Sabtu, 20 Desember 2008

Ketika kata mati

Sesak sajakmu membuaku berteriak. Belum sempat kupekakkan telingamu dan kumbat liang telingamu dengan sumpah serapahmu. Dadaku terlanjur tersumbat kesumat untukmu. Dulu katamu, lebih inda hidup dinaungi puisi.
Nisbi justru kutemui kini setelah kematian kata dan puisi. Penjara kata menambah nganga luka. Nyalang matamu yang cemerlang, terlampau hilang setelah malam pemaksaan itu. Malam ketika kau tunjukkan dadamu yang bidang, dengan sajak penuh sesak birahi.

Kini sajak sepi membuatku iri. Melata pergi, kau raib tanpa permisi. Hanya kautinggalkan seorang bayi tanpa kau penuhi pintaku. Orang lain memanggilku ibu bukan seorang isteri. Bayi hanya seorang piatu, bapaknya telah mati sepeninggalmu.
Kuluruhkan etika, serupa kelelawar aku menjelajah malam. Kututup luka hati dengan bedak dan lipstik yang teramat tebal. Lengkap sudah tebal itu ketika kusuguhkan senyuman ketika seorang lelaku menghampiriku.

Bertambah hari kesakitanku tak pernah berkurang
Luka itu bertambah menganga ketika kosmetikku hilang oleh serigala belang.
Bersamaan dengan lenguhan kepuasan syahwat, batinku tersayat kembali
Serigala itu sama tidak ada bedanya denganmu
Bedanya kau lebih pandai menyimpan rahasia
Serigala itu lebih terus terang menginginkan aku sebagai mangsa
dulu, kau datang taburkan bunga-bunga yang memekarkan kata-kata
kini setiap lelaki menjelang dia tawarkan harga yang kiranya pantas untukku

malam yang menjadi sajak kepedihanku, yang menjadi puisi untuk sumber kehidupan bayi itu kelak untuk seorang yang sudi atau tidak sudi harus mengakuiku sebagai ibu.
Dalam senyap kusuguhkan sepiring kenikmatan dan segelas kehangatan
Senyum liar menjadi penawar dahaga bagi jiwa-jiwa yang kesepian. Padahal aku lebih kehausan. Aku dipaksa memberi obat, padahal akulah yang butuh kesembuhan.

suatu malam kutermui seorang laki-laki. Ia membawakan sajak dengan puisi hati
ia memelas hati, bersedia menjadi bapak dan suami yang baik hati
aku hanya tertawa dan berteriak. Cinta dan dosa itu nisbi
kebenaran dan dusta itu sama, hanya kata yang menutupinya
aku bilang kita hidup bukan hanya karena cinta, kucaci dia kalau lelaki hanya butuh birahi. Mereka hanya bisa merokok setelah lahap melalap syahwat. Setelah itu lelap. Meninggalkan wanita ketika bangun. Kusumpah serapahi dia, kataku janji lelaki hanya untuk birahi.

Ketika Absurditas dan Nihilisme .....

{“Tidakkah kau dengar orang gila yang menyalakan pelita di pagi yang cerah. Dia berlari menuju alun-alun kota dan tak henti-hentinya berteriak. ’Aku mencari Tuhan’ aku mencari Tuhan!’. Ketika orang banyak yang tidak percaya pada Tuhan, datang mengerumuninya, orang gila itu mengundang banyak gelak tawa. ’Apakah dia ini orang yang hilang?’, tanya seorang. Apakah dia tersesat seperti anak kecil? Apakah dia baru saja mengadakan pelayaran? Apakah dia seorang perantau? Demikianlah mereka saling bertanya sinis dan tertawa.

Orang gila itu lalu melompat dan menyusup ke tengah-tengah kerumunan dan menatap mereka dengan pandangan tajam. ’Mana Tuhan?’, serunya. ’Aku hendak berkata pada kalian. Kita telah membunuh Tuhan- kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. Bagaimana mungkin kita telah melakukan perbuatan semacam ini? Bagaimana mungkin kita meminum habis lautan? Siapakah yang memberikan penghapus kepada kitauntuk melenyapkan seluruh cakrawala? Apa yang kita lakukan jalau kita melepaskan bumi ini dari mataharinya? Menjauhi seluruh matahari? Tidakkah kita jatuh terus menerus? Ke belakang, ke samping, ke depan, ke semua arah? Masih adakah atas dan bawah? Tidakkah kita berkeliaran melewati ketiadaan yang tidak terbatas? Tidakkah kita menghirup ruangan yang kosong? Bukankah hari sudah menjadi semakin dingin? Tidakkah malam terus menerus semakin meliputi kita? Bukankah pada siang hari lenterapun kita nyalakan? Tidakkah kita mendengar kebisingan para penggali liang kubur yang sedang memakamkan Tuhan? Ya, para Tuhan juga membusuk! Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Dan kita telah membunuhnya!

Bagaimanakah kita – pembunuh para pembunuh - merasa terhibur? Dia yang mahakudus dan mahakuasa yang dimiliki dunia kini telah mati kehabisan darah karena pisau-pisau kita - siapakah yang hendak menghapuskan darah ini dari kita? Perayaan tobat apa, pertunjukkan kudus apa yang harus kita adakan? Bukankah kedahsyatan tindakan ini terlalu dahsyat bagi kita? Tidakkah kita harus mejadikan diri kita sendiri sebagai Tuhan supaya tindakan itu kelihatan bernilai? Belum pernah ada perbuatan yang lebih besar, dan siapa saja yang lahir setelah kita – demi tindakan ini - akan termasuk ke dalam sejarah yang lebih besar daripada seluruh sejarah sampai sekarang ini!
Sampai di sini orang gila itu lalu diam dan kembali memandang para pendengarnya; dan mereka pun diam dan dengan keheran-heranan memelototinya. Akhirnya orang gila membuang pelitanya ke tanah dan pelita itu hancur. Kemudian padam. ’Aku datang terlalu awal’, katanya kemudian. ’Waktuku belum tiba. Peristiwa yang dahsyat ini masih terus berjalan, mash terus berkeliaran dan belum sampai padateliga orang-orang. Kilat dan guntur memerlukan waktu, cahaya bintang-bintang memerlukan waktu untuk dapat dilihat dan didengar. Tindakan ini masih memerukan masih lebih jauh dari mereka sudah memerlukannya untuk diri mereka sendiri’.

Masih diceritakan lagi bahwa pada hari yang sama orang gila itu nekat masuk ke dalam berbagai gereja dan di sana menyanyikan lagu Requiem aeternam deo (istirahat kekal bagi Tuhan). Setelah keluar dan diminta pertanggungjawaban, dia hanya selalu menangkis dan berkata, ”Apalagi gereja-gereja ini kalau bukan makam-makam dan nisan-nisan Tuhan?”}

###

Aforisme ”ORANG GILA” Nietzsche di atas mungkin (bisa ditafsirkan) sejalan pembacaan jaman edan dari seorang pujangga Jawa ”R. Ng. Ranggawarsita”. Jaman di mana moralitas dan norma telah menjadi absurd. Bahkan tuhan telah dinegasikan dengan kehendak untuk berkuasa manusia. Tindakan korup, inhumanis dan despotis telah menjadi proses atau alat untuk memenuhi ideologi atau tuhan yang baru ”uang”.

APA BEDA ANTARA TUHAN DAN MANUSIA,
KETIKA OTORITAS TUHAN TELAH DIAMBIL OLEH MANUSIA.
APA BEDANYA DENGAN FIR’AUN KETIKA MUSA HIDUP.
MENGHAKIMI MANUSIA DENGAN EGO DAN KUASANYA.
HARUSKAH SEMANGAT MUSA DIBUNUH OLEH ”UANG”
TONGKAT MUSA TELAH DIGANTI DENGAN NOMINAL

PADAHAL TAUHID (KATANYA) PENGAFIRMASIAN TERHADAP TUHAN YANG ESA DAN PENEGASIAN TERHADAP TUHAN-TUHAN YANG LAIN.

MANGGA SEDULUR PADA (LATIHAN) ELING LAN WASPADA
JERENE LEBIH APIK GEMBLUNG DARIPADA ELING
BEGJA-BEGJANE SING EDAN LEWIH BEGJA SING ELING LAN WASPADA

”MANUSIA ADALAH TUHAN YANG MENYEJARAH
TUHAN ADALAH MANUSIA YANG MENG-ABADI”

PURWOKERTO, 20 DESEMBER 2008

Jumat, 12 Desember 2008

monalisa

siapa yang tak kenal dengan lukisan ini
wanita cantik
"cantik"
kata itu yang membuatku aneh
apakah cantik itu?
bagaimana menilai kecantikan?

bandingkan dengan wanita yang sedang, akan, kita cintai
apakah ada kemiripan dengannya?
apalagi kita sebagai seorang asia bahkan jawa...
semua terserah anda.
yang pasti banyak yang lebih cantik dari monalisa.

Kamis, 11 Desember 2008

jaman edan

jaman edan sekarang
kalau tidak percaya tanya siapa saja
mahasiswa, petani, pejabat dan rakyat
tidak perlu kusebutkan satu-satu profesinya
yang penting tanya manusia

materi tertumpuk spiritualitas ambruk
khianat, maksiat, syahwat, aurat, uang rakyat
sudah menjadi barang nikmat
semua kumat tanpa pikir jernih
semua gila tanpa memikir ada yang waras
yang waras ada yang ikut gila

sejak mahasiswa sudah korupsi
sejak miskin telah mencuri
sejak belajar sudah curang
apalagi ketika sudah menjadi pejabat
apalagi kalau telah kaya
apalagi jika sudah belajar

jaman edan
di warnetpun kudengar paksaan
kudengar erangan, kudengar lenguh kelelahan
ini nyata sejak aku menulis kata sejak
jaman edan, ora edan ora keduman

mahasiswa kepercayaan orang tua
diberi dana diberi percaya
yah...erangan itu masih kudengar

si mahasiswi bilang
"ga mau"
bilik warnet berisik
bilik warnet gaduh
syahwat menjadi barang nikmat
aku juga akui itu

jaman edan...
edan...edan...
semua pembaca semoga tidak edan
tidak ikut-ikutan mainan setan
bikin anak terus menerus untuk goda manusia
tidak pernah mati sampai kiamat
goda manusia sampai khianat

edan...edan...
tidak mau tapi tertawa
tidak mau tapi mau
waras dan gila sama saja
dunia absurditas,
nihilisme
kampret...

gaduh terus di bilik belakangku
"mengaduh terus di selakangku"
mungkin itu katanya kalau boleh aku terka
setan tertawa tapi aku tak pernah tahu
hebat....sudah rampung....
ini nyata,
bukan bohong belaka

giganet, menjelang asyar
pasca wisuda

kebetulan atau kebenaran

di jogja aku melihat sepotong wajah yang lewat di depan kosan temanku.
wajahnya tak asing
aku yakin aku pernah melihatnya
aku berpikir sejenak
ternyata ini kali kedua aku melihat wajah yang cantik itu
benar ini aku kali kedua aku mengenali wajahnya

kemudian aku berpikir kembali
mengingat kembali dalam memori otakku
aku yakin telah dua kali ini melihat wajah itu
padahal pertama kali aku melihat wajah yang cantik itu....
dalam mimpi
yah....dalam mimpiku
aku yakin itu

ini kebetulan atau kebenaran?