Tlaga, sebuah desa jauh dari kota Purwokerto. Dengan relief tanah pegunungan namun mempunyai peradaban sendiri. Peradaban tradisi yang masih menjunjung tinggi sikap gotong royong. Bermacam budaya asli rakyat masih tumbuh subur di sana. Berbagai kelompok seni tetap ada di sebuah desa yang sebagian besar penduduknya berpencaharian sebagai penderes getah pinus. Dari 784 hektar luas desa hampir separuh lebih (412 hektar) yang merupakan wilayah kehutanan menjadi berkat kehidupan mereka.
Berbeda dengan desa-desa yang lain, Tlaga masih memiliki aneka rupa kesenian rakyat yang eksis. Kesenian tertua yang hidup di Tlaga adalah lengger. Kesenian lengger yang di masa lalu sangat erat kaitannya dengan ritus penghormatan upacara kesuburan tanah ini masih berkembang. Selain lengger atau ronggeng terdapat pula kesenian sintren, ebeg, krindhil, bentha-benthi, rindhing dan thek-thek. Semua masih eksi s tanpa kecuali.
Terlebih di bulan Sura menurut tahun Jawa dan Muharam menurut tahun Hijriyah, Keramaian akan dijumpai di desa Tlaga. Ritual Suran bagi mereka seperti telah menjadi kewajiban bagi mereka. Gotong royong untuk menyelenggarakan terlihat secara apik di anatara mereka. Bagi mereka Suran bukan hanya peringatan terhadap tahun baru Jawa atau Islam. Suran adalah sarana penghormatan dan sarana unjuk bakti kepada leluhur Tlaga.
Mereka percaya bahwa leluhur Tlaga yaitu Eyang Rebo atau Ranukertawijaya adalah leluhur desa Tlaga. Ialah orang pertama yang membuka hutan menjadi desa Tlaga. Keyakinan penduduk setempat menyatakan bahwa tampuk kepemimpin desa atau Lurah akan selalu dipegang oleh anak keturunan Eyang Ranukeriwijaya. Walaupun di jaman demokrasi sekalipun ternyata konsep kepemimpinan menurut keturunan dan kharisma ini masih berlaku di sini. Di jaman ketika semua orang berkesempatan untuk melakukan mobilisasi vertikal, ternyata tetap saja anak cucu Eyang Ranukertawijaya yang tetap ampuh dan unggul menduduki puncak pemerintah di desa Tlaga.
Amin Ismaraton, Kepala Desa Tlaga yang menurut penduduk setempat masih keturunan ke -13 dari Eyang Ranukertawijaya menceritakan identitas Eyang Rebo atau Ranukertawijaya. Menurutnya Eyang Rebo ini berasal dari Selogiri (Sekarang masuk Wonogiri) dulu masih termasuk Kerajaan Mataram Islam. Karena bangsa “mata kucing” telah mulai melanglang ke Jawadipa yaitu Mataram, maka Eyang Rebo bersama kedua orang temannya yaitu Eyang Mimbar bersama isteri, Eyang Rentug bersama isteri memberontak. Diceritakan bahwa mereka pindah dari Selogiri menuju ke barat yaitu daerah Panggungwangi. Panggungwangi adalah tempat pertama kali Eyang Ranukertawijaya singgah dan akhirnya dimakamkan. Panggung wangi ini la yang nantinya berkembang menjadi Dukuh Tengah karena merupakan letaknya di tengah dan kelilingi oleh hutan.
Karena di Panggungwangi ini terdapat banyak telaga maka suatu saat kemudian desa ini dikenal dengan nama Tlaga. Sedangkan untuk menenangkan diri dan semadi mendekatkan diri kepada Sang Hyang Tunggal, Eyang Ranukertawijaya menyepi di sebuah tempat yang kelak dikenal dengan Candi Banyumudal. Tempat inipun sampai sekarang masih terjaga dengan baik.
Di tempat yang masih merupakan dukuh Tlaga, ritual Sura berupa penyembelihan kerbau dilaksanakan. Dulu Dukuh Tlaga merupakan pemukiman penduduk. Namun karena bencana longsor tahun 1985 terjadi, Dukuh Tlaga ini dikosongkan. Relokasi penduduk Telagapun dilakukan ke tempat yang lebih aman. Menurut cerita terjadinya longsor tersebut karena manusia telah melupakan ajaran dan ritual-ritual lama seperti ritual sedekah bumi dan sudah melupakan leluhur Tlaga.
Sejak peristiwa longsor itulah penduduk mulai menggiatkan kembali ritus-ritus lama yang telah mereka tinggalkan. Sedekah bumi setiap bulan Apit atau Dulkongidah mulai digiatkan kembali. Hewan kurban disembelih sebagai penghormatan dan rasa terima kasih kepada ibu bumi yang telah memberi penghidupan kepada mereka. Selain bulan Apit, peringatan surapun masih dilakukan. Kesenian wajib ronggeng atau lengger ditampilkan karena kesenian lengger ini erat kaitannya dengan masa lalu desa Tlaga.
Lengger Jadi Kesenian Wajib
Menurut cerita kesenian lengger ini merupakan kesenian wajib yang harus dipentaskan dalam peringatan apapun. Sedangkan kesenian yang lain menjadi sebuah sunah. Menurut kepala Desa Amin Ismaraton atau yang disebut oleh masyarakat setempat lurah menceritakan bahwa kesenian lengger ini pertama kali dibawa ke Tlaga oleh Eyang Ajeng. Eyang Ajeng adalah adik dari Eyang Ranukertawijaya yang menjadi penari lengger pertama di Desa Tlaga. Eyang Ajeng menyusul, selepas Eyang Rebo pergi dari Selogiri. Sementara kedua teman Eyang Rebo pindah ke Karangdelima (Sekarang wilayah desa Petahunan, Pekuncen).
Sebagai lengger, Eyang Ajeng sangat terkenal di mana-mana. Bahkan ia sering ditanggap di daerah Pegadungan, Sunda. Bahkan ada cerita selepas ditanggap, Eyang Ajeng diberikan hadiah oleh seseorang berupa pakaian harimau. Sehingga konon ceritanya ketika Eyang Ajeng mengenakan pakaian tersebut Eyang Ajeng bisa langsung berubah wujud menjadi harimau. Orang setempat menyebut bahwa yang memberi pakaian harimau tersebut bukanlah lurah bangsa manusia, melainkan bangsa “mejajaran” makhluk serupa manusia tapi bukan manusia. Menurut kepercayaan masyarakat setempat mejajaran merupakan makhluk serupa manusia tapi tidak mempunyai tungkai kaki dan lekuk dibawah hidung serupa manusia. Sampai sekarangpun konon bekas tapak kaki merekapun sering masihkelihatan di hutan-hutan setempat.
Terlepas dari semua mitologi tersebut, kenyataannya sampai sekarang di Tlaga masih eksis berbagai seni budaya lokal setempat. Untuk lengger sendiri, telah turun temurun merupakan warisan dari keluarga. Eksisnya lengger tersebut dimungkinkan juga tidak lepas dari cerita lengger pertama di Tlaga alias Eyang Ajeng. Bahkan sampai sekarangpun Lengger Tlaga sering ditanggap oleh orang Cilacap, dan Brebes. Dalam slametan suran, pentas lengger adalah hal yang wajib. Kewajiban ini sebagai penghormatan dan darma bakti kepada Eyang Ranukertawijaya dan Eyang Ajeng. Dari cerita-cerita tersebut dapat diambil asumsi bahwa cerita mitologi yang berkembang di masyarakat sangat mempengaruhi eksisnya budaya di masyarakat.
Kepercayaan terhadap laknat dan prahara karena melupakan sesuatu yang gaib di luar dirinya merupakan sarana kendali masyarakat yang gaib dan sakral itulah yang membuat kelestarian dan keaslian budaya dan tradisi setempat tetap terjaga. Adanya mitologi Eyang Ajeng sebagai leluhur para lengger di Desa Tlaga semakin mengokohkan posisi lengger di masyarakat. Sebagai masyarakat agraris, masyarakat Tlaga juga tidak bisa lepas kesenian bentha-benthi atau rinding. Rinding merupakan upacara dalam rangka meminta hujan. Sampai saat inipun ketika kemarau berlangsung lama, seni bentha-benthi alias rinding dipentaskan.
Penyembelihan kerbau di awal Sura juga merupakan tradisi yang telah turun-temurun dilaksanakan oleh Desa Tlaga. Penanaman kepala kerbau dan tulang-belulangnya ini tidak hanya semata ritual semata, semua ritual yang dilaksanakan tersebut erat kaitannya dengan makna lewat simbol yang dibawanya. Penanaman Kepala kerbau dimaksudkan sebagai simbol penguburan sifat nafsu serakah manusia sedalam-dalamnya agar akal dan nurani manusia tetap terjaga, tidak seperti kerbau yang semaunya sendiri menggunakan tanduknya tanpa menggunakan otak di kepalanya. Sedangkan pada upacara sedekah laut, sifat serakah nafsu itu dibuang sejauh-jauhnya lewat kepala kerbau yang dihanyutkan ke laut. Tulang belulang yang dikubur juga menasehati manusia agar tidak suka “rebut balung tanpa isi” atau berebut tulang tanpa isi. Masih banyak hal yang baik untuk dimanfaatkan di dunia.
Yang menarik prosesi Suran yang dilaksanakan di Tlaga ini mengambil hari Jum’at Kliwon dan lokasinya berdampingan dengan masjid. Dari sini Kepala Desa Tlaga menjelaskan bahwa hal itu sengaja dilakukan dalam rangka mendekatkan masyarakat dengan tempat dan waktu ibadat. Secara tidak langsung, dengan Suran ini dimaksudkan untuk mendekatkan masyarakat dengan Islam. Suatu bentuk pendekatan budaya dengan mengakomodasi berbagai kesenian yang ada di masyarakat. Sebuah strategi islamisasi yang apik, lewati strategi budaya.
Agama sebagai pil pahit obat permasalahan manusia memang tidaklah langsung dapat ditelan manusia. Dengan bingkai seni budaya lewat simbolisasi bentuk pentas, syair, bahasa, tembang dan ritual Suran diharapkan agama dapat disisipkan sehingga dapat masuk ke dalam tubuh manusia. Namun yang disayangkan seringkali orang tua karena keterbatasan pengetahuannya belum dapat maksud simbolisasi dan maksud ritus-ritus Jawa yang dijalankan sejak dulu. Sehingga lebih banyak orang Jawa seringkali bertindak secara tradisional, atau atas dasar kebiasaan, bukan kesadaran. Padahal kesadaran atau nalar logis merupakan salah satu pangkal pondasi keyakinan dan kepercayaan beragama.
Menjalankan ritus budaya secara sadar berarti mengerti maksud dan hakikat sebuah ritus dilaksanakan. Dengan mengerti hakikat tujuan dari simbolisasi dari berbagai ritus, manusia akan semakin bijaksana memandang terhadap sesuatu hal. Tidak seharusnya semua dipandang dengan pola oposisi binner. Manusia tidak akan serta merta menganggap ritus suran itu bertentangan dengan syariat Islam. Ritus suran justru dapat diartikan sebagai upaya untuk senantiasa menyelaraskan dan mengharmonisasikan hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan semesta dengan bertumpu pada satu tujuan yaitu Tuhan Sang Hyang Tunggal.
19 desember 2009, 00.20 wib
Sebagian teks pernah dimuat di rubrik Kloyong,Suara Banyumas-Suara Merdeka 12 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar