Jumat, 12 November 2010

tak harus kau percaya…

Ini cerita yang terjadi di sebuah negeri Sastradireja. Sebuah negeri yang tak mungkin kau temukan di peta manapun. Jika ke sana engkau akan menemui raja Sastranegara dan jika engkau lelaki sejati engkau pasti akan jatuh cinta dengan Puteri Sastrawati dan jika engkau perempuan sejati niscaya engkau akan jatuh hati akan seorang pangeran bernama Pangeran Sastrawarman. Memang nama-nama mereka mirip dengan nama-nama tokoh sejarah kerajaan di negerimu mungkin? Tapi sudahlah. Perlu kau ketahui negeri ini konon hanya dapat ketahui ketika dirimu menjadi orang-orang terpilih. Untuk menjadi orang terpilih engkau harus menjadi orang yang punya fantasi gila dan otomatis dalam anggapan umum engkau akan dianggap orang gila. Dengan menjadi gila engkau kelak akan bisa mengunjungi negeri tersebut.

Tapi apakah engkau mau gila? Itu pertanyaanku kepada semua orang yang berhasrat untuk menapakkan jejak ke negeri Sastradireja. Aku yakin sebagian besar orang tak mungkin berani menjadi gila hanya untuk bisa masuk ke negeri yang tak ada dalam peta manapun walaupun di sana engkau akan menemui banyak cerita yang tak mungkin engkau lupakan dan tak mungkin sependek cerita yang nanti aku ceritakan nanti. Makanya aku berkeyakinan hanya orang-orang yang benar-benar gilalah yang mau dan dapat berkunjung ke negeri Sastradireja.

Suatu hari aku berkunjung ke negeri itu sehingga orang tuaku dan tetangga-tetanggaku mengira aku hilang sehingga mereka mencariku ke hutan seberang desa. Yah mereka mengira aku telah raib diselong oleh jin, setan mrekayangan dan siluman penunggu hutan. Sungguh tak dapat disalahkan karena aku kecil senang sekali naik pohon Asemkamal sehabis pulang sekolah sampai petang. Bahkan tidak jarang aku ketiduran di dahan pohon yang serupa kursi sampai larut malam. Dengan susah payah bapak dan paman menurunkanku yang tidur dengan menggendongnya dengan sarung. Ketika aku sudah tidur aku memang susah sekali dibangunkan. Tidur seperti mayat. Setelah dua hari aku kembali ke rumah, semua orang menanyaiku dari mana dan kujawab dengan cerita ini tapi mereka tidak tidak percaya dan aku yang kecil dibilangnya sudah pandai berdusta. Entah kamu nanti mau mengatakan apa padaku setelah membaca ceritaku ini.

***

Akupun tak tahu kenapa aku bisa sampai bisa berkunjung ke negeri itu. Entahlah, yang pasti suatu petang aku naik pohon asem kamal dan aku ketiduran di sana dan tahu-tahu ketika aku sadar aku telah berada di sebuah beranda rumah khas Joglo jaman kuno dan orang-orang berpakaian kain khas Jawa seperti aku lihat dalam film Tutur Tinular. Dan akulah anak yang berpakaian paling aneh, pikiranku akulah anak yang datang dari masa depan menuju masa lalu. Lalu aku bertanya kepada orang-orang di sana namun ternyata aku tak terlihat oleh mereka. Suara tanpa rupa, tapi anehnya mereka tak mengiraku hantu. Hal itu sudah menjadi hal biasa bagi mereka. Suara tanpa wujud bisa jadi adalah wangsit leluhur yang selalu mereka nanti-nantikan. Ketika aku lapar aku mengambil beraneka sesaji yang ada di setiap bangunan wajar dan pohon besar di sana.

Setelah lama aku berkeliling sebuah desa di negeri itu aku mampir di sebuah rumah dimana sekerumunan anak sedang duduk melingkar dengan seorang kakek tua duduk diantara mereka sambil bercerita tentang negeri mereka yang dulu tak seperti sekarang. Akupun dengan santainya duduk di antara mereka, toh mereka tak melihatku. Namun aneh, kakek tua itu melihat kedatanganku dan mempersilahkanku duduk diantara mereka dengan bahasa isyarat. Akupun mengikuti jalan cerita kakek tua itu dari awal sampai selesai. Dari situlah aku menjadi mengerti bahwa negeri itu adalah negeri Sastradireja dengan penduduk sebagian besar berpekerjaan sebagai pujangga. Pangan sandang dan tempat tinggal sudah bukan lagi masalah bagi mereka. Kegemaran mereka adalah bersastra. Tapi ternyata sebelum itu negeri sastra tertimpa sebuah krisis yang amat dahsyat akibat kemarau panjang. Krisis itu amat mengguncangkan persediaan pangan, sandang, papan.

Namun yang tak kalah menjadi masalah justeru dalam kemarau itu mereka kekurangan krisis daun lontar. Daun lontar adalah media dimana mereka paling suka untuk menulis segala karya sastranya. Anehnya, kemarau itu tanaman lontar hanya bisa berbuah dan berpelepah tanpa daun. Padahal daunlah lontarlah yang menjadi amat penting bagi mereka.

Akhirnya diselenggarakanlah konggres sastrawan di negeri Sastradireja. Semua sastrawan datang. Konon konggres itu diadakan di sebuah desa dengan alasan para sastrawan sudah bosan melakukan konggres di kotaraja. Terlebih dari itu tujuannya adalah untuk mengenal keindahan desa dan memperkenalkan sastra kota kepada orang desa. Di desa diharapkan para sastrawan bisa menemukan banyak kosakata, cerita, setting dan alur yang baru atau yang telah lama mereka tinggalkan. Begitulah bunyi seruan dalam poster-poster dan media masa yang tidak lain berupa rangkaian daun lontar yang tersebar di pelosok negeri itu. Entah siapa yang membuatnya dan menyebarkannya. Tapi yang pasti hal itu serentak terjadi pada hari yang sama tepatnya sejak sepekan sebelumnya, kongres sastrawan muda negeri itu telah dimulai.

Pendek cerita, berdatanganlah para pujangga ke desa itu. Mulai dari penyair muda, pujangga muda , penulis roman, suluk dan babad menampakkan batang hidungnya. Mereka berumur antara sepuluh samapi dupuluh lima tahun. Umur itulah yang konon menurut data Badan Pusat Statstik negeri Sastradireja masuk kategori muda. Ada dari mereka yang dari mereka datang dengan kudanya , delmannya, gerobagnya bahkan dengan jalan kaki. Mungkin di sana belum (saatnya) ada mobil atau kendaraan bermotor lainnya, di sana hanya ada kendaraan berhewan. Penampilan merekaun bermacam-macam . ada yang memakai sepatu, sandal, ada juga yang telanjang kaki. Kebanyakan dari mereka memakai ikat kepala baik itu yang berambut panjang diurai dan yang digelung. Saking bayaknya gaya merka aku tak dapat menguraikannya satu persatu, pokoknya mereka tak seperti aku lihat sebelumnya di jaman kita.

Satu persatu mereka daatang dari berbagai kota da n desa namun setelah sampai pada lokasi mereka kebingungan. Kngres sastrawan mud ibarat kongres dalam cerita, kongres fiktif. Di lokasi meeka tak pernah disambut panitia bahhkan tak pernah tahu sipa panitia. Tak ada administrasi untuk penyai atupun sastrawan muda. Mereka banyak meluapan darah mudanya. Berbicaara, meggerutu, mengupat dengan puisi, memarahi dengan syair, menggerutu dengan kidung lagu dan sajak entah pada siapa. Orang-ornag desa sekitar stu hanya melongo melihat tingkah mereka. Sampai suatu saat muncullah serorang pemuada muncul di tenagtah kekacauan itu. ‘selamat datang wahai para sastraawn muda di kongres sastrawa n muda di desa Sesaksajak ini’ suaranya demikian jernih padahal yang berkata itu hanyalah seorang anak kecil.

Para sastrawan muda yang telah datang hanya kaget dan tak mengira hanya disambut seorang anak kecil bertelanjang dada berambut ikal. Mendengar ucapan selamat datang , ereka haya diam sesaat namun stelah itu mereka memberondong anak lelaki kecil itu dengan berbagai pernyataannn.

‘anak kecil kau mau apa disini, kalu kau tau dimana kami bisa bertemu dengan teman paitia kongres ini dan dimana kai tinggal selama tiga hari di di desa ini. Dimana kami makan, dimana tempat baca puisi membuat sajak merangkai syair, dimana, bagaimana…………dan seterusnya dan seterusnya mengapa semua ini terlihat kacau balau?’

Mendengar itu semua pertanyaan itu seorang anak kecil itu hanya duduk mematung. Beberapa saat kemudian para sastrawan muda itu puas memberondong pertanyaan itu, tubuh anak kecil yang tadinya mematung diam. Namun lama-kelamaan terlihat berbagai macam sajak cacian, syair kedengkian dan puisi kemuakan mengalirkan huruf-hurufnya masuk kedalam kepala anak kecil itu dan setelah itu anak kecil itu seperti berat menahan kepala hingga akhirnya rebah di tengah kerumunan kemarahan para sastrawan muda.

***

Akhirnya dimulailah kongres sastrawan muda dipimpin oleh seorang anak kecil bersuara jernih itu. Disebut-sebutlah bahwa anak kecil itu adalah titisan dari seorang pujangga negeri Sastradireja, bernama Sastraatmaja pendiri dari desa Sesaksajak yang moksa setelah lama meninggalkan kotaraja akibat tidak terima keitka sastra dipergunakan untuk konsprasi kuasa dan alat untuk menindas rakyat. Dialah pengusung genre sastra nglawan kuasa. Rupanya keturunannya yang dikira oleh kakek raja Sastranegra telah mati diburu itu masih hidup sampai sekarang. Entahlah kenapa para sastrawan muda itu begitu takjub dan patuh kepada anak kecil itu yang ternyata bernama Sastrapinunggul.

Sambil duduk santai di lelumutan kerak di bawah rumpun bambu ampel gading semua sastrawan berkumpul. Anak kecil itu menjelaskan bahwa menjelaskan bahwa panitia penyeleggara kongres itu tak lain dia senridri tanpa orang lain. Semeentra para sastrawan muda selaama melakukan kongres dipersilahkan tingal di mana saja dan makan apa saja. Anak kecil itu tahu bahwa para sastrawan hanya berbekal puisi, cerita, dongeng , dan syair pada lembaran lontar dan pada mulut mereka yang telah dihafalkan.

Dalam tiga hari itulah para sastrawan peserta kongres itu ada yang bertahan dan kabur karena tak yakin akan bisa bertahan hidup hanya berbekal karya sastra mereka. Daun lontar berisi sajak tak mungkin mengenyangkan mereka. Sedangkan para penduduk desa Sesaksajak sedang kekurangan pangan akibat kemarau panjang ini dan mereka telah muak dan trauma dengan sajak yang hanya berjejaring dengan penguasa lalim seperti dulu.

Sastrawan muda yang tersisa hanya tinggal sebelas orang dari sekitar seratus sebelas orang. Mereka masih duduk di lelumutan kerak di bawah rumpun bambu ampel gading membahas masalah sastra dan kehidupan negeri Sastradireja. Anak kecil itu kemudian berkata dengan kidung lagu. Suaranya mirip dengan suara orang dewasa. Para sastrawan meyakini bahwa yang menyanyikan kidung mistis itu bukan anak kecil itu, melainkan eyang Sastraatmaja yang sedang merasuk ked alam jasad cucunya.

Dalam kidung itu sastraatmaja menutrukan bahwa keamrau panjang iini tak lain karena kesalahan manusia sendiri yang membuat murka Dewata akibat telah menyalahgunakan sastra bukan lagi sebagai alat penyampai kebajikan namun telah menjadi alat pengadu domba manusia dan alat mencapai kekuasaan. Barangsiapa yang ingin wilyahnya makmur kembali maka merke ak harus berkerja keras tidak hanya menyembah raja lalim dan menjadikan sastra sebagau dewata baru. Begitulah pesan sastraatmaja yang dapat ditangkap waktu itu yang ditangkap dari anak kecil itu. Bersamaan nyanyian kidung selesai terjadilah gemuruh angin besar yang meluruhkan daun-daun kering ampel gading. Semua sastrawan menutup menoleh dan sontak menutupkan jemarinya untuk melindungi mata dari luruhan daun dan kepulan debu. Setelah itu anak itu telah hilang pergi bersama angin yang menyapu tempat itu.

Tanpa anak kecil itu kongres sastra terus berlangsung. Sebalas sastrawan ituoupn menjalankan tirakat menugrangi makan minum selama kongres sastrawan berlangusng. Keitka siang mereka berkumpul di temapat tu, namun mketika malam datang mreka berpencar di berbagai tempat. Mencari inspirasi, duduk di pinggir kali menghayati keheningan tanpa suara gemericik air. Menghayati dingin malam kemarau panjang. Merenungi wangsit dan pesan eyang sastraatmaj tentang musibah kemarau panjang. Ada pula yang duduk bersila di tengah rekah tanah sawah di bawah remang bulan sabit. Ada yang merangkai bait-bait syair dan lagu lewat suara miris tangis anak kecil yang tak lagi bisa menyusu karena air susu ibunya telah kering. Malam membuat mereka merenungi semua, memahami teka-teki sepi dalam kekeringan yang belum diketahui ujungnya.

Selama kongres tidak ada penduduk yang mengikuti dan melihat, mereka telah muak dengan sajak. Desa mereka telah sesak dengan sajak. Mereka tidak peduli dengan adanya pentas syair, puisi dan sajak dan apresiasi sastra apapun. Mereka akan menghargai sastra ketika sastra bisa berguna. Puisi dan syair akan lebih indah ketika mampu menghidupkan tanaman, sajak akan rancak berirama merdu mampu mengundang gemericik air kehidupan. Dan seterusnya dan seterusnya……..sastra akan berguna ketika mampu memanusiakan manusia dan harmoni dengan alam semesta di sekitarnya. Selama itu belum terjadi mereka tidak akan percaya pada sastra.

Suatu siang setelah berdebat cukup lama akhirnya sebelas orang sastrawan itu bersepakat untuk bertaubat pada Dewata atas semua kesalahan yang pernah dilakukan. Menginsyafi kekeliruan dan kemusyrikan, menghindari bid’ah-bid’ah yang jelas-jelas merugikan umat manusia dan alam semesta.

Malamnya, di bawah remang bulan sabit mereka berangkat menyusuri jalan penduduk desa menuju mata air Belik Banyumumbul mereka naik terus menuju sebuah bukit. Di atas bukit Pamujan tempat petilasan Eyang Sastraatmaja moksa itulah, akhirnya mereka bersebelas bersujud meminta wangsit Dewata untuk meminta petunjuk dan memanjatkan pinta agar kemarau panjang segera usai.

Siang terakhir akhirnya disepakati bahwa sastra yang baik adalah sastra yang menyuarakan kebenaran bukan sastra yang melindungi kepentingan penguasa yang lalim. Sebelas sastrawan menyetujui bahwa bersastra tidak harus berebut lewat media masa sebagai lahan satu-satunya penyair untuk hidup. Mereka bersepakat bahwa sastrawan sejati adalah semua orang mampu menggunakan bahasanya untuk kebenaran, kebaikan umat manusia dan alam semesta. Sastra harus memayu hayuning bawana. Semua orang bisa jadi sastrawan.

Tersebutlah setelah beberapa tahun kemudian, bahwa kesebelasan sastrawan itu menjadi pelopor petani sastrawan, pandita yang pujangga, ahli tatanegara yang ahli sastra, pedagang yang benar menggunakan neraca dan bijak menggunaka katanya dan ada pula yang menjadi guru bahasa dan sastra yang tidak membebek pada kata penguasa.

Tersebutlah Revolusi sastra negeri Sastradireja itu bermula. Dari desa Sesaksajak sebelas sastrawan itu bersusah payah membuat saluan air dari sambungan panjang batang bambu dari belik Banyumumbul menuju pemukiman penduduk. Penduduk yang awalnya enggan berangsur-angsur penduduk sadar akan kemanfaatan usaha para sastrawan itu. Mereka mulai belajar kembali sastra di jeda bertani dan berdagang mereka. Mereka ajarkan anak mereka syair dan cerita sebelum anaknya terlelap. Mereka rasakan dengan sastra keindahan hidup, Mereka dan percaya sastrawan tidak hanya bisa berdusta dan menyihir kata-kata. Sastrawan juga mampu berbuat yang bermanfaat bagi manusia. Setelah beberapa lama di desa Sesaksajak itu, sebelas sastrawan itu tak terekam jejaknya. Kemudian tersiar kabar bahwa mereka moksa padahal sebenarnya mereka telah dibunuh oknum penguasa yang resah dengan genre sastrasejati. Sastra yang menampilkan segalanya apa adanya tanpa ada prasangka dan kuasa angkara.

***

Setelah mendengar cerita itulah, si kakek tua itu menghampiriku. Menyalamiku dan berkata ‘akulah Sastrapinunggul, anak kecil dalam cerita itu’ setelah itu aku ditepuknya dan aku tak sadar. Ketika aku bangun aku sudah berada di atas dahan pohon Asemkamal. Kuceritakan semua ini berulang kali tapi mereka tidak percaya. Termasuk kau juga mungkin akan mengatakan bahwa semua yang telah kukisahkan ini bohong. Saranku jika engkau tak percaya sering-seringlah engkau tidur di atas dahan pohon Asemkamal. Barangkali Eyang Sastrapinunggul akan membawamu menuju negeri Sastradireja itu.

Purwokerto, Senen Kliwon 1 Juni 2009

foto:mobil gubernur bibit waluyo dan bupati mardjoko saat meninjau PLTMH di Pesawahan, Gununglurah Cilongok beberapa bulan lalu.

Suran di Tlaga Gumelar

Membingkai Budaya Dengan Agama

Tlaga, sebuah desa jauh dari kota Purwokerto. Dengan relief tanah pegunungan namun mempunyai peradaban sendiri. Peradaban tradisi yang masih menjunjung tinggi sikap gotong royong. Bermacam budaya asli rakyat masih tumbuh subur di sana. Berbagai kelompok seni tetap ada di sebuah desa yang sebagian besar penduduknya berpencaharian sebagai penderes getah pinus. Dari 784 hektar luas desa hampir separuh lebih (412 hektar) yang merupakan wilayah kehutanan menjadi berkat kehidupan mereka.

Berbeda dengan desa-desa yang lain, Tlaga masih memiliki aneka rupa kesenian rakyat yang eksis. Kesenian tertua yang hidup di Tlaga adalah lengger. Kesenian lengger yang di masa lalu sangat erat kaitannya dengan ritus penghormatan upacara kesuburan tanah ini masih berkembang. Selain lengger atau ronggeng terdapat pula kesenian sintren, ebeg, krindhil, bentha-benthi, rindhing dan thek-thek. Semua masih eksi s tanpa kecuali.

Terlebih di bulan Sura menurut tahun Jawa dan Muharam menurut tahun Hijriyah, Keramaian akan dijumpai di desa Tlaga. Ritual Suran bagi mereka seperti telah menjadi kewajiban bagi mereka. Gotong royong untuk menyelenggarakan terlihat secara apik di anatara mereka. Bagi mereka Suran bukan hanya peringatan terhadap tahun baru Jawa atau Islam. Suran adalah sarana penghormatan dan sarana unjuk bakti kepada leluhur Tlaga.

Mereka percaya bahwa leluhur Tlaga yaitu Eyang Rebo atau Ranukertawijaya adalah leluhur desa Tlaga. Ialah orang pertama yang membuka hutan menjadi desa Tlaga. Keyakinan penduduk setempat menyatakan bahwa tampuk kepemimpin desa atau Lurah akan selalu dipegang oleh anak keturunan Eyang Ranukeriwijaya. Walaupun di jaman demokrasi sekalipun ternyata konsep kepemimpinan menurut keturunan dan kharisma ini masih berlaku di sini. Di jaman ketika semua orang berkesempatan untuk melakukan mobilisasi vertikal, ternyata tetap saja anak cucu Eyang Ranukertawijaya yang tetap ampuh dan unggul menduduki puncak pemerintah di desa Tlaga.

Amin Ismaraton, Kepala Desa Tlaga yang menurut penduduk setempat masih keturunan ke -13 dari Eyang Ranukertawijaya menceritakan identitas Eyang Rebo atau Ranukertawijaya. Menurutnya Eyang Rebo ini berasal dari Selogiri (Sekarang masuk Wonogiri) dulu masih termasuk Kerajaan Mataram Islam. Karena bangsa “mata kucing” telah mulai melanglang ke Jawadipa yaitu Mataram, maka Eyang Rebo bersama kedua orang temannya yaitu Eyang Mimbar bersama isteri, Eyang Rentug bersama isteri memberontak. Diceritakan bahwa mereka pindah dari Selogiri menuju ke barat yaitu daerah Panggungwangi. Panggungwangi adalah tempat pertama kali Eyang Ranukertawijaya singgah dan akhirnya dimakamkan. Panggung wangi ini la yang nantinya berkembang menjadi Dukuh Tengah karena merupakan letaknya di tengah dan kelilingi oleh hutan.

Karena di Panggungwangi ini terdapat banyak telaga maka suatu saat kemudian desa ini dikenal dengan nama Tlaga. Sedangkan untuk menenangkan diri dan semadi mendekatkan diri kepada Sang Hyang Tunggal, Eyang Ranukertawijaya menyepi di sebuah tempat yang kelak dikenal dengan Candi Banyumudal. Tempat inipun sampai sekarang masih terjaga dengan baik.

Di tempat yang masih merupakan dukuh Tlaga, ritual Sura berupa penyembelihan kerbau dilaksanakan. Dulu Dukuh Tlaga merupakan pemukiman penduduk. Namun karena bencana longsor tahun 1985 terjadi, Dukuh Tlaga ini dikosongkan. Relokasi penduduk Telagapun dilakukan ke tempat yang lebih aman. Menurut cerita terjadinya longsor tersebut karena manusia telah melupakan ajaran dan ritual-ritual lama seperti ritual sedekah bumi dan sudah melupakan leluhur Tlaga.

Sejak peristiwa longsor itulah penduduk mulai menggiatkan kembali ritus-ritus lama yang telah mereka tinggalkan. Sedekah bumi setiap bulan Apit atau Dulkongidah mulai digiatkan kembali. Hewan kurban disembelih sebagai penghormatan dan rasa terima kasih kepada ibu bumi yang telah memberi penghidupan kepada mereka. Selain bulan Apit, peringatan surapun masih dilakukan. Kesenian wajib ronggeng atau lengger ditampilkan karena kesenian lengger ini erat kaitannya dengan masa lalu desa Tlaga.

Lengger Jadi Kesenian Wajib

Menurut cerita kesenian lengger ini merupakan kesenian wajib yang harus dipentaskan dalam peringatan apapun. Sedangkan kesenian yang lain menjadi sebuah sunah. Menurut kepala Desa Amin Ismaraton atau yang disebut oleh masyarakat setempat lurah menceritakan bahwa kesenian lengger ini pertama kali dibawa ke Tlaga oleh Eyang Ajeng. Eyang Ajeng adalah adik dari Eyang Ranukertawijaya yang menjadi penari lengger pertama di Desa Tlaga. Eyang Ajeng menyusul, selepas Eyang Rebo pergi dari Selogiri. Sementara kedua teman Eyang Rebo pindah ke Karangdelima (Sekarang wilayah desa Petahunan, Pekuncen).

Sebagai lengger, Eyang Ajeng sangat terkenal di mana-mana. Bahkan ia sering ditanggap di daerah Pegadungan, Sunda. Bahkan ada cerita selepas ditanggap, Eyang Ajeng diberikan hadiah oleh seseorang berupa pakaian harimau. Sehingga konon ceritanya ketika Eyang Ajeng mengenakan pakaian tersebut Eyang Ajeng bisa langsung berubah wujud menjadi harimau. Orang setempat menyebut bahwa yang memberi pakaian harimau tersebut bukanlah lurah bangsa manusia, melainkan bangsa “mejajaran” makhluk serupa manusia tapi bukan manusia. Menurut kepercayaan masyarakat setempat mejajaran merupakan makhluk serupa manusia tapi tidak mempunyai tungkai kaki dan lekuk dibawah hidung serupa manusia. Sampai sekarangpun konon bekas tapak kaki merekapun sering masihkelihatan di hutan-hutan setempat.

Terlepas dari semua mitologi tersebut, kenyataannya sampai sekarang di Tlaga masih eksis berbagai seni budaya lokal setempat. Untuk lengger sendiri, telah turun temurun merupakan warisan dari keluarga. Eksisnya lengger tersebut dimungkinkan juga tidak lepas dari cerita lengger pertama di Tlaga alias Eyang Ajeng. Bahkan sampai sekarangpun Lengger Tlaga sering ditanggap oleh orang Cilacap, dan Brebes. Dalam slametan suran, pentas lengger adalah hal yang wajib. Kewajiban ini sebagai penghormatan dan darma bakti kepada Eyang Ranukertawijaya dan Eyang Ajeng. Dari cerita-cerita tersebut dapat diambil asumsi bahwa cerita mitologi yang berkembang di masyarakat sangat mempengaruhi eksisnya budaya di masyarakat.

Kepercayaan terhadap laknat dan prahara karena melupakan sesuatu yang gaib di luar dirinya merupakan sarana kendali masyarakat yang gaib dan sakral itulah yang membuat kelestarian dan keaslian budaya dan tradisi setempat tetap terjaga. Adanya mitologi Eyang Ajeng sebagai leluhur para lengger di Desa Tlaga semakin mengokohkan posisi lengger di masyarakat. Sebagai masyarakat agraris, masyarakat Tlaga juga tidak bisa lepas kesenian bentha-benthi atau rinding. Rinding merupakan upacara dalam rangka meminta hujan. Sampai saat inipun ketika kemarau berlangsung lama, seni bentha-benthi alias rinding dipentaskan.

Penyembelihan kerbau di awal Sura juga merupakan tradisi yang telah turun-temurun dilaksanakan oleh Desa Tlaga. Penanaman kepala kerbau dan tulang-belulangnya ini tidak hanya semata ritual semata, semua ritual yang dilaksanakan tersebut erat kaitannya dengan makna lewat simbol yang dibawanya. Penanaman Kepala kerbau dimaksudkan sebagai simbol penguburan sifat nafsu serakah manusia sedalam-dalamnya agar akal dan nurani manusia tetap terjaga, tidak seperti kerbau yang semaunya sendiri menggunakan tanduknya tanpa menggunakan otak di kepalanya. Sedangkan pada upacara sedekah laut, sifat serakah nafsu itu dibuang sejauh-jauhnya lewat kepala kerbau yang dihanyutkan ke laut. Tulang belulang yang dikubur juga menasehati manusia agar tidak suka “rebut balung tanpa isi” atau berebut tulang tanpa isi. Masih banyak hal yang baik untuk dimanfaatkan di dunia.

Yang menarik prosesi Suran yang dilaksanakan di Tlaga ini mengambil hari Jum’at Kliwon dan lokasinya berdampingan dengan masjid. Dari sini Kepala Desa Tlaga menjelaskan bahwa hal itu sengaja dilakukan dalam rangka mendekatkan masyarakat dengan tempat dan waktu ibadat. Secara tidak langsung, dengan Suran ini dimaksudkan untuk mendekatkan masyarakat dengan Islam. Suatu bentuk pendekatan budaya dengan mengakomodasi berbagai kesenian yang ada di masyarakat. Sebuah strategi islamisasi yang apik, lewati strategi budaya.

Agama sebagai pil pahit obat permasalahan manusia memang tidaklah langsung dapat ditelan manusia. Dengan bingkai seni budaya lewat simbolisasi bentuk pentas, syair, bahasa, tembang dan ritual Suran diharapkan agama dapat disisipkan sehingga dapat masuk ke dalam tubuh manusia. Namun yang disayangkan seringkali orang tua karena keterbatasan pengetahuannya belum dapat maksud simbolisasi dan maksud ritus-ritus Jawa yang dijalankan sejak dulu. Sehingga lebih banyak orang Jawa seringkali bertindak secara tradisional, atau atas dasar kebiasaan, bukan kesadaran. Padahal kesadaran atau nalar logis merupakan salah satu pangkal pondasi keyakinan dan kepercayaan beragama.

Menjalankan ritus budaya secara sadar berarti mengerti maksud dan hakikat sebuah ritus dilaksanakan. Dengan mengerti hakikat tujuan dari simbolisasi dari berbagai ritus, manusia akan semakin bijaksana memandang terhadap sesuatu hal. Tidak seharusnya semua dipandang dengan pola oposisi binner. Manusia tidak akan serta merta menganggap ritus suran itu bertentangan dengan syariat Islam. Ritus suran justru dapat diartikan sebagai upaya untuk senantiasa menyelaraskan dan mengharmonisasikan hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan semesta dengan bertumpu pada satu tujuan yaitu Tuhan Sang Hyang Tunggal.

19 desember 2009, 00.20 wib

Sebagian teks pernah dimuat di rubrik Kloyong,
Suara Banyumas-Suara Merdeka 12 November 2010

BAYI

Lima tahun aku tak ke kotamu, banyak yang hilang. Hanya kenangan dan cerita-ceritamu yang selalu kau kutip dari seorang novelis kondang yang berasal dari kotamu. Aku masih ingat ketika engkau tertawa sendiri seusai mengulang cerita-ceritamu. Cerita seorang suami yang memenuhi keinginan istrinya yang sedang ngidam makan buah kedondong di malam hari.

"Masa karena ia tak bisa memanjat pohonnya, terpaksa ia harus menebang langsung pohon kedondong itu di malam hari lagi. Pantas saja tetangganya pada heboh datang mendengar robohnya pohon kedondong kecil itu" katamu sambil tertawa kecil. Aku yang mendengar ceritamu berulang kali itu terpaksa tersenyum. Padahal hal itu bagiku tak lucu karena aku juga termasuk orang yang tak pandai memanjat pohon.

Waktu itu kita masih sering duduk bersama di sebuah gazebo dalam kampus. Di gazebo itulah aku pertama kali mengenalmu. Ketika itu kita sama-sama mahasiswa baru. Akupun tahu bahwa dengan kecantikanmu seorang mahasiswa angkatan kita suka sama kamu. Tapi waktu itu akupun tak peduli dan kaupun tak mempedulikannya. Akhirnya kita sering bertemu di gazebo itu, tak pernah kulupakan ketika dirimu terus saja membawa novel-novel kesukaanmu. Guguran daun-daun pohon belimbing dekat gazebo itu ternyata pelan-pelan menumbuhkan rasa cinta diantara kita. Semakin daun belimbing itu berguguran semakin tumbuh pula itu benih-benih cinta diantara kita.

Mulanya kaupinjamkan novel-novel kecil dari pengarang asal kotamu. Aku yang tak suka membaca novel pada mulanya menolak. Beberapa hari kubiarkan novel-novel itu di meja kamar kosku. Kubiarkan tergeletak, namun akhirnya mulai kubaca. Darimulah kukenal tokoh seorang ronggeng dari sebuah dukuh di pedesaan yang jadi korban tragedi sejarah bangsa ini. Ataupun juga kukenal seorang tokoh pemuda desa yang akhirnya menjadi tentara.

"Dengan membaca novel, aku ingin kau tahu bagaimana kondisi bangsa ini. Aku ingin kau tahu keadaan bangsa ini dulu sampai sekarang" begitu katamu ketika kuselesaikan bacaan novel-novel pemberianmu waktu itu. Bahkan semakin sering ku mendengar kata-katamu semacam itu. Kata-kata agitasi, propaganda, provokasi, demokrasi, hegemoni dan semacamnya. Kutahu bahwa kau termasuk perempuan aktivis di kampus itu. Dan aku hanya seorang perenung dan pendengar ceritamu dan ceramahmu. Tapi entah kenapa engkau mau menerimaku menjadi salah satu bagian hidupmu waktu itu.

"Aku ingin ada yang bisa mendengarku. Dan kaulah yang kuanggap paling bisa mendengarku" katamu singkat. Setelah itu kau teruskan lagi tentang cerita tentang sejarah bangsa ini, tentang kemanusiaan di sekitar kita. Ah...bagiku itu dulu membuatku pusing. Bagiku sederhana saja, selesaikan dulu tugas kampus. Penuhi jadwal kuliah dosen ataupun yang lainnya. Yang penting kita bisa lulus cepat, cepat kerja, cepat dapat duit dan seterusnya. Itu kataku yang selalu membuatmu menentangnya. Namun ternyata semakin kau menentang prinsip pragmatisku, semakin aku menyukaimu. Aku mencintai gadis cerdas sepertimu. Mahasiswi aktifis. Aneh memang.

Lima tahun berlalu akhirnya aku bersamamu dapat lulus. Aku lulus dengan nilai sangat memuaskan sementara kau lulus dengan nilai pas-pasan. Berbeda dengan teman-teman perempuanmu yang rajin di kampus. Akhirnya kuperkenalkan kau dengan kedua orang tuaku. Seperti kutahu, karaktermu yang kuatpun terlihat oleh orang tuaku. Akhirnya kutegaskan pada orang tuaku bahwa kau adalah calon bagi ibu dari anak-anakku. Sementara orang tuamu yang datang waktu itu adalah hanya ayahmu. Memang ibumu telah meninggal sejak kau kelas lima sekolah dasar. Kutahu didikan ayahmulah yang membuatmu begitu keras sebagai seorang perempuan.

Akhirnya kaupun menjadi istriku. Malam pertama kita jalani dengan mesra. Di malam pertamapun kau ceritakan kisah dua orang desa yang hidup bahagia di tengah kesederhanaannya. Malam pertama, bulan pertama hingga akhirnya tahun pertama pernikahan pertama kita masih begitu mesra. Namun sampai tahun kelima pernikahan, belum ada tanda-tanda kalau kau akan menjadi ibu dari anak-anakku. Entah kenapa? Keluargakupun semakin menginginkanku ingin segera punya anak. Namun tak kunjung kesampaian. Katamu kita harus kembangkan karir kita dulu. Emansipasi wanita, menunda kehamilan itu boleh saja. Dan akupun tak dapat menolakmu.

"Lebih baik kau menikah lagi saja. Kau terlalu kalah dengan isterimu" kata ibuku suatu hari yang tak sengaja kau dengar lewat celah pintu kamar kita yang terbuka. Sejak pagi itulah kau tak lagi nampak di rumahku itu. Padahal secara status kau masih isteriku. Kau hanya meninggalkan sepucuk surat di atas bantal kamar kita. Katamu, kau mau pulang ke kotamu sebentar saja untuk menenangkan diri. Akupun tahu, sekeras apapun sifat dan watakmu. Kau tetap saja seorang wanita dengan segala kewanitaanmu.

Lima tahun berlalu sejak kepergianmu ke kotamu. Ke kota orang tuamu, ke kota tempat pengarang kesukaaanmu. Namun tak kutemukan sosokmu seperti sosokmu yang seperti dulu. Sosok perempuan yang tegas lagi cerdas. Seperti penilaian ku dan penilaian semua orang ketika bertemu. Siapapun tak meragukan itu walaupun indeks prestasimu tak memuaskan. Tapi aku tak mempedulikan itu, karena aku menikah bukan karena indeks prestasimu. Selepas sehari kau pulang kabur dari rumah kita. Aku menyusulmu ke kota itu, itu lima tahun yang lalu.

Lima tahun lalu aku sampai di stasiun kotamu. Kubergegas menuju ke alamat rumahmu yang lama. Tapi ternyata kau tak ada. Karena memang ayahmu juga telah meninggal beberapa tahun lalu sebelumnya. Kutanya kepada tetanggamu yang rumahnya berada di samping dekat rumahnya. Katanya sampai dua hari itu kau tak datang ke rumahnya. Kutelusu ri sudut-sudut kotamu untuk mencarimu tapi tak kunjung kutemukanmu.

Di ujung kelelahanku di teras rumah Tuhan, aku menemukanmu. Pagi itu berkat jasa seorang anak kecil ingusan itu akhirnya kumenemukanmu. Kutemukan namamu di sejumlah surat kabar kotamu. Jadi headline pula. Rupanya dengan namamu koran pagi itu begitu laris. Siapa yang tak kenal namamu, seorang aktivis pejuang hak-hak perempuan. Mantan mahasiswa aktivis perempuan yang lantang berteriak di jajaran paling depan ketika mendemo seorang oknum dosen yang melakukan pencabulan atas mahasiswinya. Aku masih ingat itu. Dulupun di bagian depan pula kau menjadi headline koran kotamu. Pembela perempuan nomor satu, aktivis pembela perempuan.

Pagi itupun, di ujung kelelahan dalam pencarianmu. Kutemukan lagi namamu dengan jelas di bagian depan koran itu. Jadi headline koran kotamu. Terpampang jelas judul harian lokal itu. '"Mantan Aktivis Pembela Perempuan Diperkosa Lima Orang di Stasiun" . Lalu kulihat lagi gambar lima lelaki bajingan yang merampas kehormatanmu. Saat itulah itulah aku lemas dan berteriak di depan rumah Tuhan itu. Kusobek koran itu, dan kuberjalan tak tentu arah. Setiap kuberjalan kuterus merebut setiap orang yang sedang membaca koran. Aku selalu mendengar jelas judul headline koran yang secara langsung menyebut namamu. Aku tak terima semua itu. Hal itupun aku lakukan setiap hari. Setiap hari dan setiap hari aku selalu benci melihat orang yang baca koran.

Aku akhirnya berkeliling terus di kotamu terus menerus tanpa lelah walaupun kelelahan pencarianmu telah berujung. Akupun menjadi malas mandi, malas berhias, malas berkeramas dan malas berpakaian. Dan terlebih lagi akupun menjadi sangat malas aku datang ke rumah Tuhan. Karena setiap aku mau duduk di teras rumah itu, setiap itu pula aku teringat melihat seorang anak ingusan penjual koran itu. Penjual koran yang membiarkanku menemukanmu lewat headline koran yang sangat menyakitkanku.

Setiap aku melihat koran maka aku ingin semakin merobeknya. Terlebih lagi dan paling menjengkelkan ketika aku melihat ada anak kecil sedang membawa koran dan menawariku untuk membacanya. Akupun akan semakin beringas untuk mengejarnya. Kemudian yang kudapatkan adalah cacian, hinaan dan bahkan lemparan batu dari orang-orang dewasa yang melihatku. Sampai akhirnya aku dibawa oleh mobil putih menuju suatu tempat dimana aku nantinya dikerangkeng dan dibiarkan bebas di suatu tempat.

Saat aku dibawa oleh dua orang berbadan kekar aku terus berteriak. "Aku bukan orang gila" yah empat kata itu berulang kali dan terus menerus kuteriakan sambil kumeronta dengan sejadi-jadinya. "Mana ada orang gila mengaku dirinya gila" kata seorang kekar itu sekali saja sambil tertawa terkekeh. Namun kuterus berteriak dan berteriak. Namun akhirnya akupun tak lagi bisa berteriak ketika sebuah jarum suntik ditusukkan di bokongku.

Setelah sadar aku telah berada di ruangan yang sempit. Kedua tangan dan kakiku telah diikat sekuat-kuatnya. Dan akupun kembali teriak memanggil namamu sekuat-kuatnya. Namun kaupun tak muncul. Yang muncul hanya seorang wanita berpakaian putih dengan kopiah putih di kepalanya. Dan kembali aku disuntik sampai aku merasa lemas. Lemas sekali. "Bangsat" kataku sampai akupun lelap. Entahlah aku sampai berapa lama aku di ruangan sempit itu. Diikat di atas ranjang dan disuntik setiap kali aku berteriak. Aku tak sempat bisa menghitung hari, karena memang di ruangan itu aku tak tahu lagi ada matahari atau tidak di luar sana.

Tiap hari di kamar sebelahku ternyata banyak lagi orang berteriak seperti aku. Tiap hari betambah orang yang suka berteriak. Sampai akhirnya datang ke kamarku orang yang berteriak-teriak juga. Akupun akhirnya di keluarkan dari kamar sempit itu. Menuju ke luar kamar ternyata malah terlihat semakin banyak orang yang berteriak-teriak seperti aku dulu. Bahkan mata-mata mereka cukup garang melotot tapi tak jarang dari mereka tertawa sendiri setelahnya. Dan akupun akhirnya mengikuti kebiasaan mereka. Berteriak dan berteriak sampai aku tertidur pulas di manapun aku berada.

Entahlah sampai berapa aku melihat bulan berganti matahari di lapangan itu. Sampai akhirnya suatu hari, aku melihatmu berteriak-teriak pula. Ternyata kaupun suka berteriak-teriak pula. Kaupun sepertiku tidur terlentang dengan tangan kaki diikat dalam sebuah ranjang berjalan didorong oleh dua orang berbaju putih. Aku mengejarmu namun aku dihalang-halangi oleh orang membawa pentugan dan bertopi hitam. Setelah berapa lama akupun menunggumu dari kamar kau beteriak-teriak.

Suatu hari akhirnya kaupun keluar. Kita akhirnya betemu. Saat bertemupun kau dan aku berpelukan. Menangis sesenggukan. Namun setelah itupun kita akhirnya tertawa bersama-sama. Berteriak sekeras-kerasnya. Mereka yang melihat kita awalnya diam. Namun akhirnya orang seisi tempat bertembok tinggi itu akhirnya ikut tertawa sekerasnya pula. Akhirnya seperti dulu, di tempat itu kita duduk bersama seperti di kampus dulu. Duduk di gazebo kampus dekat pohon belimbing. Kaupun mengulang-ulang terus cerita seorang suami yang menebang pohon kedondong untuk memenuhi keinginan isterinya yang sedang ngidam. Dan kaupun terlihat puas sambil mengelus-elus perutmu yang semakin hari semakin membesar.

Setiap kau bercerita itu, kau berperan sebagai si isteri dan aku sebagai suaminya. Kau memegang perutmu yang benar-benar besar dan akupun mencari golok dimanapun. Setelah kudapat, akhirnya kutebang setiap pohon yang kuanggap sebagai pohon kedondong. Setelah itu pohon itu tumbang kita pun bersama tertawa dan tertawa. Setiap hari kita lakukan itu, sampai akhirnya setelah pepohonan di tempat itu tumbang karenaku akupun berusaha untuk mencari pohon-pohon yang lain. Aku mencoba menaiki tembok keliling yang tinggi untuk mencari pohon yang kutebang untukmu. Beberapa kali aku bisa menebangnya. Tapi setiap aku menebang setiap kali itu pula aku dikerangkeng lagi. Sampai akhirnya aku kembali dikurung di tempat sempit seperti dulu. Yang terakhir aku hanya melihatmu berteriak di kamar sebelahku. Dan mendengar suara tangis seorang bayi. Seperti biasanya akupun beteriak dan berteriak untuk bisa menemuimu. Dan akupun akhirnya tak bisa menemuimu. Padahal aku ingin sekali melihat bayi seorang mantan aktivis wanita. Setiap kali kuberteriak aku disuntik. Dan suatu hari aku disuntik lagi oleh orang berbaju putih sampai aku tak berteriak lagi. Untuk selamanya.

Pekuncen, 27 Maret 2010

Ahmad Tohari : "GusDur Sare Ning Lemah" Mengambil Pelajaran Dari Perilaku Gus Dur


Susanto-Karanglewas

100 Hari lebih Abdurahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur meninggalkan kita semua. Namun pembicaraan, cerita, kenangan tentangnya masih hangat terdengar di telinga kita. Berbagai buku yang mengulas tentang keseharian, sikap dan pemikiran Mantan Presiden RI ke-4 ini bertebaran mengisi rak-rak buku di toko-toko buku. Semasa hidup tokoh yang pernah menjadi pucuk pimpinan organisasi Islam terbesar di Indonesia ini, sikap, pemikiran dan tindakannya selalu mengundang pro dan kontra berbagai pihak. Setelah wafatnyapun jasa-jasanya masih dikenang, sampai-sampai gelar pahlawanpun mencoba diusulkan oleh berbagai pihak kepada pemerintah. Sepeninggal GusDur, orang-orang yang semasa hidupnya dekat dengan cucu Hadrotusyaikh Hasyim As'ari ini selalu diundang di berbagai diskusi, refleksi, do'a bersama mengenang Gus Dur. Sahabat dekat Gus Dur yang juga budayawan asal Banyumas salah satunya adalah Ahmad Tohari.

Memperingati 100 hari GusDur di Balai Desa Jipang Kecamatan Karanglewas yang dihadiri oleh ribuan jam'iyah Nahdlatul Ulama beberapa waktu lalu, Ahmad Tohari menceritakan sekelumit perngalamannya sewaktu dengan Gus Dur. Pengalaman Kang Tohari begitu ia lebih senang disapa berawal ketika ia menjadi salah satu redaktur di salah satu majalah di Jakarta yaitu sekitar tahun 1981 silam. Ketika itu GusDur masih duduk di pucuk pimpinan di struktural PBNU pusat.

Pengalaman pengarang Novel Ronggeng Dukuh Paruk ketika berhubungan dengan Gus Dur antara lain ketika suatu hari Gus Dur yang singgah menginap di rumahnya. Sewaktu menginap itulah berbagai perilaku Gus Dur yang waktu itu menjadi pembesar NU dan orang yang ditakuti oleh Orde Baru menjadi pelajaran bagi Ahmad Tohari dan keluarganya. Memang banyak yang tidak bisa diterka dari perilaku GusDur ketika menginap di rumah Ahmad Tohari.

"Saya masih ingat kata para Kyai, kalau "polah tingkahe wong sing sugih ilmu kuwe dadi pelajaran". Yah itulah ketika Gus Dur menginap di rumah saya. Waktu itu sudah saya sediakan kamar yang terbaik untuk Gus Dur. Ee....ternyata Gus Dur malah meminta saya karpet dan ternyata "GusDur sare ning lemah" hanya berlandaskan karpet waktu itu. Padahal siapapun tahu kalau waktu itu GusDur dengan pengaruhnya adalah orang yang ditakuti oleh Orde Baru waktu itu" cerita Ahmad Tohari menjelaskan.

Pelajaran spiritual dan sosiologis yang dapat ditarik dari GusDur yang tidur di tanah hanya berlandaskan karpet lanjut Ahmad Tohari ialah "dadi wong kuwe aja merasa diri mulia di hadapan orang lain". Ketika seseorang sudah merasa mulia dibandingkan dengan orang lain maka yang terjadi ialah seseorang tersebut akan menjadi susah untuk bersilaturahmi atau membangun hubungan baik bagi sesamanya. Sikap humanisme dan egalitarian yang dicontohkan Gus Dur inilah yang memudahkan putra Wahid Hasyim ini dapat menjalin hubungan dengan berbagai kalangan tanpa memdedakan SARA.

"GusDur tidur di karpet itu saya tafsirkan kalau Gus Dur itu konsisten dengan Syahadatnya. Analoginya yaitu ketika Umar Bin Khotob yang sewaktu menjadi amirul mukminin waktu itu rela berkeliling memanggul gandum untuk diberikan kepada janda yang sedang kelaparan. Yang sering tidak kita tanyakan adalah landasan moral kenapa Umar yang seorang amirul mukminin rela berbuat seperti itu. Dari situ kita bisa mengambil pelajaran bahwa Umar yang seorang amirul mukminin tidak merasa lebih mulia dibandingkan dengan si janda yang keluarganya kelaparan tersebut. Sikap Gus Dur yang tidak merasa mulia di hadapan siapapun tersebut memang patut ditiru. Jika orang sudah merasa dirinya mulia di hadapan orang lain itu sudah mulai menjadi penyakit yang mengotori Syahadatnya" jelas Kang Tohari mulai menguraikan tafsir-tafsirnya terhadap perilaku Gus Dur.

Ahmad Tohari menekankan bahwa sikap merasa penting dan mulia di hadapan orang lain memang bisa membatasi seseorang untuk bisa menjalin relasi dan komunikasi dengan orang lain. Sikap merasa penting di hadapan orang lain mengakibatkan silaturahmi seseorang menjadi terganggu dan sangat membahayakan bagi syahadat yang telah diikrarkan oleh setiap muslim. Padahal syahadat memang bukan hanya diikrarkan lewat lisan dan diyakini dengan hati. Namun syahadat memang juga harus diimplementasikan lewat perilaku sehari-hari. Tindakan Gus Dur yang tidur seadanya di atas karpet juga menunjukkan kalau GusDur juga tidak mementingkan kepentingannya diri sendiri. Gus Dur bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi dimanapun dan kapanpun.

Kekonsistenan GusDur dalam menjaga dan mengimplentasikan syahadat dalam kehidupan sehari-hari merupakan bukti Gus Dur menunjukan Islam sebagai agama yang diturunkan sebagai penyempurna akhlak di dunia. Dengan merangkul berbagai kalangan tanpa memperhatikan suku agama ras dan antar golongan Gus Dur menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Selain tidak merasa dirinya mulia di hadapan orang lain Ahmad Tohari juga menekankan bahwa Gus Dur juga tidak merasa dirinya di hadapan orang lain. Hal ni dibuktikan dengan sikapnya yang berani berhubungan, mengkritik, memberi masukan dengan siapapun 'tanpa tedheng aling-aling'. Tidak mengherankan bahwa jika dalam sikap hidupnya selain mengundang pro dari salah satu kalangan, juga tidak jarang dapat mengundang kontra dari berbagai pihak dari orang lain. Sebagai contoh sikap GusDur yang menjalin kerjasama dengan negara Yahudi Israel yang notabene selama ini menjadi musuh 'umat Islam'. Waktu itu ia menghadiri konferensi agama-agama se dunia.
Ahmad Toharipun merasa prihatin kalau sekarang ini jarang pemimpin yang mewarisi sikap-sikap Gus Dur dalam kepemimpinannya. Iapun berharap kalau generasi-generasi sekarang dapat kembali sikap-sikap GusDur. Terlepas dari kelebihannya, sebagai manusia GusDur juga tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan. Sebagai pemimpin Gus Dur patut ditiru lewat sikapnya yang santun dan sederhana dalam menanggapi segala persoalan yang dihadapi bangsanya. Walaupun terkadang sikap dan pemikirannya memang sulit ditafsirkan namun ternyata secara empiris ternyata banyak sikap dan pernyataan Gus Dur yang terjadi dan terbukti kebenarannya.

"GusDur rawuh Senen sore terus kondur Rebo. Dan yang menjadi perhatian saya ialah sewaktu berangkat sampai pulang Gus Dur tetap memakai baju yang sama. Baju lengan batik yang sama. Ini menunjukkan Gus Dur sikap hidup yang sederhana" cerita Ahmad Tohari menuturkan. Waktu itupun GusDur yang notabene berada di pucuk pimpinan PBNU pusat ia hanya menggunakan mobil Espas. Berbeda dengan fenomena sekarang, di mana banyak kyai-kyai yang menggunakan mobil mewah. Berbeda dengan pemimipin-pemimpin sekarang, Gus Dur memang risih dengan hal-hal yang berbau mewah. Seperti terlihat di Muktamar NU beberapa waktu banyak sekali mobil mewah yang dipergunakan oleh para pemimpin-pemimpin agama dan negara. Sementara di sisi lain, madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah di desa kondisinya banyak yang rusak dan memprihatinkan.*

Tiga Kata dengan Tiga Titik di Belakangnya

pada 11 Oktober 2010 jam 20:16

Nit nit..nit nit...ponselku berbunyi dengan getar mengirinya. Sambil mengucek mata, kubuka tanda bintang untuk bisa membaca pesan singkat yang meluncur itu. 'Shlt mlm Mz...tiga kata dengan tiga titik di belakangnya. Di bawah pesan itu kulihat jelas sederet nomor ponsel. Entahlah, kenapa aku harus tak menuliskan namanya. Itu rahasiaku dengan diriku sendiri, tak terkecuali dengan dia yang tak kusebut namanya. Sang waktupun baru menunjukkan pukul 03.04 WIB.

Membaca pesan singkat itu, entah kenapa seperti ada semangat yang membangunkanku. Tiga kata itu seolah menjadi pelecut bagi kemalasanku selama ini. Entah nanti. Mendapatkan pesan singkat itu, aku langsung kembali ke masa setahun yang lalu. Tiap lima waktu ada saja pesan singkat yang dikirimkan oleh seseorang untukku. Mengingatkanku untuk bangun di subuh hari. Bedanya, pengirim pesan itu sudah jelas kutuliskan namanya. Namun itu sudah setahun yang lalu, bahkan sudah menjadi masa lalu. Dan kini aku mengalaminya lagi.

Kokok ayam terus saja berbunyi. Beranjak dari kursi panjang tempat tidurku, akupun membalas pesan itu. Spontan kutulis 'ya wis kita sholat bareng aja, ta' imami dari sini" balasku singkat. Aku dan dia di tempat berbeda, 15 KM jarak yang memisahkan kami. Usai bangun aku seperti kembali kembali ke masa lalu, kembali mengambil air suci di tengah dinginnya dini hari. Tak ada beban sepertinya, seperti ada yang tengah memperhatikanku. Tapi pikirku bukanlah Rakib Atid di kanan kiri pundakku. Entahlah apa yang menyebabkan aku mau menyentuh air dini hari tadi.

Sarung, kemeja, peci telah rapi melekat di badanku. Akupun kembali menjalankan ritual sebagaimana di masa lalu aku pernah melaksanakannya. Telah lama ku tak menyentuh sajadah itu. Padahal sudah sering terlihat terhampar seperti menanti sujudku. Tapi dengan berbagai alasan dan kemalasan nanti sering aku melewatkannya. Tapi tidak untuk saat ini usai pesan singkat tiga kata dengan tiga titik di belakangnya itu muncul.

Kusadari bahwa memang bukan karena pesan itu. Mungkin inilah keajaiban Tuhan atau kebenaran Tuhan. Antara khauf dan roja' kepada sesama makhluk, manusia malah lebih tunduk kepada sesamanya. Pesan singkat itu kupandang sebagai mediasi Sang Pencipta Cinta mengantarkan simpul-simpul kepada hambaNya. Naluri lelaki yang mempunyai cemas dan harap kepada perempuan ataupun sebaliknya mungkin sengaja diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.

Di sepertiga malam terakhir itu, aku coba kembali merenungi diri sebagai salah satu makhluk kerdil di tengah hamparan bumi yang luas ini. Kubayangkan di tengah sepi, aku duduk di tengah hampaan langit hitam dengan kerlip bintang i atas sana. Rasa ini sudah lama tak kurasakan. Semua hampir habis dengan lahapan-lahapan dunia yang tiada pasti isinya. Fuuuuuh..ku hela nafas panjang usai memanjatkan do'a. Kubaca doa demi doa, yang menjadi rahasiaku kepadaNya. Tiap doa adalah proposal yang akan berlomba dengan proposal lain untuk mendapatkan ACC sang pengabul doa. Terlintas, di benakku begitu dahsyat efek tiga kata dengan tiga titik di belakangnya itu membuat aku tersungkur bersujud ke dalam sajadah yang tiap kali digunakan sujud ibuku.

Akupun harus jujur pada diriku sendiri, entah benar atau tidak. Rupanya telah terjadi sesuatu antara aku dengan pengirim pesan singkat itu. Entah rasa ataupun apa. Bagiku ini adalah anugrah yang tak bisa ditawar-tawar apalagi dibuang. Terlepas dari semuanya, aku hanya ingin jujur pada diriku dan pemilik sederet nomor dan sengaja tak kutulis namanya bahwa ada rasa yang berbeda dengan rasa yang sebelumnya. Naif memang sepertinya, tapi ini nyata.

Corong-corong masjid itu berlomba menyuarakan panggilan subuh. Akupun akhirnya mengetik pesan balasan singkat untuk sederet nomor itu. Mendeskripsikan perasaan ataupun mungkin penafsiran perasaan bahkan ketergesaan dengan sepotong pesan singkat. Aku sadar ketika kukirim pesan itu berbagai konsekuwensi akan menunggu di belakangnya. Tapi subuh hari telah tiba, dan kita harus menjalankan rutinitas seperti semula. Tinggal waktu nanti yang menentukan kelanjutan kisah itu seperti apa. Waktulah yang akan menunjukkan apa ada kelanjutan tiga kata dengan tiga titik di belakang berikutnya atau tidak...

Tapi tak kupungkiri akhir-akhir ini aku tengah butuh tiga kata dengan tiga titik di belakangnya. Karena tiga kata dengan tiga titik di belakangnya bukanlah sekedar kata semata..tapi ada serentetan kisah panjang yang bisa saja tengah mungkin menguntit di belakangnya..atau penilaianku salah tiga kata dengan tiga titik di belakangnya itu hanya sebuah pesan singkat dan hanya terluncur sekali saja di dini hari buta ketika seorang pemalas tak sengaja bangun dari tidurnya..entahlah......

11 Oktober 2010 07.30

tulisan ini untuk pengirim pesan singkat tiga kata dengan tiga titik di belakangnya

dan untuk teman-temanku yang tngah menderita Penyakit gila no.20 karena Cinta...


16 Oktober 2010

Tergop0h-gopoh aku mengirim berita untuk harian lokal tempat setahun lebih aku bekerja. sampai dengan jam 9 aku mendekam di bilik warnet untuk mencari sebuah foto...entah karena apa, ada untuk membuat sebuah sketsa tentang wajah seorang setahun sudah tak ada perasaan apa-apa hingga menjadi ada apa-apa...

Dimulai dari pukul 21.00 hingga 00.01 akhirnya kusudahi pula proses menuangkan serbuk-serbuk pensil 2B yang telah lama tak kujamah. Beruntung beberapa saat lalu telah kubeli satu rim kertas kwarto untuk lamaran dan portofolio untuk lamaran itu. Akhirnya jam 1 kuputuskan untuk merebahkan tubuh, menelan gundah, memaksa sudah...

17 Oktober 2010

Pagi, aku kembali dipusingkan memilih bingkai untuk goresan tiga jam semalam. bersama rekan seprofesi aku mencoba mencari bingkai untuk itu, kuselipkan kertas setengah halaman itu di sebuah buku novel itu. Kucari-cari dengan segala keterbatasan waktu dan deadline waktu untuk liputan akhirnya dapat juga sebuah bingkai selebar setengah buku besar, tepatnya sebesar buku novel. Dibungkuskan oleh pelayan, tepatnya pramuniaga. Kni gambarmu ada di bingkai itu.

Siang itu ku bungkus gambar beserta novel itu dengan koran saja. Sederhana saja, karena aku ingin mencintaimu dengan sderhana (meminjam puisi SPA), seperti kata yang tak bisa disampaikan olehku kepadamu.setidaknya dengan sebuah goresan tiga jam apapun hasilnya itu...

sebentar saja aku ke rumahmu dan menyerahkan itu....