Senin, 21 April 2008

cerpen fiktif


Kaki Gunung Slamet

Pagi itu seperti biasa di kota mendoan, ramai dengan hiruk pikuk aktivitas warga kota. Jalan-jalan di kota kecil itu mulai ramai dengan ditandai dengan lalu lalangnya kendaraan yang suaranya bersaingan seperti dalam perlombaan. Pasar Wage menampilkan potret pedagang miskin yang selalu mendambakan laba, seringnya hanya mendapat tak seberapa. sedangkan di sisi lain telah berdiri bangunan megah pasar baru sebagai pengganti pasar lama yang sudah lama akan dicerai oleh pemerintah. Wajah lama pasar itu telah diganti wajah baru, barangkali sudah mengalami face off agar dapat tampil cantik yang sesungguhnya sangat menyakitkan dan merugikan pedagang kecil yang tak mampu membayar relokasi pasar baru tersebut. ”Lha wong buat makan sehari-hari saja susah, masa harus buat beli kios yang harganya jutaan” suara seorang nenek pedagang sayur bernada tinggi. Rambutnya yang tipis dan telah memutih digelung kecil. Sementara matanya cekung dan giginya mulai hilang ditelan umur.

Di sela keramaian pasar itu terlihat dua sosok pemuda yang sedang berjalan menuju seorang penjual. Mereka berhenti di hadapan seorang Pak Tua penjual jagung. ”Pak Jasim saya beli jagungnya, seperti biasa” salah satu dari mereka mengeluarkan suaranya. Pak Tua itu cuma mengangguk sambil menunjukan sekarung kecil jagung yang berada di sisinya ”Ini Mas.” kemudian salah satu dari pemuda itu memberikan beberapa lembar uang kepada Pak Tua itu. Rupanya mereka sudah lama langganan.

Suara kendaraan roda dua dan kendaraan besar semakin bising seperti serombongan pasukan lebah yang keluar dari sarangnya. Kota ini memang menyimpan berbagai kisah unik mulai dari mendoan tempe anget sebagai makanan khas dan ”mendoan” yang diperjualbelikan oleh para penghibur malam yang selalu menjanjikan kehangatan. Tentunya mendoan yang tanda kutip ini dinikmati oleh carnivora pemburu nafsu. Kota yang dulu subur, sekarang menjadi lebih subur dengan adanya semakin banyaknya tumpukan semen, beton dan batu bata yang menjelma makhluk yang bernama rumah kios ataupun kos-kosan tempat mahasiswa kumpul kebo. Banyak orang mengakui itu, modernisasi telah merenggut kenyamanan pengunjung dan penghuni kota mendoan itu.


Ada universitas negeri di sini yang seringkali terlupakan oleh masyarakat sekitar apalagi masyarakat di luar kota kecil ini. Di bawah Gunung Slamet yang terletak di bagian tengah Jawa inilah berdirilah universitas yang menyandang nama besar seorang jenderal popularitasnya juga dijadikan nama-nama jalan di kota lain. Di tempat inilah berbagai manusia ditemukan. Ada mahasiswa yang katanya sedang menuntut ilmu atau cuma menuntut uang saku untuk bisa dikatakan cool, gaul dan funky. Daerah sekitar kampus ini juga menjadi ajang bisnis yang sangat menjanjikan mulai restoran cepat sajinya Rambo ataupun Samurai hingga menjadi tempat berlalu lalangnya pengemis dan pemulung yang beroperasi siang ataupun malam di mana warga kota sedang terlelap.
*****
Warga kampus itu telah larut dalam bangku kuliah. Kampus satu dengan kampus lain rasanya tak jauh beda. Gambaran kampus terlihat dari jauh muali dari deretan parkiran sepeda motor, mulai dari scooter butut hingga motor gede. Orang desa mungkin akan mengira kalau kampus ini bukan sekolah melainkan toko motor atau dealer motor. Hanya orang-orang kaya saja yang boleh ke sana. Terlihat di ruang mahasiswa yang duduk di belakang sambil mengantuk dengan menggenggam HP (handphone) model seri terbaru dengan fasilitas kamera dengan pixel yang lumayan besar. Di sisinya duduk gadis molek dengan penampilan menor dan rambut rebonding lurus dan parfum yang baunya menusuk hidung. Jempol tangannya menekan-nekan benda kecil dengan mata yang sangat serius dan sangat tajam. Di depan ruang itu wanita gemuk pendek sedang membolak-balik transparansi mata kuliah dan sesekali mulutnya berkomat-kamit dengan suara lantang menjelaskan perihal isi dalam transparansi itu. Bu Sinta, indah memang namanya, lengkapnya Dewi Sintawati namun parasnya sangat berkebalikan dengan Sinta yang langsing dan seksi isteri Sri Ramawijaya. Bahkan rahwanapun jikalau ada tak mungkin meliriknya. Sudah gemuk, judes, mata kuliahnya membosankan, killer lagi. Lengkap sudah alasan mahasiswa untuk membenci perkuliahan ini.

Dosen wanita gemuk itu terus menerangkan mata kuliah yang diampunya. Matanya sesekali memelototi mahasiswa yang mengantuk karena dugem semalam mungkin. Bibirnya yang tebal semakin tebal dengan gincu merahnya yang juga tebal. Sudah setengah jam mungkin dosen itu ceramah di depan mahasiswanya yang sebagian besar cenderung bersikap santai dan sepertinya tak peduli. Di tengah kesibukan waktu kuliah itu dan kesibukan teman-temannya yang sedang kuliah atau SMSan ternyata ada dua orang mahasiswa yang asyik ngobrol tanpa memperhatikan dosen yang sedang berapi-api dan serius menyampaikan materi kuliah. Sosok yang pertama memakai hem kotak dengan kerah baju yang bolong bekas jahitan. Sosok yang kedua memakai baju berkerah tinggi mirip vokalis band terkenal, celana jeans bermerek Amerika terbalut sabuk bermata besar melilitnya. Rambut spike semakin menandakan bahwa dia adalah anak yang sangat gaul dan menjadi incaran gadis penggila dunia hedonis.

”Sudah sarapan apa belum Ndi?”
”Belum Rif. Belum. Nanti kalau sudah dzuhuran saja. Biasalah dengan sayur kangkung dan mendoan”. Dengan nada datar dan senyum kecil ia menjawab pertanyaan Anton teman di sampingnya. Kelihatannya kamu sekarang semakin kurus Ndi, Maaf sebenarnya kalau boleh tahu, uang kirimanmu sebulan berapa sih Ndi?”
”Hanya dua ratus ribu Rif, itupun kalau tidak telat atau kurang”
”Sebulan dua ratus ribu Ndi? Apa cukup” memandang Andi dengan mata elangnya yang tajam seakan tidak percaya. “Kalau dibilang cukup, yah memang tidak cukup bahkan sangat tidak cukup. Kamu juga pastinya sudah tahu kalau pekerjaan ayahku hanya seorang petani yang sangat pas dan hanya cukup untuk menghidupi keluarga kami dan aku juga kuliah dengan terpaksa, aku hanya modal nekad ikut SPMB sampai akhirnya aku diterima, ayahku sudah memperingatkan aku dan mengingatkanku kalau aku ingin kuliah maka aku harus terima apanya keadaannya nanti karena tidak jaminan bagiku dapat membayar terus uang kuliah dan biaya hidup di kota kecil ini yang kian meningkat”.
“Oh .... begitu. Jadi benar cuma dua ratus ribu ?” sekali lagi Anton menegaskan pertanyaannya yang sempat terjawab oleh Andi.
” Ah ... aku sudah biasa seperti ini. Aku tak tahu apakah aku akan terus kuliah atau tidak. Bapakku semakin tua dan kau sebenarnya sudah payah sekali untuk membiayai sekolahku. Sebenarnya aku ingin mandiri makanya aku berusaha keras untuk mencari penghasilan tambahan selama ini. Mulai dari jualan jagung bakar setiap sela kesibukan kuliah sampai aku kadangkala mengerjakan tugas kuliah teman yang lain dengan imbalan beberapa puluh ribu. Kau terpaksa melakukan itu demi aku bisa makan dan hidup di Purwokerto. Untungnya selama aku kuliah di sini aku juga terus dapat kos-kosan gratis. Semester awal aku numpang bersama Robi bule itu yang sering kau kerjakan tugas makalahnya dulu. Yah mungkin inilah hidup yang harus dijalani olehku. Tapi...aku takkan menyerah. Aku harus bisa luluskan gelar sarjanaku bagaimanapun caranya. Yah ...walaupun harus bau gosong jagung bakar. Itu lebih baik daripada aku menggadaikan pikiranku kepada teman-teman yang malas mengerjakan tugas kuliah. Dulu memang kau masih sangat payah dan tak punya prinsip mempertahankan harga diri dan prestasiku”

Jam dinding menunjukkan pukul sebelas siang. Dosen yang terkenal killer ini sedang ribut memasukkan semua buku referensi kuliah dan transparansi materi kuliah yang baru saja diajarkan kepada mahasiswa-mahasiswa yang hanya sibuk dengan alat komunikasinya dan asyik cerita sendiri dengan teman-teman disampingnya. Apalagi jika yang kuliah satu kelas bersama kekasihnya. Seakan ruang kuliah hanya dijadikan tempat mereka memamerkan kemesraan cinta mereka seperti keintiman suami isteri yang baru saja menikah.
Salam diucapkan menutup perkuliahan siang itu. ”Selamat siang” kata ibu dosen dengan nada kaku sambil menenteng tas kulit besar yang tak bosan dibawanya setiap kali mengajar. Kuliah berakhir dan para mahasiswapun mulai berhamburan keluar dari ruang kuliah yang tadi penuh dan ribut dengan suara tawa-tawa kecil yang sering membuat dosen pengajar sesekali memberikan peringatan dan teguran. ”Mohon di perhatikan dan serius sedikitlah. Suara saya tidak sampai atau yang tak niat kuliah, silakan keluar!” mungkin itulah ungkapan yang sering dilontarkan dari mulut seorang pengajar yang mungkin sudah mulai muak dengan sikap mahasiswa yang semakin lama semakin sulit diatur dan cenderung seenaknya sendiri. Rasanya semakin tak betah saja mahasiswa mengikuti kuliahnya Bu Sinta, kampus berubah menjadi penjara setelah kedatangan Bu Sinta. Ruang kuliah adalah ruang interogasi dan ruang paksaan menjawab pertanyaan penyidik. Sungguh membosankan dan memuakkan. Rasanya ketika perkuliahan selesai ibarat narapidana yang baru saja menghirup udara kebebasan. Semua bersorak karena keluar dari ruang yang penuh horor.

Setelah perkuliahan selesai Andi langsung pulang menuju kos-kosannya. Dengan langkah yang agak berat ia berjalan menyusuri Jalan Kampus agar sampai ke tempat kosnya. Sesekali ia memandang kanan kiri. Sesekali ia menyapa dan tersenyum kepada temannya yang kebetulan berpapasan di jalan itu. Sudah beberapa minggu ia di Purwokerto lagi. Ketika di rumah ia hanya seorang anak buruh tani biasa. Ia sering berpikir kenapa bapaknya memberi nama padanya Andi, seperti layaknya nama bangsawan dari Sulawesi. Apa mungkin karena bapaknya latah ikut-ikutan memberi nama bintang film Mandarin bersama ibunya sewaktu masih pacaran dulu. Apa memang bapak ingin anaknya ingin berbeda dari yang lain. Ah...sudahlah. Apalah arti sebuah nama.

Andi masih saja menyusuri Jalan Kampus yang berdebu. Setiap langkah Andi ternyata mengantarnya menuju pikiran dan lamuan tentang masa lalu dan masa depannya. Dalam pikirannya inilah terjadi adu impian dan melawan kenyataan.
”Apakah ini fenomena yang sudah umum di setiap universitas dan sekolah menengah pada umumnya. Gejela apa sebenarnya yang sedang terjdi sekarang ini. Kenapa siswa dan mahasiswa banyak berlaku kurang ajar dan tidak tahu tata krama. Siapa yang patut dipersalahkan” Andi teringat cerita seorang dosen yang beberapa waktu yang lalu Andi kebetulan bertemu di bis jurusan Purwokerto-Cirebon ketika dalam perjalanan kembali ke Purwokerto untuk kuliah. Andi melihat sekali kegelisahan di mata seorang pria berbaju safari tua. Mata yang mulai cekung karena umur yang mulai udzur ditambah kacamata tebal yang menempel di mukanya yang mulai keriput. ”Inikah Umar Bakri ?” pikir Andi saat pertama kali melihat dan duduk bareng bersama orang itu. Suwignyo nama itu tersembul dari mulut orang itu sambil berjabat tangan erat dengan Andi. Andi agak gugup dan salah tingkah karena tidak biasanya ia berkenalan dengan orang tua ramah. Yang biasa ia temui saat perjalanan di bis hanya pengamen yang matanya merah memaksa dengan bau alkohol di mulutnya atau kalau tidak, ia hanya mendapatkan beberapa orang pengemis yang menjajakan anaknya yang digendong dengan kain lusuh. Ia beberapa kali melihat pengemis perempuan yang menggendong anaknya yang matanya masih lugu dan lucu. Sambil menengadahkan tangannya dan bermuka memelas entah disengaja atau memang jujur, ia meminta sedikit uang untuk sekedar makan katanya. Padahal orang duduk di jok sebelah jok Andi menggerutu ketika melihat pengamen dan pengemis dalam bis. ”De..Mereka itu penghasilannya lebih banyak daripada saya”. Andi saat itu hanya tersenyum. Mungkin senyum itu tanda persetujuannya.

Andi masih teringat peristiwa uniknya dengan Pak Suwignyo, dosen tua yang belum pensiun. Andi tak mengira kalau orang yang tampangnya biasa-biasa saaj itu pernah jadi dosen. Yah..mungkin dosen tidak harus ganteng dan cantik seperti artis. Andi masih ingat benar cerita hidup dari Pak Suwignyo, jarang andi menemui seorang intelektual yang seramah itu di kampusnya. ”Saya dulu itu kuliah di Yogya waktu itu masih sangat jarang orang kuliah, mungkin satu desa hanya saya dan anak lurah yang kuliah. Orang desa mana tahu namanya kuliah, yang mereka tahu hanyalah bisa makan dan bekerja di sawah. Sederhana memang kehidupan mereka, Bapak saya dulu juga seorang petani, saya sempat dilarang untuk sekolah terus. Kata mereka buat apa sekolah toh nanti gajinya kecil mendingan kamu bantu Bapak di sawah. Itu kata Bapak saya yang memang lugu dan buta huruf. Tapi saat itu saya memang termasuk anak bandel dan nekad, saya bilang pada Bapak bahwa saya akan pergi ke Yogya menemui Pak De di sana” Pak Wignyo bercerita. Semetara andi yang mulai bersandar di jok bis karen amulai mangantuk. Lampu dalam bis yang remang-remang membuat Andi semakin terkantuk-kantuk. Tapi ia mencoba untuk mendengarkan seorang tua itu bercerita. Sesekali Andi manggut-manggut sebagai tanda persetujuan. ”Saya dulu kuliah di Yogya sambil berjualan koran, bapak saya di desa tak peduli dengan saya.mungkin baru setengah tahun dia menemui saya di Yogya. Ia bertemu dengan Pak De yang pekerjaannya berdagang nasi rames di sekitar kampus saya kuliah. Yah saya nunut Pak De, ya ikut makan ya ikut numpang, mau bagaimana lagi” Pak Wignyo melanjutkan ceritanya. Setelah bercerita panjang lebar mengenai hidupnya sewaktu muda dan perjuangannya untuk menjadi dosen di Purwokerto. Perlahan orang tua itupun mulai menyandarkan lehernya kemudian tertidur pulas di pundak kanan Andi. Peristiwa itu tak pernah dilupakan oleh Andi sampai ia tiba di terminal Purwokerto yang baru.
*****
Andi dan Tono sebenarnya sama-sama mahasiswa yang kuliah di sebuah kampus di Purwokerto. Mereka berdua tidak ada bedanya dengan mahasiswa yang lain. Sama-sama mempunyai KTM, kartu perpustakaan, membayar SPP, mengikuti kuliah dan ujian sesuai jadwal universitas. Andi dan Tono juga sama-sama lelaki, mereka bukan pasangan homoseksual, secara seksual mereka normal seperti mahasiswa lain. Artinya Andi dan Tono juga normal juga ketika mereka mencintai mahasiswi di kampus. Namun memang entah mengapa ada yang menjadikan berbeda dari mereka walaupun sama-sama manusia dan mahasiswa yang sedang berkuliah.

Kuliah sudah berjalan beberapa minggu setelah liburan Idul Fitri dilalui para mahasiswa dengan pulang ke rumahnya masing-masing. Aktivitas kuliah di mulai lagi, berbagai geliat mahasiswa dengan bermacam-macam gaya pakaian terpasang. Suasana kampus sekarang ibarat suasana fashion show, berbagai model rambut, baju, tas muka dan lenggak-langgok mahasiswa tak kalah bagusnya dengan peragawan dan peragawati di catwalk. Andi mungkin salah satu mahasiswa yang paling ketinggalan dalam hal berpakaian dan gaya. Ia tak pernah memikirkan apa itu pakaian modis. Ia hanya berpikir bagaimana agar ia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya setiap hari dengan mencari penghasilan tambahan, ia tahu kiriman orang tuanya di Cirebon tidak dapat dijadikan andalan utama. Ia kuliah di pagi hari dan di malam hari ia bersama temannya Tono yang senasib dengannya, berjualan di pinggiran Jalan Kampus yang ramai dengan lalu-lalang mahasiswa yang biasanya sedang mejeng dan berjalan-jalan bergandengan untuk makan-makan dengan pacarnya.

Sore itu Andi seperti biasanya di kos-kosan kecilnya, ia mempersiapkan persiapan bahan dan alat untuk berjualan jagung bakar. Ia mengangkat karung kecil beirisi jagung manis yang dibelinya tadi sore di Pasar Wage. ”Ton, arang sudah siap belum? Jagungnya sudah siap nih. Aku berangkat dulu yah.” Andi memanggul karung kecil berisi jagung dengan tangan kanannya sambil membawa tempat pembakaran jagung yang terbuat dari seng. ”Yah Ndi aku sedang buat bumbunya dan kipas dan arangnya akan aku bawa nanti. Kamu duluan saja nanti aku menyusul.” Tono menjawab sambil sibuk mempersiapkan toples kecil berisi mentega, sambel dan gula sebagai bumbu jagung bakarnya. Mahasiswa di waktu siang hari dan penjual jagung bakar di malam harinya, tapi itulah mereka.
Di pinggir jalan kampus, tempat lalu lalang mahasiswa maupun masyarakat umum sekitar kampus, Andi dan Tono mulai terlihat sedang sibuk melayani pembelinya. Tono sedang mengipas-ipas arang hitam agar menjadi bara merah untuk membakar jagung bakarnya. Tangan kanannya memegang beberapa tangkai jagung dan tangan kirinya memegang kipas anyaman bambu sehingga bara itu semakin lama semakin memerah api. Sementara Andi sibuk menguliti jagung. Diolesinya jagung itu dengan bumbu buatannya sebelum diserahkan ke Tono untuk dibakarnya. Sesekali Tono menyeka keringat di keningnya agar tidak menetes ke jagung bakarnya. Kebersihan itu pangkal dari lakunya dagangan. Pelayanan kepada pelanggan adalah harus diutamakan. Bergantian mereka membakar. Setelah Tono capek membakar Andi menggantiya. Mereka rekan kerja yang baik.
”Sudah malam Ndi. Ayo pulang dulu”
”Tanggung Ton, sebentar lagi barangkali ada yang mau beli lagi. Kan biasanya kalau malam ada yang mau cari makanan ” kata Andi menjawab ajakan Toni untuk pulang. ” Ndi, katanya kamu besok kamu kuliah pagi. Kalu aku sih agak siang, biarlah toh kita sudah dapat untuk makan besok. Ingat jaga kondisi kita” Tono membujuk Andi dengan meyakinkan dan serius.

”Ya, sudahlah Ton kita pulang saja sekarang. Memang kalau mau lihat kebutuhan kita yang terus bertambah kita harus bekerja keras tapi benar kata kamu kita juga harus menjaga tubuh kita dan kuliah kita. Jangan sampai kuliah kita nanti malah berantakan gara-gara mencari uang. Memang sama-sama penting mencari uang dan kuliah. Ayo kita pulang, sudah malam” Andi menyetujui ajakan Tono untuk pulang. Merekapun beranjak dari karpat tempat duduknya yang digelar. Ia mulai memebersihkan sampah kulit jagung yang telah laku dibakar. Tono mengangkat karung jagung yang sisa tinggal beberapa biji. Rupanya malam itu jagung bakar mereka laku agak banyak.
Dua pemuda itu berjalan sambil memanggul sisa barang dagangan dan perkakas dagangannya menuju kos-kosan kecil yang dihuni mereka. Setelah sampai mereka meletakkan barang bawaan mereka.” Jagungnya laku berapa Ndi ?” tanya Tono. Lumayan ton malam ini kita laku cukup banyak. Besok kita makan ayam ya. Yah minimal seminggu sekali atau dua minggu sekali kita harus makan ayam. Itung-itung perbaikan gizi. Jangan makan mendoan melulu”
”Yah setuju besok kita sehabis belanja jagung ke Pasar Wage kita makan-makan. Yah sesekali kita juga harus seperti mahasiswa kaya lah.” balas Tono sambil tersenyum. Malam itu mereka tidur nyenyak dalam satu kamar yang berisi dua ranjang. Mereka terlelap dengan mimpi-mimpi mereka untuk bisa lulus kuliah dan menyandang gelar sarjana yang selama ini sedang mereka kejar dan idam-idamkan. Terbayang dalam mimpi mereka, orang tua yang memeluk mereka dengan tangis bahagia saat mereka sedang mengenakan toga baju tanda kelulusan mereka.
Namun apakah mimpi mereka akan terwujud ?

Sementara mereka hanya anak petani-petani gurem yang semakin sering gagal panen dan penghasilan mereka tak pasti, tak jarang dari mereka makannya Senen Kamis. Bagaimana mereka membiayai anak–anak mereka bersekolah. Haruskah semua anak petani yang pengin bisa kuliah harus menjadi penjual jagung bakar untuk bisa meraih gelar sarjana, sementara biaya pendidikan makin lama makin mahal. Rasanya semakin lama, semakin jelas bahwa orang miskin tak beruang tak boleh mengenyam rasa pendidikan tinggi. Orang melarat dilarang mendekati tembok kokoh kampus yang menjulang angkuh begitu tinggi. Kampus hanyalah menara gading tak tak bisa dijamah oleh para pemulung kumal apalagi gelandangan liar. Yah...pantas saja para pemulung dan pengemis amat betah, ingin berlama-lama di kampus. Memang kadangkala tak bisa disalahkan secara sepihak. Tapi memang tak pernah dijumpai di kota kecil itu para pemulung itu berdemo di depan kantor parlemen dan rektorat meminta keadilan.
Esoknya di kos-kosan kecil itu, kos-kosan Tono dan Andi.
”Ton, mandinya yang cepat ya.... aku sudah terlambat nih” teriak Andi di depan pintu kamar mandi dengan handuk di pundaknya. Tangannya menggedor-gedor pintu kamar mandi yang terbuat dari triplek. Suara gedoran terasa nyaring masuk ke dalam kamar mandi.
”Yah...sebentar lagi. Aku lagi tanggung” terdengar suara dari dalam kamar mandi menyahut. Walaupun tak begitu lantang.
”cepat dong...kita kan sudah terlambat ujian nih..”
”ya...aku sedang BAB sebentar, paling aku ga mandi ko”
”ya wis cepetan bener ya...sudah hampir jam delapan nih...”

Di kampus kesibukan membagi soal ujian telah berjalan oleh petugas ujian. Mahasiswa dan mahasiswi telah berjajar duduk dengan lembaran soal di hadapannya. Terlihat ada dua tempat ujian yang masih kosong belum ditempati. Sementara di kos Tono dan Andi, kesibukan antri mandi itu masih berlangsung.
Purwokerto pagi itu amat dingin, begitu takdimnya dan tunduk pada sosok Gunung Slamet yang menjulang berada tepat di atasnya. Ibaratnya kota kecil itu adalah Kawula dan Gunung Slamet itu Gustinya. Keduanya menyatu, manunggal dalam alam yang semakin owah rusak karena ulah makhluk serakah.

Matahari terus mencoba meninggi melawan dingin pagi yang berpolusi. Seperti biasanya Jalan Kampus semakin sibuk dengan kendaraan, asap dan debu yang beterbangan semakin keras menusuk hidung yang telanjang. Langkah kaki begitu tergesa-gesa terihat ketika dua sosok mahasiswa berpakain kriting dan berambut lurus panjang melintas. Langkahnya tak karuan, menabrak kerikil-kerikil kecil aspal yang mulai berlubang. Sementara tangannya menggenggam sebendel kertas materi kuliah yang dibacanya, namun angin mempermainkan, meniup kertas itu hingga jatuh.
”aku duluan ndi, aku dah amat sangat telat”
”Tunggu Ton, tunggu aku Ton.”
Tono seakan tak mendengar permintaan Andi, ia terus saja berlari menuju kampus. Sementara andi sibuk memunguti kertas materi ujian yang jatuh berserakan di Jalan Kampus karena angin pagi yang nakal, tak pernah berperikemanusiaan. Angin yang membantu Andi untuk membakar jagung bakar tadi malam, pagi itu benar-benar telah berubah menjadi musuh bagi Andi. Angin itu telah membuat kertas andi terbang dan jatuh berserakan.

Rupanya mereka benar-benar kesiangan. Sepintar-pintarnya kucing nyolong, pasti ketahuan. Sepandai-pandai mahasiswa berdagang, pasti suatu hari kesiangan juga. Malam tadi dagangan mereka berbuah untung namun pagi itu mungkin mereka harus melahap rugi untuk ujian akhir semester yang terjadwal pukul 07.30 di ruang 4 yang berada di lantai dua bangunan pojok utara-barat Fakultas Ilmu Sosial.
Di ruang 4, jam telah menunjukkan pukul 9 pertanda waktu ujian telah berakhir padahal di kaki Gunung Slamet, musim kemarau itu belum juga berakhir.

Cerpen ini kupersembahkan untuk kawan–kawan seperjuangan
Semoga dapat menjadi refleksi dan spirit perjuangan
Purwokerto,25 September 2006

Tidak ada komentar: