Selasa, 22 April 2008

turki (pitutur si kaki)


1.Pandangan terhadap Ketentuan Tuhan

Mengenai ketentuan Tuhan dan kehendak manusia hendaknya manusia menyadari dan menerima setiap ketentuan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada hakekatnya segala peristiwa dan kejadian adalah atas kekuasaanNya. Perjalanan manusia baik bahagia, celaka, begja, apes bilahi wis ginawe dening Sing Kewasa. Manusia harus menyadari bahwa segala ketentuan seperti bahagia, celaka, rejeki itu datangnya tengah malam. Jadi manusia tidak bisa mengelak dan menghindar dari segala ketentuan Tuhan. Segala ketentuan akan diterima manusia, menungsa mung kari ngadhangi. Oleh karena itu manusia harus selalu percaya pada Yang Maha Pembuat Hidup.

Ada cerita lisan dari Bapak Tirtaja yang berjudul Maling Pandunga Guna. Maling Pandunga Guna adalah cerita lama yang sudah jarang orang ketahui dan ingat. Ceritanya tentang kisah hidup seorang maling.1 Maling pandungan guna adalah maling yang sakti punya ilmu sirep yang luar biasa hebatnya. Diceritakan ilmu sirepnya bisa mengendalikan tidur orang-orang. Dia mencuri untuk dibagikan kepada orang yang melarat. Ceritanya berawal ketika si maling ini mau menyatroni seorang penduduk di sebuah desa. Setelah sampai di rumah salah satu penduduk itu, si maling mengendap-ngendap masuk ke rumah. Akhirnya dia berhasil masuk, namun rencananya untuk mencuri barang-barang berharga di rumah salah satu penduduk ini diurungkan setelah melihat kejadian aneh di rumah tersebut.

Rupanya ketika si maling mau memasuki senthong2si empu rumah, istri empu rumah ini sedang hamil besar dan mau melahirkan. Malam itu adalah tepat malam melahirkan bagi isteri si empunya rumah. Aksi pencurian ini urung dilakukan dan bahkan si maling malah melihat kejadian aneh ketika si isteri empunya rumah melahirkan seorang anak. Si maling mengamati proses kelahiran si jabang bayi dari atas atap rumah. Ia tersentak kaget ketika bersamaan dengan lahirnya bayi perempuan itu terdengar suara gaib yang entah dari mana asalnya. Yang aneh adalah hanya dia yang mendengar suara itu. Suara itu mengatakan bahwa kelak si bayi yang baru lahir itu akan menemui ajal ketika menikah dan matinya disebabkan oleh gigitan ular saat akan memasuki kamar pengantin.

Peristiwa gaib malam itu selalu terngiang-ngiang dalam ingatan si Maling Pandunga Guna dan secara tidak sadar rupanya ia berusaha untuk niteni,meneliti dan membuktikan kebenaran pernyataan gaib tentang sebab matinya si bayi perempuan yang baru lahir kelak di malam pertama perkawinan. Semenjak si bayi perempuan itu lahir sampai dewasa si Maling Pandunga Guna mengamati perjalanan hidup bayi perempuan itu sampai dewasa. Kemudian tibalah saat pernikahan anak perempuan tersebut. Karena mendengar anak perempuan tersebut menikah, Maling Pandunga Guna penasaran ingin membuktikan kebenaran perkataan suara gaib yang dulu didengar ketika calon penganten perempuan lahir.

Akhirnya Maling Pandunga Guna mendatangi pernikahan tersebut, dan dia hadir bukan sebagai maling seperti dulu. Dari awal sampai akhir prosesi pernikahan penganten perempuan diamati tanpa terlewat satu sesipun. Akhirnya berakhirlah prosesi pernkahan dan tibalah pengantin masuk ke kamar penganten. Maling Pandunga Guna mengikuti kedua pengantin yang sedang menuju tempat peraduan pengantin dari belakang. Saat-saat menuju ke kamar pengantin semakin dekat dan benar tepat di atas pintu kamar sang pengantin, ada seekor ular yang menanti sang pengantin wanita untuk masuk ke kamarnya.

Pikiran Maling Pandunga Guna semakin gelisah dan sambil memegang keris di belakang bajunya ia terus mengamati dengan sigap setiap langkah pengantin wanita yang semakin mendekati pintu kamar. Tepat di depan pintu kamar itu sang pengantin wanita berusaha untuk membuka pintu. Saat pengantin wanita memegang daun pintu, ular yang melilit di atas pintu itu jatuh dan berusaha untuk mematuk si pengantin wanita. Seketika itu Maling Pandunga Guna langsung menebas ular dengan kerisnya. Ular itu mati dan malam pertama pengantin berjalan lancar dan pengantinpun selamat. Pikiran dan hati Maling Pandunga Guna lega bahwa kejadian yang telah dititeni atau diperkirakan akan terjadi, ternyata benar-benar pengantin wanita tidak mati karena ular. Walaupun suara gaib itu benar terjadi tetapi kecelakaan dan kematian itu dapat dihindarkan malam itu.

Pagi hari tiba setelah malam pertama pengantin wanita berlalu. Maling Pandunga Guna pagi itu kaget ketika mendengar bahwa si pengantin wanita mendadak meninggal. Setelah mendengar berita tersebut Maling Pandunga Guna menyelidiki kembali sebab si pengantin wanita itu meninggal. Setelah bertanya-tanya kronologis kejadian yang dialami si pengantin wanita sejak tadi malam sampai dia meninggal setelah membuang sampah. Maka setelah diamati dan dipikirkan dengan seksama oleh Maling Pandunga Guna. Maling Pandunga Guna berkesimpulan bahwa si pengantin wanita itu tetap saja mati karena sebab musabab berhubungan dengan ular. Kejadiannya adalah ketika si pengantin wanita membuang sampah bersama suaminya3, bayangan si pengantin wanita itu tepat mengenai kuburan ular mati yang tadi malam gagal membuat mati sang pengantin. Saat bayangannya tepat mengenai kuburan si ular dan seketika itulah si pengantin wanita itu terjatuh lemas dan meninggal seketika.

Cerita Maling Pandunga Guna tersebut sebenarnya mengajarkan tentang berkuasanya suatu kekuatan di luar manusia yang menguasai hidup manusia. Tuhan mempunyai kuasa dan kehendak (qudrat iradat) terhadap makhluknya. Secara doktrinal dalam Islam sejak masih di dalam kandungan manusia telah melakukan kontrak perjanjian dan sumpah setia kepada Sang Maha Hidup. Di sana telah ditentukan lama waktu hidup di dunia dan tujuan hidup di dunia. Umur, rejeki, jodoh dan mati telah ditentukan oleh Tuhan semenjak manusia dalam kandungan. Manusia hanya menjalani hidup dan wajib berusaha untuk hidup sesuai dengan peraturan Tuhan diatas bumi ini sebagai kholifah fil ardl. Dapat dikatakan bahwa badan dan roh ini adalah titipan Tuhan kepada manusia untuk selalu dijaga dan dimanfaatkan untuk hal-hal yang baik utamanya beribadah. Karena titipan maka setiap saat bisa diambil dan oleh karena itulah setiap saat seharusnya siap untuk diambil dengan ikhlas. Kekuasan Tuhan selalu di atas kehendak manusia. Sekuat apapun manusia tidak mungkin menandingi kekuasaan Tuhan sehingga manusia sudah sepatutnya lila legawa nerima ing pandum Sing Gawe Urip.

(sumber:sub bagian BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN
DRAFT SKRIPSI: RELIIGUSITAS KOMUNITAS ABOGE DI DESA CIBANGKONG-PEKUNCEN BANYUMAS
SUSANTO F1A003064 SOSIOLOGI FISIP UNSOED)

wayangan


suatu malam di lapangan grendeng, pw.kerto utara


berkat kebaikan seorang fajar yang telah meminjamkan kameranya untukku
akhirnya aku bisa mengabadikan momen budaya jawa dalam rangka syukuran pernikahan anaknya mantan rektor unsoed pak rubi...


ada yang berbeda ketika kita melihat pertunjukkan wayang di sana
di sana sedulur-sedulur akan sangat jarang menemui gadis-gadis cantik, mahasiswi berpenampilan seksi atau para pemuda dengan celana jeans berpakaian jangkis.
bahkan mungkina akan sangat bisa dihitung jumlah makhluk-makhluk seksi dalam pertunjukkan wayang


yang kita lihat hanyalah gadis-gadis tahun 50an dan pemuda umur 40an. dengan gigi ompong kulit keriput, dan sebagainya. yah...itulah fenomena negeri kita ini.budaya sendiri sudah jarang dihargai oleh generasi mudanya...

SARAN UNTUK ANDA:
akan sangat baik ketika ad
a pertunjukkan wayang anda bukan mencari cowok atau cewek. saya sarankan momen budaya seperti ini cocok untuk anda yang mencari mertua...yah barangkali mereka punya anak gadis atau pemuda.itupun kalau anda berani. dan bukan jaminan mutlak...he8x

SELAMAT MENIKMATI GAMBAR BERIKUT
SEMOGA MENYEHATKAN MATA ANDA DAN MENGGUGAH PEMIKIRAN SEDULUR SEMUA UNTUK MENGENAL WARISAN SUNAN-SUNAN PENYEBAR ISLAM DI JAWA

tentang desaku

babad CIBANGKONG

Dahulu ada seorang pemuda yang telah mengenal agama di negeri Pasundan. Dia jatuh hati kepada seorang gadis yang ternyata anak seorang garong atau maling. Karena saling mencintai akhirnya mereka menikah dan menjadi suami isteri. Setelah menjadi suami isteri, mereka tinggal di rumah orang tua isteri yang setiap harinya berpekerjaan sebagai maling atau pencuri. Mertuanya sangat terkenal sebagai garong yang lihai dan sakti. Namun pada suatu hari mereka diusir oleh mertuanya untuk pergi dari rumah. Hal ini dikarenakan selama mereka tinggal bersama mertuanya suami isteri itu tidak mau memakan makanan hasil jerih payah curian/garong.

Mereka meninggalkan negeri Pasundan, berjalan tak tentu arah. Lelaki itu mengembara melewati dan menelusuri hutan belantara (nglangsur ing wana) bersama isterinya. Akhirnya lelaki itu dikenal dengan (Mbah) Surawana. Panas terik dan hujan dihadapi mereka selama dalam perjalanan. Karena merasa letih akhirnya mereka memutuskan (ngundur) untuk beristirahat (liren) di bawah sebuah pohon yang teduh. Pohon itulah yang akhirnya disebut pohon durian (duren). Duren berasal dari kerata basa ngundur-liren. Di sekitar tempat itulah akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal. Mereka akhirnya membabad hutan (babad alas) dan membangun tempat tinggal.

Setelah lama diusir dan meninggalkan keluarganya di Pasundan, rupanya Surawana dan isterinya dicari-cari oleh keluarga dan kerabatnya. Para keluarga dan kerabat akhirnya mencari Surawana dan isterinya ke arah Timur. akhirnya mereka tiba di daerah tempat Surawana dan isterinya tinggal. Dalam perjalanan mereka melewati kali. Salah satu dari mereka melihat hewan di dalam air. Karena tidak tahu apa nama hewan yang ada di air itu, akhirnya dia bertanya, ” Eta naon di cai?” (apa itu yang ada di air?). Yang lainnya menjawab ”eta bangkong” (itu bangkong1). Dari dua kata itulah (cai=ci dan bangkong) akhirnya tempat Surawana dan isterinya tinggal dinamakan Cibangkong.

Akhirnya keluarga dan kerabat Surawana dan isterinya bertemu dengan Surawana dan isterinya. Rupanya isteri Surawana belum lama melahirkan seorang anak. Kerabat Surawana membawakan uthuk (anak ayam) sebagai oleh-oleh bagi si bayi. Kemuadian anak ayam tadi di kurung dalam sebuah gondek (keranjang ayam). Konon dari situlah anak pertama Surawana diberinama (Mbah) Gandek. Dipercaya bahwa kuburan Mbah Gandek sampai sekarang masih ada dan terletak di daerah Pekuburan Munthuk (salah satu pekuburan yang terdapat di daerah Cibangkong sebelah utara yang masih ada). Anak kedua dari Surawana ini bernama (Mbah) Padar. Dibanding Gandek, Padar lebih kurang ajar dan bandel. Anak ketiga dari Surawana bernama Mbah Melir, karena dia punya kebiasaan bangun siang (wis awan nembe ngelilir. Kedua anak Surawana yang lain bernama (Mbah) Kerticelili dan (Mbah) Pratin. Mbah pratin adalah salah satu dari anak Surawana yang senang menjalankan laku prihatin dan tirakat.Mbah Kerticelili dikenal sebagai garong yang sakti. ilmu garongnya ini dipelajari dari kakeknya yang merupakan seorang garong.

Diceritakan bahwa suatu hari kerticelili mencuri seekor kerbau milik orang Ciberung. Kerbau itu bertanduk nyamplang (mangarah ke atas, seperti tanduk kerbau pada umumnya). Namun berkat kesaktian Kerticelili tanduk kerbau itu dibalik menjadi ndhungkul (mengarah ke bawah seperti tanduk kambing gibas). Sehingga walaupun kerbau yang dicuri itu diperikasa oleh pemiliknya, sang pemilik tidak bisa mengenali. Selama diperiksa oleh pemiliknya, Kerticelili yang sedang menggembalakan kerbau itu hanya celala-celili (senyum-senyum) sambil melihat kebingungan sang pemilik kerbau yang tidak mengenali kerbau yang dicurinya.
Sampai sekarang makam Mbah Pratin dan Mbah Padar masih ada. Kedua makam itu berdampingan. Sedangkan makam Mbah Kerticelili itu berada tepat dipinggir jalan. Tepatnya arah pojok barat daya pemakaman Cibangkong bagian selatan (arah dukuh Gandusari). Makam Mbah Pratin ini masih sering dikunjungi masyarakat setempat untuk berziarah ketika bulan Syawal tiba atau juga sebagai sarana ijin, bertawasul agar hajat dan kepentingannya terlaksana. Dari sinilah pekuburan/pemakaman di Cibangkong masih dianggap ampuh, sampai-sampai segala macam pohon yang berbuah di pekuburan (kelapa. pisang, pucung dsb) tidak pernah diambil oleh warga sekitar untuk dimakan apalagi dijual.

Senin, 21 April 2008

cerpen (non) fiktif


KUN FAYAKUN : NIKAH/LULUS

Sementara aku sedang bercinta dengan komputer di dalam sebuah bilik mesjid. Aku meraba-raba tuts-tuts huruf dalam sebuah papan keyboard komputer yang hitam. Sementara mataku terus menatap setiap rangkaian huruf yang aku ciptakan lewat hentakan jari jemariku saat menyentuh tuts-tuts keyboard yang hitam. Yah…mungkin kun fayakun…jadilah tulisan, dalam benakku. Kun fayakun jadilah kata. Kun fayakun jadilah kata, jadilah kalimat, paragraph hingga jadilah sebuah karya ilmiah yang aku rasa tak pernah selesaikan dengan baik.

Sementara aku sedang bercinta dengan komputer, aku mendengar pembicaraan yang cukup serius di beranda masjid dekat bilik suci masjid yang telah aku tempati bersama sahabatkau sekitar empat tahun. Pembicaraan mereka sepertinya begitu serius. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tak peduli yang penting, aku sedang ngetik meneruskan tugas akhirku yang sudah hampir tiga semester belum selesai. Suara pembicaraan ketiga orang itu ternyata begitu membuatku penasaran. ingin rasanya aku mengikuti dan bergabung dengan mereka bertiga. Benarlah…sungguh benar. Akhirnya aku tak kuat bercinta dengan komputer di dalam bilik suci itu. aku keluar meninggalkan percintaanku dengan tuts-tuts keyboard yang belumlah mencapai klimaks birahi. Aku menjadi tak peduli dengan diriku sendiri yang sampai hari ini belum menyelesaikan tugas akhir. Entah kenapa, aku menjadi lebih peduli dan tertarik untuk bergabung dengan tema pembicaraan ketiga sahabatku di beranda masjid itu. Tema skripsiku seolah menjadi sudah usang dan membosankan dari pada tema pembicaraan ketiga sahabatku yang sebenarnya belum aku ketahui.

Aku menuju beranda tempat mereka bertiga berbincang dengan serius. Aku mencoba duduk bersama mereka bertiga. Aku mencoba mendengar dan mencermati arah pembicaraan mereka yang begitu serius. Aku melihat dua orang laki-laki dan satu orang perempuan berjilbab sedang berbicara begitu serius. Dua laki-laki itu adalah sahabatku bernama Haris dan bagus, satunya lagi adalah Mba Laeli, teman special Mas Salman. Aku mencoba menebak arah pembicaraan mereka. Ternyata benar arah pembicaraan mereka adalah seputar hubungan Mas Salman dengan Mba Laeli yang sama-sama sudah menginjak semester akhir dan sama-sama menginjak usia dewasa untuk menikah. Yah…menigkuti sunah rasul bagi laki-laki konon menikah umur 25 tahun. Mas Salman sudah hampir 25 tahun, maba aini juga. Tapi aku dan Haris juga sama. Bagi Mas Salman dan Mba Laeli sudah lama mereka berhubungan menjalin cinta kasih anak manusia. Mengecap manis dan pahitnya cinta anak remaja dan dewasa. Sementara kalau aku piker aku hanya pernah merasakan pahitnya cinta karena kebodohankku sebagai seorang laki-laki. Lain dengan Haris yang banyak pilihan wanita yang selalu mengejarnya, sampai-sampai sulit melepaskannya.

Aku melihat mata Mba Laeli dan Mas Salman memandang Haris yang sedang berbicara “ada cerita dari orang tua saya, bahwa dulu ibu saya tahu-tahu diberitahukan bahwa ada yang akan melamarnya, yang tiada lain adalah bapak saya. Yah…ibu saya dijodohkan oleh orang tuanya akhirnya menikahlah dengan bapak saya dan lahirlah saya dan saudara-saudara saya sampai sekarang. Memang, menikah hasil perjodohan itu dalam proses rumah tangganya juga sering terjadi cekcok atau pertengkaran. Tapi…ternyata yang sudah lama pacaran, yang notabene sudah mengenal pasangannya dari awal juga tidak menjamin keharmonisan rumah tangga. Buktinya tetangga saya juga seperti itu. banyak yang mempengaruhi keharmonisan rumah tangga. Jadi yang penting dalam proses berumah tangga itu harus ada komunikasi antara suami isteri. Begitu juga sebelum proses berumah tangga”. Mas Salman dan Mba Laeli memperhatikan apa yang disampaikan Haris layaknya seorang pasien mendengar petuah dari dokter pribadinya.
Aku bisa menebak apa yang sebenarnya sedang menjadi tema pembicaraan begitu serius diantara mereka bertiga. Aku tahu dari cerita Haris tadi siang menjelang sholat duhur tiba yang membicarakan tentang hubungan lak-laki dan perempuan dewasa yang tak lain adalah Mas Salman dan Mba Laeli. Mereka berdua sebenarnya lebih dikenal bisa disebut mantan aktivis mahasiswa di tahun-tahun belakang. Namun jumlah semester yang semakin banyak dan pergantian struktur yang tak bisa dihindari membuat mereka harus lengser dari keprabon sebuah organisasi mahasiswa yang bisa dibilang sangat militan dalam menegakkan idealismenya. “Yah…masih mahasiswa masih idealis, coba nanti kalau sudah seperti saya tua, butuh duit ya….pasti menjadi pragmatis” aku ingat perkataan itu datang dari bibir seorang politisi mantan aktivis ketika masih mahasiswa di kampus. Ketika aku ingat perkataan politisi itu, timbul pertanayaan bagiku apakah nanti Mas Salman juga akan menjadi seorang pragmatis ketika menghadapi situasi dan persoalan saat ini yang menyangkut kisah percintaannya dengan Mba Laeli. tapi entahlah….

Aku coba ikuti pembicaraan mereka, dengan duduk berdekatan dengan mereka bertiga. Aku lihat dari sorot mata mereka yang tajam, menandakan keseriusan membicarakan masa depan mereka. Membicarakan permasalahan yang sedang menimpa mereka. Tantangan hidup bahkan mungkin pilihan hidup yang mereka jalani, walaupun mereka masih kuliah. Semester akhir, yah….mudah-mudahan segera lulus. Aku terus coba ikuti setiap alur pembicaraan lewat kata dan kalimat yang dilontarkan mereka bertiga.
“Ngapain kamu anak kecil” kalimat itu tertuju padaku yang baru saja bergabung dengan mereka. Tapi aku pikir, aku bukan anak kecil. Umurku juga sebaya dengan mereka. Tapi aku tak peduli dengan perkataan itu.
“Kalau orang tuaku belum setuju, seandainya kita menikah”kata Mas Salman sambil memandang mata Mba Laeli dengan tatapan tajam.” Maunya orang tuaku, aku harus lulus dulu kuliah. Baru setelah itu kita boleh menikah. Coba kamu mengerti posisi aku, aku masih tergantung orang tua.aku masih tinggal dengan orang tuaku”
“sebenarnya itu tergantung kamunya, bagaimana kamu menjelaskan pada orang tuamu. Kalau kamu tegas pada orang tua sebenarnya orang tua pasti akan ikut kamu. Buktinya aku, keluargaku welcome terhadap pilihanku dan welcome juga kepada kamu. Sebenarnya kamu serius apa tidak sih dengan aku”
Masalahnya bukan serius atau tidak, bukan berani atau tidak berani untuk menikah. Aku serius dengan kamu, kapan aku main-main. Masalahnya pernikahan itu bukan untuk main-main. Banyak yang harus dipersiapkan.

“Aku siap terima kamu apa adanya, aku tidak menuntut banyak dari kamu. Yang penting kamu punya komitmen dengan aku. Komitmen dengan hubungan kita. Masalah persiapan aku siap membantu bersama-sama. Aku lihat kamu itu sering mempersulit diri. Sebenarnya kamulah yang bisa memutuskan semuanya. Pasti orang tua kita akan nurut sama kita kok”
Pembicaraan mereka semakin lama semakin tegang. Aku dan Haris hanya bisa mendengarkan mereka, walaupun kami juga sebenarnya punya mulut untuk ngomong. Tapi aku pikir, asal bicara itu bukan cara menyelesaikan masalah bahkan mungkin malah bisa menambah masalah lebih runyam. Yah…aku lihat mereka berdua sejenak diam. Diamnya mereka mungkin untuk berpikir atau berpikir untuk diam. Ah sudahlah aku tak bisa menebak pikiran mereka. Yang aku tahu bahwa Mas Salman memang posisinya berbeda dengan posisi Mba Laeli dalam keluarga. Mas Salman dalam keluarga masih tergantung dengan bapaknya, dari mulai isi bensin sampai biaya kuliah masih diberi oleh gaji bapaknya. Sehingga mungkin bapaknyapun masih belum menerima ketika anaknya menikah sambila kuliah. Sementara lain soal dengan Mba Laeli. Dari segi ekonomi, siapapun melihat bahkan mengakui kalau Mba Laeli itu termasuk wanita yang mandiri. Selama kuliah dia sudah bekerja. Kesehariannya telah dipenuhi dengan gajinya sendiri. Mulai dari isi bensin dan segala tetek bengek kebutuhan kehidupan, bahkan dia konon sering mengirim uang pada orang tuanya di semarang. Bapaknya Mba Laeli konon sakit. Dia telah terbiasa mengambil keputusan sendiri. Keputusannya pasti disetujui oleh orang tuanya. Bahkan masalah pilihan hiduppun, orang tuanya manut-manut saja.

“Ah sudah dulu lah ya…besok saja kita lanjutkan” Mba Laeli tiba-tiba berkata pada Mas Salman.”lho…ini belum selesai, aku ingin masalah ini diselesaikan dulu” Mas Salman membalas. Namun Mba Laeli sudah terlanjur dari beranda masjid menuju parkiran motor. Setelah itu Mba Laeli langsung memasukkan kunci motor untuk menyalakan mesin motornya. Mas Salman Cuma bisa mematung seraya memandangi kepergian Mba Laeli dengan motornya sampai hilang dari pandangan. “huh…dasar wanita” kata-kata itu terucap dari bibir Mas Salman sambil memandangi kami yang masih belum beranjak dari beranda masjid. Sementara kami saling berpandangan satu sama lain melihat kejadian itu.
…………………..
Kami bertiga kemudian masuk kembali ke dalam bilik masjid yang kami tempati. Suara instrumen gitar milik John Lenon masih terdengar dari komputer Haris yang tadi kutinggalkan tapi terus menyala. Ternyata pembicaraan Haris dan Mas Salman berlanjut. Sementara aku melanjutkan percintaanku dengan computer, dengan memainkan jari jemariku untuk meraba-raba tuts keyboard hitam computer. Mataku tetap memandangi monitor computer sementara telingaku tetap kupasang untuk mendengar lpembicaraan Haris dan Mas Salman setelah kepergian Mba Laeli.

“Masalahnya aku masih tinggal dengan orang tuaku. Orang tuaku itu seolah belum percaya dengan kemampuanku. Bapakku tetap aku ingin menyelesaikan kuliahku dulu. Baru setelah itu aku boleh menikah. Itupun kalau aku sudah bekerja. Kalau aku pikir benar juga sih nasehat bapakku. Walaupun keras bapakku itu sangat perhatian padaku”

“Yah memang tidak ada orang tua yang ingin anaknya susah, menderita. Semua orang tua pasti ingin anaknya bahagia, anaknya sukses dalam kuliahnya dan keluarganya. Terlebih lagi pada situasi sekarang di jaman yang serba susah. Pasti orang tua ingin anaknya bisa mandiri dan bahagia..”

“Aku sih ga masalah ketika aku menikah sekarang atau besok. Tapi masalahnya ketika orang tua belum setuju apakah kita harus kawin lari. Bukankah itu sangat bertentangan dengan prinsipku. Ridho orang tua itu ridho alloh, dan sebaliknya. Bukankah kamu tahua itu kan…Haris”

“Aku juga laki-laki, setelah menikah pastinya aku kan menjadi kepala keluarga yang harus menafkahi isteriku. Masa…aku harus bergantung pada isteriku nanti setelah aku menikah. Yah walaupun isteriku ikhlas tapi kan…bagaimana coba perasaan kita”

“Yah mungkin itulah sifat perempuan yang ketika sudah punya keinginan harus dituruti. Terlebih lagi mungkin bagi Mba Laeli, permasalahan ekonomi kan baginya tidak masalah.yang penting sahnya suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan. Memang baik untuk menghindari fitnah bahkan zina, pernikahan itu sebaiknya cepat dilaksanakan. Seandainya semuanya sudah mantap dan serius. Tapi memang bagi njenengan berdua memang ada sedikit masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh dalam mengambil keputusan. Yah…keputusan untuk menikah, walaupun belum lulus kuliah. Niat baik memang, bagusnya tidak ditunda-tunda sih..he he he he….”sambil senyum Haris mencoba menanggapi kegundahan sahabatnya itu.”

“yah memang, kalau aku lihat…dia itu sepertinya cepat sekali mengambil keputusan. Sangat simple sekali menyimpulkan. Dia sering menganggap aku kurang serius, mempersulit diri. Apakah setiap wanita itu sama ya seperti dia. Terlalu banyak menggunakan perasaannya dan emosinya. Padahal aku terkenal dengan orang yang sangat rasional. Aku tak pernah menangis ketika menghadapi masalah seperti ini. Kalau dia sebentar-sebentar menangis…berabeh kan. Tapi masalahnya aku sudah terlanjur saying padanya. Lebih tepatnya aku sudah cocok sama dia…”

“kalau begitu permasalahannya adalah di orang tua njenengan mas…masalahnya adalah bagaimana anda berkomunikasi dengan orang tua, bagaimana meyakinkan keluarga. Dan memantapkan keluarga agar bisa menerima kenyataan bahwa njenengan harus menikah walaupun belum lulus kuliah. Anda juga harus mempersiapkan pasca setelah menikah dan kuliah nanti,walaupun…Mba Laeli itu sudah bekerja mulai dari sekarang. Kalau aku sih, pendapatnya kaya gitu mas…masalahnya komunikasi….

“Yah bagi dia itu menikah di bulan desember, ketika aku telah diwisuda mungkin sudah terlalu lama. Mungkin kalau bisa dipercepat kenapa harus diundur atau diperlambat? Kaya iklan saja yah…yah mungkin masukan kamu boleh juga. Permasalahannya adalah komunikasi dengan orang tua…”

Ya…kalau gitu njenengan nanti pulang. Ngomong ke orang tua baik-baik. Semua masalah harus dicerahkan biar nanti ga ada yang mengganjal. Permasalahan anda dengan Mba Laeli juga harus dijelaskan. Jelaskan pada orang tua, apa yang sebenarnya njenengan rasakan kepada Mba Laeli. Jelaskan bahwa Mba Laeli pengin kejelasan tentang hubungan selama ini. Jelaskan pula posisi Mba Laeli dalam keluarganya. Jelaskan rencana njenengan setelah menikah dan kuliah bersama Mba Laeli. Pasti orang tua mau mengerti, demi kebaikan njenengan…

Memang seperti ini, aku seringkali masih tidak enak kepada bapak yang sudah susah payah membiayaiku kuliah. Dalam keluargaku belum ada kasus ketika kuliah belum kelar, terus kuliah atau kuliah sambil nikah. Itu belum ada pakemnya dalam keluargaku. Yang ada itu lulus kuliah dulu, bekerja terus baru berumah tangga. Seandainya aku harus menikah sambil kuliah berarti aku melanggar pakem yang ada. Walaupun sebenarnya menikah itu ibadah dan sunah. Bagaimanapun belum ada kesimpulan. Insyaalloh saya akan dating ke orang tuamu di semarang. Modal nekat sih ayooo

Aku semakin ga tega ketika ia sudah mulai menangis. Yang sering membuatku kesal, dia sepertinya sudah mempunyai persepsi awal yang menyatakan aku kurang serius. Penginnya mungkin, aku secepatnya melamarnya dengan orang tua ataupun sendiri. Kekesalanku bertambah ketika dia menyatakan kalau mau dia sudah dilamar oleh anak fakultas pertanian. Biasanya ketika hal itu terjadi kami berdua, untuk beberapa lama tidak berhubungan. Tapi setelah beberapa lama salah satu diantara kami berdua biasanya berbaikan kembali. Yah… mungkin itulah yang dinamakan sudah terlanjur cinta…


Orang tuaku merasa dikendalikan oleh aku ketika aku melanggar pakem jawa. Intinya dalam keluargaku ga ada kamusnya kebo nusu gudel. Yang ada itu anak manut orang tua. Walaupun si anak juga punya pertimbangan.

Di satu sisi aku harus manut orang tua di satu sisi hatiku tidak bisa berbohong tidak mau kehilangan dia. Bagi orang tua aku dikira kurang banyak pertimbangan. Bagi dia aku malah terlalu banyak pertimbangan.

Ternyata tanpa terasa aku semakin asyik mendengarkan pembicaraan atau mungkin yang tepat curhatannya Mas Salman pada Haris. Sementara ketikanku jadi ga karuan, banyak kesalahan ketikan. Kayaknya aku harus memperbaiki redaksional tugas akhirku seperti saran dosen pembimbingku yang sudah sangat sibuk membimbing mahasiswa-mahasiswanya yang terlalu lama tertunda lulus. Ketika aku mendengar pembicaraan tadi, aku jadi berpikir bahwa kasusnya Mas Salman dengan Mba Laeli ini agak mirip dengan kasusnya fachri dan aisha dalam ayat-ayat cintanya kang abik. Tapi kalau fachri itu hanya ada dalam novel dan film, tapi Mas Salman dengan Mba Laeli ini adalah temanku sendiri. Ada persamaan antara fachri dengan Mas Salman keduanya masih sama-sama kuliah. Keduanya masih ragu untuk menikah sebelumnya dengan wanita yang sudah kadung dicintainya. Keduanya mempunyai wanita yang siap menjadi tempat bergantung, namun pada prinsipnya laki-laki atau suami ini adalah pencari nafkah. Jadi ada pertimbangan psikologis yang membuat laki-laki menjadi tanggungan perempuan. Apalagi ketika gaji isteri lebih tinggi dari gaji suami. Yah…mungkin bagi kalangan bangsa timur, konsep gender itu belum sepenuhnya tepat diterapkan di sini. Tapi dari sisi agama, menikah itu banyak hukmahnya, bisa membuat orang belajar hidup, bisa juga menyatuakan dua keluarga.

Sebagai sahabat yang sudah lama aku mengenal Mas Salman sebagai aktivis dakwah yang cukup militant dalam mempertahankan dan menyebarkan idealisme ke kalangan mahasiswa bahkan masyarakat. Namun dalam soal percintaan, apalagi pacaran itu soal tabu bahkan haram baginya. Oleh karena itu semenjak Mas Salman ketemu Mba Laeli yang seorang guru playgroup, dia merasa Mba Laeli cocok untuk menjadi ibu dari anak-anak yang akan meneruskan jejak langkah dan estafet perjuangan idealismenya.tapi..lagi lagi manusia mau ga mau sepertinya harus terpaksa sepakat bahwa kepentingan ekonomi adalah masalah yang urgen bagi siapa saja yang ingin menikah di waktu sekarang ini, apalagi bagi lelaki yang belum berpenghasilan.

Retorika Mas Salman yang sedemikian lihai dan memukau ketika dalam forum debat ternyata tidak mempan dan berlaku untuk menaklukan hati orang tuanya yang sedemikian keras mempertahankan prinsip kejawaanya. Malah orang tua seringkali ngomong ke Mas Salman bahwa “ kamu itu pintarnya teori”. Teknik lobi yang sedemikian massif yang dipelajari dan dipraktikan untuk membentuk kader militan ternyata tidak bisa membuat luluh hati seorang wanita yang dicintainya. Pemaparan konsep yang jelas dan sistematispun ternyata tidak mampu meyakinkan pemikiran Mba Laeli untuk menunggu dinikahi setelah bulan desember atau ketika sudah lulus.

Orang tua Mas Salman sepertinya masih menganggap Mas Salman belum dewasa. Mas Salman sering ngomong kepada aku dan Haris bahwa kedewasaan itu diukur dari mana? Apakah dari kemapanan ekonomi, penghidupan materi untuk isteri. Itu kan hanya salah satunya…yang lain masih banyak.

Sambil tiduran di karpet masjid beralas kasur tipis. Mas Salman berkali-kali menghembuskan nafas panjang. Bola matanya bergerak-gerak dan memandang tajam langit-langit eternit. Eternit itu berwarna putih, namun sudah bayak yang terkelupas catnya. Semantara aku masih saja memandangi monitor computer yang berada di samping kasur temapt Mas Salman berbaring berpikir. Haris duduk bersila di tepi kasur tepat di belakangku. Haris sesekali mamandang Mas Salman sambil membolak-balik majalah computer yang baru saja dibelinya kemarin. Beberapa saat kami bertiga diam. Yang kudengar hanyalah hentakan tuts-tuts computer yang baru saja aku tekan. Semantara di luar masjid hari semakin terik menandakan waktu duhur semakin dekat. Sepertinya Udara siang ini meningkatkan suhu tubuh kami. Kaos yang aku pakaipun telah basah oleh keringat. Tiba-tiba Mas Salman berkata lagi:
“setelah aku pikir-pikir akhirnya aku putuskan. Apapun yang terjadi dalam diri saya adalh konsekuensi sendiri. Ya saya berani ke orang tua Mba Laeli. Dengan restu atau tidak dengan orang restu orang tua…walaupun aku harus melanggar pakem orang tua”

Haris akhirnya menimpali perkataan Mas Salman. “mbok yaooo jangan terburu-burur mengambil keputusan. Alangkah baiknya dikomunikasikan dulu dengan orang tua di rumah. Setuju tidak setuju njenengan harus ngomong dengan orang tua. Njenengan harus bisa meyakinkan mereka dengan kemantapan njenengan untuk menikah dengan Mba Laeli. Sepedas apapun kata orang tua harus didengarkan. Yang namanya orang tua itu tetap orang tua, omonge temamah temenan…Disitu setidaknya kita bisa lihat kedewasaan kita
Tapi ketika njenengan merasa bahwa keputusan untuk menikah sambil kuliah itu yang terbaik maka itu terserah njenengan. Yang penting njenengan bukan main-main sekarang.
Ini bisa disebut sebagai sebuah tes cash yang cukup berani bagi njenengan dan maba aini sebgai seorang perempuan….

Stelah mendengar Haris berbicara akhirnya Mas Salman beranjak dari tidurannya. Kedua tangannya berjabatan sambila memeluk dua kakinya yang memangku dagunya yang membelah dua. Seorang lelaki mau berusia 24 tahun bulan agustus nanti, masih menatap kosong ke luar pintu bilik masjid yang aku diami. Tatapannya yang seolah kosong tak menghalangi mulutnya untuk berbicara lagi…
“Aku bisa, aku butuh…dukungan. Aku butuh dukungan bukan larangan. Sudah saatnya aku bisa memutuskan sendiri. Tidak hanya dalam teori-teori tapi dalam keberanianku mengambil pilihan hidup. Thank you, sukron sedulur…”

Aku dan Haris Cuma bisa mengangguk menandakan persetujuanku dengan pernyataanya dan permintaannya. Memang mungkin bagi Mas Salman memang sedang menghadapi pilihan-pilihan yang sangat menggiurkan sekaligus rumit.
Kuliah sambil nikah atau lulus kuliah baru nikah? atau tidak kedua-duanya?

Pembicaraan kami terhenti ketika mendengar kumandang adzan duhur dari masjid sebelah timur. Haris bangkit dari karpet untuk mengambila air wudlu bersama Mas Salman. Aku masih larut bercinta dengan tuts-tuts keybord computer, hingga tak dengar kumandang adzan pertanda waktu bercinta dengan Sang Maha Cinta telah tiba.

Berkhayal Surga

Pengantar malamku adalah kerinduan
Sebelum aku sampai pada pagi hari yang dingin
Kemarahanku bukanlah kemarahanku
Karena marahku, itu protes hatiku
Atas keadaan yang ada
Kemarahanku untuk diriku sendiri
Menjalani kasih sayang
……………..
Hari itu syurga telah turun ke bumi
Menunjukkan kepadaku ketenterammnya
Bidadaripun memberikan senyum cahayanya
Namun seiring kepergianmu
Syurga itupun seakan ikut pergi
Mungkinkah itu hanya sebagai harapanku
Dan syurga itu untukku
Tapi bukan untuk sekarang
Aku sadar syurga sejati bukanlah bertempat pada dunia
Namun tempat di nirwana
Yang hanya hati kita yang mampu mencapainya
Tuhan memang sangat sayang pada pada kita
Kita lebih baik susah payah sedikit di dunia
Untuk bahagia kekal di akhirat
Tepi semua terjadi
Karena ada cinta dan kerinduan
………………..
Saat wajah-wajah ramah menyeruak
Dalam kehidupan niscaya semua menjadi mudah
Ketika dalam dunia ini tiada kerinduan
Niscaya dunia ini hanya hitam putih
Semua karena hatimu……….

26 april 2006

Entah Yang Bersembunyi

gelegarnya panggung di Lapangan Grendeng,
tersebutlah Letto dan band-band lain
tenggorokanku masih terasa, masih…
menghalangiku untuk membuka lebar mulutku
berbagai kesibukan yang telah mengantarku
sampai dengan aku duduk di sebuah karpet hijau

musik-musik kehiduapn terus mengalir
ada protesan ketidakadilan, cinta atau entah apa lagi
maling kelas teri-maling kelas kakap
petikan syair lagu iwan fals

pengagum dan penggila musik teus berduyun-duyun
sementara sang idola tetap saja manusia
manusia biasa
sebenarnya apa sih yang luar biasa?
Manusia biasa atau musiknya?

Sementara waktu mamaksakau untuk terus tunduk padaNya
Seolah-olah musik mencoba mengalahkan waktu
Tapi tetap saja tak bisa
Waktu hanyalah jalan
Waktu hanyalah kertas kosong
kehidupanlah yang menjalankan waktu
atas perintah Sutradara Agung
sementra manusia hanya wayang
wayang antara bebas dan terpenjara
Dalangnya antara ada dan tiada
Entah dimana
namuan kuasaNya penuh

02 September 2006 17:20 WIb


Kamus Ilmiah

Ketika itu hujan rintik
Aku menjemputmu dengan uang 27 ribu
Sementara utangku belum terbayar
Entah kenapa aku merasa butuh kamu
Mungkin karena aku sedang mengerjakan tugas akhit
Aku butuh membuka –buka tubuhmu
Agar aku megerti bagaimana rupa-rupa
Otak orang lain dalam memahami dan mendefinisikan realitas
Supaya berbicara bisa, bisa bercakap
Antara das sollen dan das sein
Menjelang selasa kliwon aku menatapmu
Dalam wujud barisan huruf-huruf yang katanya bermakna

3 Desember 2007

Hujan di Bulan Maret

Hujan bulan maret masih saja binal
Sebinal mahasiswa mahasiswi kumpul kebap
Jalan Kampus yang berlobang tersenyum bahkan tertawa
Melihat cipratan air menempel di sarung putih tu
Suara anak pedagang kaki lima pecah
deru motor yang lewat…
Aku masih ingat….
Ketika kecil aku sudah tidur di awal malam
Dekapan ibu beigut hangat…aku ingat
Suara binatang malampun hilang
Yang ku dengar hanya bunyi dalam mimpi
Aku tak kenal bunyi itu
Bahkan sampai sampai sekarangpun….

Anak pedagang kaki lima itu belum tidur
padahal kemarin malam sudah jam 23: 00
tapi teiaknya masih terdengar
suara kecilnya riuh
“sudah malam” kataku dalam hati….
“bakan sudah sangat maalaam “ piirku menimpali
Mungkin karena anak kecil itu beda dengaku adulu
Aku bukan anak pedagang kaki lima
Akau anak petani yang kerjanya pagi bukan malam
Tapi aku piker apa bedanya anak pedaganang dengan anak petani …
Ah… sudahlah.

Yang penting kamu sudah dewasa
Lalau…
Pada bedanya dewasa dengan anak kecil
Aku piker tidak ada bedanya…
Sama-sama aku…
Cuma beda kata
Cuma berganti kata
Anak kecil menjadi dewasa

Orangpun akan bernaya sama…
“mau jadi apa kamu nanti?”
Sebenarnya apa cuma pertanyaan itu
yang selalu ditanyakan setiap kali bertemu
ah…sudahlah…
yang panting kamu sudah dewasa
dewasa atau tua itu pertanyaan mu sekarang
harus kamu jawab dengan lakukumu…

sementra langit mash gerimis
bulan maret belum usai
pedagang makanan masih sibuk melayano…
mahasiswa mahasiswi kumpul kebo
mereka mungkin tak punya malu
yang dalam pikiran mereka mungkin kemaluan…
ah…sudahlah…
yang penting kita tidak ikut edan…

18:54 WIB

Angin senaja bulan maret manyapu wajahku yang berjerawat
Mendung langit Purwokerto Utara seolah mendukungnya
Ementra deru mesin kendaraan roda dua
Slalu megejekku yang belum mempunyainya...
Para pedagang aneka makanan mash setia berjajar
Masih berjajar berdereatan memanjang sepanjang jalan kampus
Mungkin seperti itu juga di Jalan Bunyamin bahkan Jalan Soeparno

Aku masih duduk di sebuah boilik masjid di pinggir jalan kampus
Baru saja aku nikmati kue tart ualng tahun anak TPA-ku
“semoga ilmunya bermanfaat”
Spontan nada bicara itu keluar dari lisan sahabatku
Ketika membuka kotak kertas mungil merah
Berisi sepotong roti tart mini itu…

Di seberang jalan aku lihat
Para pedagang makanan sesekali tersenyum
sambil mengucap “silakan..”mereka menyuguhkan
“terima kasih” sambil memberikan sebungkus plastic makanan
Ucapan dan senyuim simpul mnerieingi keperian sang pembeli..
Yang aku lihat kebanyakan adalah mahasiswi-mahasiswi cantik berkulit putih
Putih karena udara purwokerto mungkin

Senja masih saja sama seperti kemarin
Mendung, dingin, dan angin….
Jalan kampus tetap ramai iringan mahsiswi-mahssiswai berperut lapar
Mencari makan untuk hidup
Atau
Mencari hidup untuk makan
Tapi aku tak peudli dengan semua itu
Yang penting aku menikmati putih kulit mereka
Yang penting aku bisa memandang wajah ayu
Yang penting aku bisa menerawang tubuh seksi mereka
Walaupun mereka digandeng seorang lelaki jelek..

13 maret 2008

Tak urung sebuah kenyataan menghampirikku
Dia menampakkan wajah asing sekaligus baru bagiku
Sementara kekasih abadi kita waktu selalu menyertaiku
Menemaniku dengan setia dalam suka dan duka
Waktu adalah kekasih kita

Semilir angina menerpa tubuh yang kepanasan
Di atas selubung kerinduan yang oleh tebal panorama
Indah pertemuan di alam mendatang
Do’a terucap oleh mata nurani
Sayup-sayup terdengar oleh kepakan sayap jibril
Menyambutnya dalam benderangnya cahaya purnama malam ini..

Besok ujian kata tubuh ini
Aku harus berangkat dalam malam ini
Tersebutllah hati harapan hangat
Memeluk jiwa yang kedinginan oleh kerinduan yang menjemput kekasih sejati
Dalam malam pencarian di sepanjang jalan kehidupan
Yang mujur berjalan seorang pemuda menggendong harapan
Terlihat di pelupuk matanya
Dan dari lesung pipi senyumnya
5 11 06

Bumbu mentah

Kuingin kau jadi tempat dalam lidahku yang kelu
“gemblung” materi telah terlewati
Perkenalan sekali pertemuan
Makrifat cocok berawal dari kecintaan
Ternoda oleh nilai-nilai kebenaran

Suara tilawah itu bersaing dengan tilawahmesin bernada monoton
“jangan tanyakan apa makna sebuah kata
Tanyaka untuk apa makana itu difungiskan”
Jangan Tanya awal dan akhir
Bertanyanyalah akhir dari yang awal
Tali pusat manusia
Mengahantarkana dua alam yang berbeda
Komnetar mulut tak berpengetahuan
Jari itu masih mengacung tahiyat
Rebana itu masih ditepak-tepak tangan
Tilawah itu menggema di relung-relung langit
Melawan tarian-tarian binal yang memikat

Aku jadi bertanya
Kenapa matahari tetap saja tak mampu melawan mendung yang terus berkelindan dengan hujan…

Orang rebut berebut kata
Orang bingung dipermainkan kata
Orang mati diwajibkan berkata
Tangn agung itu masih mengenggam makna
Manusia hanya sibutk berusaha
Mengintip dan membuka jari jemari makna
Lirikan itu tetap tajam mengiris
Namun aku hanya terus mencoba berontak dari penjara simbl yang seslu menjadi harata dan tahata orang yang “edan” kata-kata
Tatapan itu tatap melirik tajam
Lalu apa yang akan engkau cari…sahabatku
“dalam bumbu mentah
Aku mengecap rasa pengetahuan”

……….
Layla dan majnun
Bukan hanya wanita yang perlu dimengerti
Tapi cinta juga ter;u sicintai
;ewat cinta yang tak haru sberkata

Jadilah anak-anak cinta
Yang selalu memeliharta idup
Amblah pelajaran dari layla dan majnun
Tapi jangan ikuti akhirn kisah mereka

Aku tak bisa lagi
Utnuk ungkapkan rasa lewat kata
Aku takut dengan kata-kataku
Cinta berkurang keindahannya

Biarkan cinta itu mengucap semsemuaNYA
Aku akan mengikuti di belakangnya
Tampa ragu dan gelisah
Walaupaun aku tak tahu
Apa sebenrarnya harikiat dai cinta
Semua terseah cinta
Aku yakin cinta juga menyerahkan dan menghambakan dirinya pada pencipta cinta
Akhirnya aku ucapkan

suara inyong


AKU BUKAN FACHRI

Aku bukan fahcri
Seperti tokoh karangan kang abik dalam ayat-ayat cintanya
Bahkan akupun mungkin tak hafal narasi ceritanya
Aku hanyalah kenyataan seorang lelaki biasa yang hanya bisa dua bahasa
Akupun bukan mahasiswa al azhar mesir
Aku hanya seorang mahasiswa dari kota kecil

Aku bukan fachri yang begitu sempurna
Hingga dicintai aisya dan maria
Hingga nuro yang begitu cintanya menfitnahnya
Aku hanyalah seorang biasa yang sedang mencari wanita
Wanita Indonesia saja, jawapun tak mengapa
Tak mesti sekaya aisya, dan secantik maria

Aku bukan fachri yang begitu dikagumi gurunya
Aku hanya ingin dimengerti diriku sendiri
Minimal dikenal oleh diriku sendiri
Tak mesti harus lihai berbahasa arab
Yang penting aku terus belajar alif ba ta
Untuk mengerti alif lam mim

Aku bukan fachri
Yang difitnah memperkosa nuro
aku hanya orang sering mendengar berita pemerkosaan dari media
yang aku tanyakan kenapa gadis diperkosa
bukankah wanita itu lebih banyak dari pria
aku sebagai pria semakin tidak faham jalan pikiran para pria
sebegitukah kejamnya birahi haus tubuh seksi

aku bukanlah fachri
yang pastinya aku bukan fachri
akulah kenyataan bagi dirikku sendiri
yang semakin menjadi misteri
seperti hilangnya pelangi di atas telaga
setelah hujan menghapus panas hari

aku bukanlah fachri
yang terpenjara karena fitnah wanita
seperti kisah yusuf dan zulaikha
aku hanya terpenjara oleh diriku sendiri
yang tak mampu ungkapkan pesona pria jawa
dengan kejawaannya

aku bukanlah fachri
anak seorang juragan tape di kampungnya
yang begitu cerdas hingga dapat beasiswa
aku hanya seorang biasa yang sudah terlanjur tua
untuk meniru kisah sang fachri mengungkapkan ayat-ayat cinta Tuhan
aku hanya orang jawa yang ingin menunjukkan ayat-ayat semar
di jaman yang semakin samara- samara
tak jelas rimba, tak terpandang dimana tepi samudra

aku bukanlah fachri
yang setiap waktu bisa bertahajjud dan berpuasa untuk-Nya
aku hanyalah seorang jawa yang ingin tunjukkan tirakatnya jawa
yang semakin hilang oleh pesona Timur tengah sana
aku hanyalah anak jawa
yang miris melihat gaya seorang kali jaga dihina
dihujat dan diragukan kemuliannya mengangkat agama

aku bukanlah fachri
seorang aktivis islam yang fasih berbagai bahasa
aku hanya seorang yang ingin menjawakan risalah Nya
kepada orang-orang biasa yang tak sempat belajar bahasa
mereka hanya sempat memikirkan rasa lapar anaknya
biarkan agama dimengerti oleh orang biasa dengan kebiasaanya
biarkan akhlak itu mengalir sederhana dalam kesederhanaan orang biasa

cerpen fiktif


Kaki Gunung Slamet

Pagi itu seperti biasa di kota mendoan, ramai dengan hiruk pikuk aktivitas warga kota. Jalan-jalan di kota kecil itu mulai ramai dengan ditandai dengan lalu lalangnya kendaraan yang suaranya bersaingan seperti dalam perlombaan. Pasar Wage menampilkan potret pedagang miskin yang selalu mendambakan laba, seringnya hanya mendapat tak seberapa. sedangkan di sisi lain telah berdiri bangunan megah pasar baru sebagai pengganti pasar lama yang sudah lama akan dicerai oleh pemerintah. Wajah lama pasar itu telah diganti wajah baru, barangkali sudah mengalami face off agar dapat tampil cantik yang sesungguhnya sangat menyakitkan dan merugikan pedagang kecil yang tak mampu membayar relokasi pasar baru tersebut. ”Lha wong buat makan sehari-hari saja susah, masa harus buat beli kios yang harganya jutaan” suara seorang nenek pedagang sayur bernada tinggi. Rambutnya yang tipis dan telah memutih digelung kecil. Sementara matanya cekung dan giginya mulai hilang ditelan umur.

Di sela keramaian pasar itu terlihat dua sosok pemuda yang sedang berjalan menuju seorang penjual. Mereka berhenti di hadapan seorang Pak Tua penjual jagung. ”Pak Jasim saya beli jagungnya, seperti biasa” salah satu dari mereka mengeluarkan suaranya. Pak Tua itu cuma mengangguk sambil menunjukan sekarung kecil jagung yang berada di sisinya ”Ini Mas.” kemudian salah satu dari pemuda itu memberikan beberapa lembar uang kepada Pak Tua itu. Rupanya mereka sudah lama langganan.

Suara kendaraan roda dua dan kendaraan besar semakin bising seperti serombongan pasukan lebah yang keluar dari sarangnya. Kota ini memang menyimpan berbagai kisah unik mulai dari mendoan tempe anget sebagai makanan khas dan ”mendoan” yang diperjualbelikan oleh para penghibur malam yang selalu menjanjikan kehangatan. Tentunya mendoan yang tanda kutip ini dinikmati oleh carnivora pemburu nafsu. Kota yang dulu subur, sekarang menjadi lebih subur dengan adanya semakin banyaknya tumpukan semen, beton dan batu bata yang menjelma makhluk yang bernama rumah kios ataupun kos-kosan tempat mahasiswa kumpul kebo. Banyak orang mengakui itu, modernisasi telah merenggut kenyamanan pengunjung dan penghuni kota mendoan itu.


Ada universitas negeri di sini yang seringkali terlupakan oleh masyarakat sekitar apalagi masyarakat di luar kota kecil ini. Di bawah Gunung Slamet yang terletak di bagian tengah Jawa inilah berdirilah universitas yang menyandang nama besar seorang jenderal popularitasnya juga dijadikan nama-nama jalan di kota lain. Di tempat inilah berbagai manusia ditemukan. Ada mahasiswa yang katanya sedang menuntut ilmu atau cuma menuntut uang saku untuk bisa dikatakan cool, gaul dan funky. Daerah sekitar kampus ini juga menjadi ajang bisnis yang sangat menjanjikan mulai restoran cepat sajinya Rambo ataupun Samurai hingga menjadi tempat berlalu lalangnya pengemis dan pemulung yang beroperasi siang ataupun malam di mana warga kota sedang terlelap.
*****
Warga kampus itu telah larut dalam bangku kuliah. Kampus satu dengan kampus lain rasanya tak jauh beda. Gambaran kampus terlihat dari jauh muali dari deretan parkiran sepeda motor, mulai dari scooter butut hingga motor gede. Orang desa mungkin akan mengira kalau kampus ini bukan sekolah melainkan toko motor atau dealer motor. Hanya orang-orang kaya saja yang boleh ke sana. Terlihat di ruang mahasiswa yang duduk di belakang sambil mengantuk dengan menggenggam HP (handphone) model seri terbaru dengan fasilitas kamera dengan pixel yang lumayan besar. Di sisinya duduk gadis molek dengan penampilan menor dan rambut rebonding lurus dan parfum yang baunya menusuk hidung. Jempol tangannya menekan-nekan benda kecil dengan mata yang sangat serius dan sangat tajam. Di depan ruang itu wanita gemuk pendek sedang membolak-balik transparansi mata kuliah dan sesekali mulutnya berkomat-kamit dengan suara lantang menjelaskan perihal isi dalam transparansi itu. Bu Sinta, indah memang namanya, lengkapnya Dewi Sintawati namun parasnya sangat berkebalikan dengan Sinta yang langsing dan seksi isteri Sri Ramawijaya. Bahkan rahwanapun jikalau ada tak mungkin meliriknya. Sudah gemuk, judes, mata kuliahnya membosankan, killer lagi. Lengkap sudah alasan mahasiswa untuk membenci perkuliahan ini.

Dosen wanita gemuk itu terus menerangkan mata kuliah yang diampunya. Matanya sesekali memelototi mahasiswa yang mengantuk karena dugem semalam mungkin. Bibirnya yang tebal semakin tebal dengan gincu merahnya yang juga tebal. Sudah setengah jam mungkin dosen itu ceramah di depan mahasiswanya yang sebagian besar cenderung bersikap santai dan sepertinya tak peduli. Di tengah kesibukan waktu kuliah itu dan kesibukan teman-temannya yang sedang kuliah atau SMSan ternyata ada dua orang mahasiswa yang asyik ngobrol tanpa memperhatikan dosen yang sedang berapi-api dan serius menyampaikan materi kuliah. Sosok yang pertama memakai hem kotak dengan kerah baju yang bolong bekas jahitan. Sosok yang kedua memakai baju berkerah tinggi mirip vokalis band terkenal, celana jeans bermerek Amerika terbalut sabuk bermata besar melilitnya. Rambut spike semakin menandakan bahwa dia adalah anak yang sangat gaul dan menjadi incaran gadis penggila dunia hedonis.

”Sudah sarapan apa belum Ndi?”
”Belum Rif. Belum. Nanti kalau sudah dzuhuran saja. Biasalah dengan sayur kangkung dan mendoan”. Dengan nada datar dan senyum kecil ia menjawab pertanyaan Anton teman di sampingnya. Kelihatannya kamu sekarang semakin kurus Ndi, Maaf sebenarnya kalau boleh tahu, uang kirimanmu sebulan berapa sih Ndi?”
”Hanya dua ratus ribu Rif, itupun kalau tidak telat atau kurang”
”Sebulan dua ratus ribu Ndi? Apa cukup” memandang Andi dengan mata elangnya yang tajam seakan tidak percaya. “Kalau dibilang cukup, yah memang tidak cukup bahkan sangat tidak cukup. Kamu juga pastinya sudah tahu kalau pekerjaan ayahku hanya seorang petani yang sangat pas dan hanya cukup untuk menghidupi keluarga kami dan aku juga kuliah dengan terpaksa, aku hanya modal nekad ikut SPMB sampai akhirnya aku diterima, ayahku sudah memperingatkan aku dan mengingatkanku kalau aku ingin kuliah maka aku harus terima apanya keadaannya nanti karena tidak jaminan bagiku dapat membayar terus uang kuliah dan biaya hidup di kota kecil ini yang kian meningkat”.
“Oh .... begitu. Jadi benar cuma dua ratus ribu ?” sekali lagi Anton menegaskan pertanyaannya yang sempat terjawab oleh Andi.
” Ah ... aku sudah biasa seperti ini. Aku tak tahu apakah aku akan terus kuliah atau tidak. Bapakku semakin tua dan kau sebenarnya sudah payah sekali untuk membiayai sekolahku. Sebenarnya aku ingin mandiri makanya aku berusaha keras untuk mencari penghasilan tambahan selama ini. Mulai dari jualan jagung bakar setiap sela kesibukan kuliah sampai aku kadangkala mengerjakan tugas kuliah teman yang lain dengan imbalan beberapa puluh ribu. Kau terpaksa melakukan itu demi aku bisa makan dan hidup di Purwokerto. Untungnya selama aku kuliah di sini aku juga terus dapat kos-kosan gratis. Semester awal aku numpang bersama Robi bule itu yang sering kau kerjakan tugas makalahnya dulu. Yah mungkin inilah hidup yang harus dijalani olehku. Tapi...aku takkan menyerah. Aku harus bisa luluskan gelar sarjanaku bagaimanapun caranya. Yah ...walaupun harus bau gosong jagung bakar. Itu lebih baik daripada aku menggadaikan pikiranku kepada teman-teman yang malas mengerjakan tugas kuliah. Dulu memang kau masih sangat payah dan tak punya prinsip mempertahankan harga diri dan prestasiku”

Jam dinding menunjukkan pukul sebelas siang. Dosen yang terkenal killer ini sedang ribut memasukkan semua buku referensi kuliah dan transparansi materi kuliah yang baru saja diajarkan kepada mahasiswa-mahasiswa yang hanya sibuk dengan alat komunikasinya dan asyik cerita sendiri dengan teman-teman disampingnya. Apalagi jika yang kuliah satu kelas bersama kekasihnya. Seakan ruang kuliah hanya dijadikan tempat mereka memamerkan kemesraan cinta mereka seperti keintiman suami isteri yang baru saja menikah.
Salam diucapkan menutup perkuliahan siang itu. ”Selamat siang” kata ibu dosen dengan nada kaku sambil menenteng tas kulit besar yang tak bosan dibawanya setiap kali mengajar. Kuliah berakhir dan para mahasiswapun mulai berhamburan keluar dari ruang kuliah yang tadi penuh dan ribut dengan suara tawa-tawa kecil yang sering membuat dosen pengajar sesekali memberikan peringatan dan teguran. ”Mohon di perhatikan dan serius sedikitlah. Suara saya tidak sampai atau yang tak niat kuliah, silakan keluar!” mungkin itulah ungkapan yang sering dilontarkan dari mulut seorang pengajar yang mungkin sudah mulai muak dengan sikap mahasiswa yang semakin lama semakin sulit diatur dan cenderung seenaknya sendiri. Rasanya semakin tak betah saja mahasiswa mengikuti kuliahnya Bu Sinta, kampus berubah menjadi penjara setelah kedatangan Bu Sinta. Ruang kuliah adalah ruang interogasi dan ruang paksaan menjawab pertanyaan penyidik. Sungguh membosankan dan memuakkan. Rasanya ketika perkuliahan selesai ibarat narapidana yang baru saja menghirup udara kebebasan. Semua bersorak karena keluar dari ruang yang penuh horor.

Setelah perkuliahan selesai Andi langsung pulang menuju kos-kosannya. Dengan langkah yang agak berat ia berjalan menyusuri Jalan Kampus agar sampai ke tempat kosnya. Sesekali ia memandang kanan kiri. Sesekali ia menyapa dan tersenyum kepada temannya yang kebetulan berpapasan di jalan itu. Sudah beberapa minggu ia di Purwokerto lagi. Ketika di rumah ia hanya seorang anak buruh tani biasa. Ia sering berpikir kenapa bapaknya memberi nama padanya Andi, seperti layaknya nama bangsawan dari Sulawesi. Apa mungkin karena bapaknya latah ikut-ikutan memberi nama bintang film Mandarin bersama ibunya sewaktu masih pacaran dulu. Apa memang bapak ingin anaknya ingin berbeda dari yang lain. Ah...sudahlah. Apalah arti sebuah nama.

Andi masih saja menyusuri Jalan Kampus yang berdebu. Setiap langkah Andi ternyata mengantarnya menuju pikiran dan lamuan tentang masa lalu dan masa depannya. Dalam pikirannya inilah terjadi adu impian dan melawan kenyataan.
”Apakah ini fenomena yang sudah umum di setiap universitas dan sekolah menengah pada umumnya. Gejela apa sebenarnya yang sedang terjdi sekarang ini. Kenapa siswa dan mahasiswa banyak berlaku kurang ajar dan tidak tahu tata krama. Siapa yang patut dipersalahkan” Andi teringat cerita seorang dosen yang beberapa waktu yang lalu Andi kebetulan bertemu di bis jurusan Purwokerto-Cirebon ketika dalam perjalanan kembali ke Purwokerto untuk kuliah. Andi melihat sekali kegelisahan di mata seorang pria berbaju safari tua. Mata yang mulai cekung karena umur yang mulai udzur ditambah kacamata tebal yang menempel di mukanya yang mulai keriput. ”Inikah Umar Bakri ?” pikir Andi saat pertama kali melihat dan duduk bareng bersama orang itu. Suwignyo nama itu tersembul dari mulut orang itu sambil berjabat tangan erat dengan Andi. Andi agak gugup dan salah tingkah karena tidak biasanya ia berkenalan dengan orang tua ramah. Yang biasa ia temui saat perjalanan di bis hanya pengamen yang matanya merah memaksa dengan bau alkohol di mulutnya atau kalau tidak, ia hanya mendapatkan beberapa orang pengemis yang menjajakan anaknya yang digendong dengan kain lusuh. Ia beberapa kali melihat pengemis perempuan yang menggendong anaknya yang matanya masih lugu dan lucu. Sambil menengadahkan tangannya dan bermuka memelas entah disengaja atau memang jujur, ia meminta sedikit uang untuk sekedar makan katanya. Padahal orang duduk di jok sebelah jok Andi menggerutu ketika melihat pengamen dan pengemis dalam bis. ”De..Mereka itu penghasilannya lebih banyak daripada saya”. Andi saat itu hanya tersenyum. Mungkin senyum itu tanda persetujuannya.

Andi masih teringat peristiwa uniknya dengan Pak Suwignyo, dosen tua yang belum pensiun. Andi tak mengira kalau orang yang tampangnya biasa-biasa saaj itu pernah jadi dosen. Yah..mungkin dosen tidak harus ganteng dan cantik seperti artis. Andi masih ingat benar cerita hidup dari Pak Suwignyo, jarang andi menemui seorang intelektual yang seramah itu di kampusnya. ”Saya dulu itu kuliah di Yogya waktu itu masih sangat jarang orang kuliah, mungkin satu desa hanya saya dan anak lurah yang kuliah. Orang desa mana tahu namanya kuliah, yang mereka tahu hanyalah bisa makan dan bekerja di sawah. Sederhana memang kehidupan mereka, Bapak saya dulu juga seorang petani, saya sempat dilarang untuk sekolah terus. Kata mereka buat apa sekolah toh nanti gajinya kecil mendingan kamu bantu Bapak di sawah. Itu kata Bapak saya yang memang lugu dan buta huruf. Tapi saat itu saya memang termasuk anak bandel dan nekad, saya bilang pada Bapak bahwa saya akan pergi ke Yogya menemui Pak De di sana” Pak Wignyo bercerita. Semetara andi yang mulai bersandar di jok bis karen amulai mangantuk. Lampu dalam bis yang remang-remang membuat Andi semakin terkantuk-kantuk. Tapi ia mencoba untuk mendengarkan seorang tua itu bercerita. Sesekali Andi manggut-manggut sebagai tanda persetujuan. ”Saya dulu kuliah di Yogya sambil berjualan koran, bapak saya di desa tak peduli dengan saya.mungkin baru setengah tahun dia menemui saya di Yogya. Ia bertemu dengan Pak De yang pekerjaannya berdagang nasi rames di sekitar kampus saya kuliah. Yah saya nunut Pak De, ya ikut makan ya ikut numpang, mau bagaimana lagi” Pak Wignyo melanjutkan ceritanya. Setelah bercerita panjang lebar mengenai hidupnya sewaktu muda dan perjuangannya untuk menjadi dosen di Purwokerto. Perlahan orang tua itupun mulai menyandarkan lehernya kemudian tertidur pulas di pundak kanan Andi. Peristiwa itu tak pernah dilupakan oleh Andi sampai ia tiba di terminal Purwokerto yang baru.
*****
Andi dan Tono sebenarnya sama-sama mahasiswa yang kuliah di sebuah kampus di Purwokerto. Mereka berdua tidak ada bedanya dengan mahasiswa yang lain. Sama-sama mempunyai KTM, kartu perpustakaan, membayar SPP, mengikuti kuliah dan ujian sesuai jadwal universitas. Andi dan Tono juga sama-sama lelaki, mereka bukan pasangan homoseksual, secara seksual mereka normal seperti mahasiswa lain. Artinya Andi dan Tono juga normal juga ketika mereka mencintai mahasiswi di kampus. Namun memang entah mengapa ada yang menjadikan berbeda dari mereka walaupun sama-sama manusia dan mahasiswa yang sedang berkuliah.

Kuliah sudah berjalan beberapa minggu setelah liburan Idul Fitri dilalui para mahasiswa dengan pulang ke rumahnya masing-masing. Aktivitas kuliah di mulai lagi, berbagai geliat mahasiswa dengan bermacam-macam gaya pakaian terpasang. Suasana kampus sekarang ibarat suasana fashion show, berbagai model rambut, baju, tas muka dan lenggak-langgok mahasiswa tak kalah bagusnya dengan peragawan dan peragawati di catwalk. Andi mungkin salah satu mahasiswa yang paling ketinggalan dalam hal berpakaian dan gaya. Ia tak pernah memikirkan apa itu pakaian modis. Ia hanya berpikir bagaimana agar ia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya setiap hari dengan mencari penghasilan tambahan, ia tahu kiriman orang tuanya di Cirebon tidak dapat dijadikan andalan utama. Ia kuliah di pagi hari dan di malam hari ia bersama temannya Tono yang senasib dengannya, berjualan di pinggiran Jalan Kampus yang ramai dengan lalu-lalang mahasiswa yang biasanya sedang mejeng dan berjalan-jalan bergandengan untuk makan-makan dengan pacarnya.

Sore itu Andi seperti biasanya di kos-kosan kecilnya, ia mempersiapkan persiapan bahan dan alat untuk berjualan jagung bakar. Ia mengangkat karung kecil beirisi jagung manis yang dibelinya tadi sore di Pasar Wage. ”Ton, arang sudah siap belum? Jagungnya sudah siap nih. Aku berangkat dulu yah.” Andi memanggul karung kecil berisi jagung dengan tangan kanannya sambil membawa tempat pembakaran jagung yang terbuat dari seng. ”Yah Ndi aku sedang buat bumbunya dan kipas dan arangnya akan aku bawa nanti. Kamu duluan saja nanti aku menyusul.” Tono menjawab sambil sibuk mempersiapkan toples kecil berisi mentega, sambel dan gula sebagai bumbu jagung bakarnya. Mahasiswa di waktu siang hari dan penjual jagung bakar di malam harinya, tapi itulah mereka.
Di pinggir jalan kampus, tempat lalu lalang mahasiswa maupun masyarakat umum sekitar kampus, Andi dan Tono mulai terlihat sedang sibuk melayani pembelinya. Tono sedang mengipas-ipas arang hitam agar menjadi bara merah untuk membakar jagung bakarnya. Tangan kanannya memegang beberapa tangkai jagung dan tangan kirinya memegang kipas anyaman bambu sehingga bara itu semakin lama semakin memerah api. Sementara Andi sibuk menguliti jagung. Diolesinya jagung itu dengan bumbu buatannya sebelum diserahkan ke Tono untuk dibakarnya. Sesekali Tono menyeka keringat di keningnya agar tidak menetes ke jagung bakarnya. Kebersihan itu pangkal dari lakunya dagangan. Pelayanan kepada pelanggan adalah harus diutamakan. Bergantian mereka membakar. Setelah Tono capek membakar Andi menggantiya. Mereka rekan kerja yang baik.
”Sudah malam Ndi. Ayo pulang dulu”
”Tanggung Ton, sebentar lagi barangkali ada yang mau beli lagi. Kan biasanya kalau malam ada yang mau cari makanan ” kata Andi menjawab ajakan Toni untuk pulang. ” Ndi, katanya kamu besok kamu kuliah pagi. Kalu aku sih agak siang, biarlah toh kita sudah dapat untuk makan besok. Ingat jaga kondisi kita” Tono membujuk Andi dengan meyakinkan dan serius.

”Ya, sudahlah Ton kita pulang saja sekarang. Memang kalau mau lihat kebutuhan kita yang terus bertambah kita harus bekerja keras tapi benar kata kamu kita juga harus menjaga tubuh kita dan kuliah kita. Jangan sampai kuliah kita nanti malah berantakan gara-gara mencari uang. Memang sama-sama penting mencari uang dan kuliah. Ayo kita pulang, sudah malam” Andi menyetujui ajakan Tono untuk pulang. Merekapun beranjak dari karpat tempat duduknya yang digelar. Ia mulai memebersihkan sampah kulit jagung yang telah laku dibakar. Tono mengangkat karung jagung yang sisa tinggal beberapa biji. Rupanya malam itu jagung bakar mereka laku agak banyak.
Dua pemuda itu berjalan sambil memanggul sisa barang dagangan dan perkakas dagangannya menuju kos-kosan kecil yang dihuni mereka. Setelah sampai mereka meletakkan barang bawaan mereka.” Jagungnya laku berapa Ndi ?” tanya Tono. Lumayan ton malam ini kita laku cukup banyak. Besok kita makan ayam ya. Yah minimal seminggu sekali atau dua minggu sekali kita harus makan ayam. Itung-itung perbaikan gizi. Jangan makan mendoan melulu”
”Yah setuju besok kita sehabis belanja jagung ke Pasar Wage kita makan-makan. Yah sesekali kita juga harus seperti mahasiswa kaya lah.” balas Tono sambil tersenyum. Malam itu mereka tidur nyenyak dalam satu kamar yang berisi dua ranjang. Mereka terlelap dengan mimpi-mimpi mereka untuk bisa lulus kuliah dan menyandang gelar sarjana yang selama ini sedang mereka kejar dan idam-idamkan. Terbayang dalam mimpi mereka, orang tua yang memeluk mereka dengan tangis bahagia saat mereka sedang mengenakan toga baju tanda kelulusan mereka.
Namun apakah mimpi mereka akan terwujud ?

Sementara mereka hanya anak petani-petani gurem yang semakin sering gagal panen dan penghasilan mereka tak pasti, tak jarang dari mereka makannya Senen Kamis. Bagaimana mereka membiayai anak–anak mereka bersekolah. Haruskah semua anak petani yang pengin bisa kuliah harus menjadi penjual jagung bakar untuk bisa meraih gelar sarjana, sementara biaya pendidikan makin lama makin mahal. Rasanya semakin lama, semakin jelas bahwa orang miskin tak beruang tak boleh mengenyam rasa pendidikan tinggi. Orang melarat dilarang mendekati tembok kokoh kampus yang menjulang angkuh begitu tinggi. Kampus hanyalah menara gading tak tak bisa dijamah oleh para pemulung kumal apalagi gelandangan liar. Yah...pantas saja para pemulung dan pengemis amat betah, ingin berlama-lama di kampus. Memang kadangkala tak bisa disalahkan secara sepihak. Tapi memang tak pernah dijumpai di kota kecil itu para pemulung itu berdemo di depan kantor parlemen dan rektorat meminta keadilan.
Esoknya di kos-kosan kecil itu, kos-kosan Tono dan Andi.
”Ton, mandinya yang cepat ya.... aku sudah terlambat nih” teriak Andi di depan pintu kamar mandi dengan handuk di pundaknya. Tangannya menggedor-gedor pintu kamar mandi yang terbuat dari triplek. Suara gedoran terasa nyaring masuk ke dalam kamar mandi.
”Yah...sebentar lagi. Aku lagi tanggung” terdengar suara dari dalam kamar mandi menyahut. Walaupun tak begitu lantang.
”cepat dong...kita kan sudah terlambat ujian nih..”
”ya...aku sedang BAB sebentar, paling aku ga mandi ko”
”ya wis cepetan bener ya...sudah hampir jam delapan nih...”

Di kampus kesibukan membagi soal ujian telah berjalan oleh petugas ujian. Mahasiswa dan mahasiswi telah berjajar duduk dengan lembaran soal di hadapannya. Terlihat ada dua tempat ujian yang masih kosong belum ditempati. Sementara di kos Tono dan Andi, kesibukan antri mandi itu masih berlangsung.
Purwokerto pagi itu amat dingin, begitu takdimnya dan tunduk pada sosok Gunung Slamet yang menjulang berada tepat di atasnya. Ibaratnya kota kecil itu adalah Kawula dan Gunung Slamet itu Gustinya. Keduanya menyatu, manunggal dalam alam yang semakin owah rusak karena ulah makhluk serakah.

Matahari terus mencoba meninggi melawan dingin pagi yang berpolusi. Seperti biasanya Jalan Kampus semakin sibuk dengan kendaraan, asap dan debu yang beterbangan semakin keras menusuk hidung yang telanjang. Langkah kaki begitu tergesa-gesa terihat ketika dua sosok mahasiswa berpakain kriting dan berambut lurus panjang melintas. Langkahnya tak karuan, menabrak kerikil-kerikil kecil aspal yang mulai berlubang. Sementara tangannya menggenggam sebendel kertas materi kuliah yang dibacanya, namun angin mempermainkan, meniup kertas itu hingga jatuh.
”aku duluan ndi, aku dah amat sangat telat”
”Tunggu Ton, tunggu aku Ton.”
Tono seakan tak mendengar permintaan Andi, ia terus saja berlari menuju kampus. Sementara andi sibuk memunguti kertas materi ujian yang jatuh berserakan di Jalan Kampus karena angin pagi yang nakal, tak pernah berperikemanusiaan. Angin yang membantu Andi untuk membakar jagung bakar tadi malam, pagi itu benar-benar telah berubah menjadi musuh bagi Andi. Angin itu telah membuat kertas andi terbang dan jatuh berserakan.

Rupanya mereka benar-benar kesiangan. Sepintar-pintarnya kucing nyolong, pasti ketahuan. Sepandai-pandai mahasiswa berdagang, pasti suatu hari kesiangan juga. Malam tadi dagangan mereka berbuah untung namun pagi itu mungkin mereka harus melahap rugi untuk ujian akhir semester yang terjadwal pukul 07.30 di ruang 4 yang berada di lantai dua bangunan pojok utara-barat Fakultas Ilmu Sosial.
Di ruang 4, jam telah menunjukkan pukul 9 pertanda waktu ujian telah berakhir padahal di kaki Gunung Slamet, musim kemarau itu belum juga berakhir.

Cerpen ini kupersembahkan untuk kawan–kawan seperjuangan
Semoga dapat menjadi refleksi dan spirit perjuangan
Purwokerto,25 September 2006