harta, tahta dan wanita. Semua cara dihalalkan dan semua yang haram dihalalkan.tapi katanya nanti kata mbahku aka nada ratu adil. Tapi katanya pak kyai di jaman akhir akan datang sang penyelamat dunia, pembawa risalah kebenaran untuk orang-orang yang sesat. Mungkinkah sang penyelamat ini atau ratu adil ini adalah orang yang sama, tapi siapakah dia? Dimanakah dia dan kapan dia akan datang untuk memperbaiki semangat jaman yang sudah edan ini.

Sementara kabut masih tebal namun sorot sinar matahari pagi selalu beranjak naik dan berusaha menerobos kabut tebal yang menutupi jalan. Ketika aku melihat sinar matahari pagi aku ingat pada kasih ibuku yang sepanjang nafasku selalu mendo’akanku. Aku tahu bahwa setiap jam empat pagi ibuku dan mbahku yang sudah tua dan bungkuk telah bangun dan memasak air.
Sementara kabut masih tebal aku juga teringat bapakku. Sepanjang kuliahku ia selalu berusaha bekerja semampu tenaga untuk menghidupiku. Sementara aku juga sangat ingat ayahku yang mungkin di saat kabut masih tebal, pastinya ia sudah berjalan menelusuri panjangnya pematang sawah yang masih berembun. Aku bisa bayangkan kalau dipundaknya sudah ada cangkul kesayangannya. walaupn bapakku punya banyak cangkul namun aku melihat hanya cangkul itu yang selalu dibawa bapakku ke sawah. Kalau cangkul-cangkul lain bisa dipinjam oleh tetanggaku atau pamanku, tapi cangkul ini sangat berat dan larangan untuk dipinjamkan.

Aku bisa menebak kenapa bapaku begitu sayang dengan cangkulnya yang satunya itu. Mungkin karena selama inilah dengan cangkul itu bapakku menghidupiku menghidupi adikku, menafkahi ibuku. Cangkul itulah yang telah menyemaikan benih-benih padi disawahnya untuk tumbuh subur. Padi itulah harapan baginya. Ketika panen tiba, selalu aku melihat senyumnya dan tarikan dan hembusan nafasnya yang panjang menandakan kelegaan dan kebahagiaan.Namun aku masih ingat ketika musim kemarau kemarin bapakku tidak bisa menanam padi, ia begitu pontang-panting menjual segala macam hasil bumi untuk keperluan kuliahku bahkan ditambah ongkos transport adikku yang masih SMP.

Lembah Gunung Slamet (Purwokerto) 7 Juli 2008

Jumat, 11 Juli 2008

ber....

saat aku sedang mengetik kata-kata ini
aku mendengar seorang wanita
mungkin dari balik bilik internet sebelah belakangku
menangis, mengeluh, bersama seorang pria
mahasiswa dan mahasiswi

bertengkar
cemburu
bercinta
ber.....
ber.....
ber.....

aku tak dapat melanjutkannya
karena saat aku menulis kata ini
dia sudah diam

sedang apa ya?
mungkin sedang ber....??????

usia, jodoh, rezeki, mati

usia
jodoh
rezeki
mati

aku
engkau
kita
manusia

selalu
mempertanyakannya
menerkanya

itu rahasia
sehingga kita selalu ingin membukanya

pasti ada sesuatu
mengapa menjadi rahasiNya

perempuan yang tak kami kenal namanya

setiap maghrib dan isya tiba
engkau bersama ibu dan adikmu terlihat
seringkali kami mencuri pandang

mukena putih itu membalutmu
air wudlu itu mungkin telah membuat wajahmu bercahaya
sahabatku selalu membicarakanmu

tentang ibumu yang dia sebut sebagai mertua
tentang bapakmu yang sangar dan gagah yang selalu menjadi pertimbangannya
tentang adikmu yang lagi lucu dan manja

hampir setiap hari kami melihatmu
tapi tak pernah kenal namamu
kami hanya bisa menyapamu
hanya senyum kami yang berbicara

sampai suatu hari ada seorang pemuda
polisi pula, HPnya pun kamera
tiger 2000 tungganganya
memmbelikan kami ketoprak pula
untuk dimakan kami bertiga

akhirnya ia menyebut sebuah nama
yang ternyata namamu
ratih...
katanya lirih
menandakan ada perasaan istimewa

selepas polisi muda itu mengeslah kendaraannya
kami berbincang tentangmu
yang telah setahun tak kukenal namanya

"cintaku ditukar dengan ketoprak"
tiba-tiba sahabatku berkata perih sambil memegang dadanya...

(untuk muktar yang mungkin selalu mengenang dan mendzikirkan namanya,
perempuan yang tak kami kenal namanya sebelumnya)

wanita yang kukenal saat wisuda

kukenal dia sebagai sosok yang cerdas
lewat tajam matanya yang cemerlang seperti bintang
kuyakini dia sebagai sosok perempuan dewasa
lewat lembut bicaranya yang bersahaja
lewat simpul senyumnya yang simpel dan supel

kuyakinkan ia sebagai seorang sahabat
lewat pertama kali aku mengirimkan pesan singkat
kuyakinkan ia orang yang sabar
ketika aku belum sempat-sempat membuat alamat friendster
kuyakinkan dia orang yang beruntung dan rajin
selepas wisuda langsung bekerja

kutuliskan ini untuk mengenang saat-saat Jum'at itu
tiada lain harapan semoga menjadi motivasiku
yang sekarang sedang mengayuh biduk kehidupan yang sebenarnya
dalam detik-detik penantian
dalam usaha mencari bekal hidup

(untuk dina, semoga silaturahim selalu terjalin diantara kita semua.
selamat bekerja...SEMANGAT!!!

MASA PERSINGGAHAN

menghitung hari seperti lagu KD
menabung harapan tanpa henti
menebar peluang setiap bertemu orang
tersenyum dalam segala suasana
menangis di kala duka menghampiri
menanti kepastian yang masih misteri
dalam gelap malam dan terang siang
manusia hanya bisa berusaha
duduk berpikir
berjalan berusaha
dan tengadah berdo'a
menanti sang kholiq berbicara
tentang do'a dan usaha yang telah dirasa dilakukannya
di masa-masa persinggahan

Rabu, 02 Juli 2008

menggapai-gapai

dan usia bertambah terus meskipun kita lupa menghitungnya, sedangkan yang hendak digapai belum ada tanda-tanda akan tercapai, toh harus dijalani semuanya, karena mungkin itulah arti menggapai-gapai, tetap mengejar kendati tak pernah sampai...
(PUTU WIJAYA, UAP. BENTANG 1999 hal.11)


SEBUAH AFORISMA PUTU WIJAYA YANG KUBACA SETELAH DUA MINGGU AKU MENJALANI PERAN BARU ITU
SEBUAH CERITA YANG MAU TIDAK MAU HARUS BERULANG
DEMI MERAJUT KISAH INDAH UNTUK SETIAP LANGKAH YANG KUKAYUH MENYEBRANGI KENYATAAN HIDUP YANG SEMAKIN LUAS...
TETAP SEMANGAT DAN TERUS BERJUANG!!!!