Jumat, 30 Mei 2008

kata itu: mati....

mati...
tadi pagi baru saja aku mendapat SMS dari adikku.
"innalilahi waina ilaihi roji'uun....kang, mas "pulan"ninggal. kabare jere miki jam 12.."
SMS itu aku bukan jam 01.26 wib. ketika malam masih menjadi malam, saat binatang malam masih bersenda gurau. aku bayangkan mungkin di sana di keluarga di almarhum sedang ada pesta tangisan. pesta kesedihan, pesta kehilangan. aku masih ingat. almarhum masih muda, mungkin masih berusia mau kepala tiga. baru saja mungkin dua atau tiga tahun kemarin dia menikah. anaknyapun lagi lucu-lucunya dan isterinyapun lagi cinta-cintanya.

baru saja dia merenda pernikahan
belum lama dia merajut kebahagiaan
sedang bahagianya menimang anaknya
alangkah bangganya memberikan nafkah kepada isterinya

hari ini, detik ini saat aku sedang meraba-raba tuts komputer
mungkin almarhum sudah harus berhadapan dengan hal yang baru
alam baru,
sendiri
sepi
tanpa anak
tanpa isteri

saat ini saat aku masih mengetik ini
mungkin keluarganya dan tetangganya sedang sibuk mempersiapkan
rumah peristirahatannya yang terakhir
dalam gelap dan pekat alam kubur

hanya do'a yang bisa aku haturkan
semoga di lapangkan dan diterangkan kuburnya
seperti belum lama engkau menginjak malam pengantin
beberapa tahun lalu bersama isterimu

aku masih ingat, terakhir aku melihat engkau
saat membantu kerabatmu mendirikan rumah
saat engkau bersama anak isterimu berjalan di tanjakan naik menuju rumahku

itulah yang masih dapat aku ingat
tentang engkau
tentang mati
yang membuatmu sendiri
menyepi
tidur untuk selamanya

pwt, 31 mei 2008
07.46 wib
(sms dari vita..terimakasih)

Minggu, 25 Mei 2008

bunga tasbih


tasbih itu namamu
kuning itu mahkotamu
biru itu warna langitmu
putih itu warna awan yang memayungimu

tasbih itu namamu
aku selalu mengingatmu
dengan jernih air yang menyirammu
juga bening embun yang memandikanmu
juga elok wajah ada di hadapanmu
juga mata indah yang selalu menatapmu
juga seulas senyum manis dari bibir tipis

tasbih itu namamu
aku takkan pernah mungkin melupakannya
karena aku selalu ingat bidadari itu
seperti aku selalu bertasbih pada-Nya

pwt, 26 mei 2008-oo.50wib

entah...

dulu
kau mengunjungiku hampir setiap pagi
bercerita tentang hangat surya, sejuk embun, dan hijau daun

kau suapi aku ketika siang menjelang
nasi putih, ayam bakar pedas, stroberi merah
tak pernah kau lupakan semangkuk hidangan cinta sebagai penutupnya

kau hibur aku ketika malam tiba
bercengkerama dengan sinar bintang, senyuman putri malam
selaksa surga menyatu rasa

kini...
kau mendatangiku dengan embun pagi yang beku
kau suapi aku dengan secawan dendam yang menyesakkan dadaku
kau tutupi bintang dan rembulan dengan sumpah serapahmu

tak pernah ada lagi malam yang benderang
tersisa badai yang tak kunjung usai
kenang musnah, hilang entah

pekat tinta tak mampu menghapus pupus
patah pecah
tak seperti dulu

cerpen dari ranesi

Kisah Cinta Haruye


Teguh Winarsho AS

15-05-2006

nenek100.jpgSETELAH tahun-tahun luruh menjelma keriput, uban dan tubuh gemetar, apalagi yang bisa kuingat dari semua kejadian itu?

Stasiun Tugu Jogja siang hari. Ini adalah perjalanan pertamaku dengan kereta yang akan mengantar impianku menjadi seorang pemain sandiwara. Masih kuingat senyum Ndoro Mantri yang mengantarku sampai pintu gerbang rumahnya. Ada getar lembut di mata laki-laki tua itu. Ada ketulusan yang terpancar. Ia mengizinkan aku keluar sebagai abdi dalem di rumahnya dan mendorong cita-citaku menjadi pemain sandiwara. Ya, ini kesempatan emas yang diam-diam sudah lama kutunggu. Mungkin sejak aku kanak-kanak, ketika Belanda masih berkuasa. Atau sejak kematian Bapak di siang bolong hanya beberapa menit setelah kuhidangkan teh panas kesukaannya.

Masih kukantongi selembar tiket pertunjukkan sandiwara grup Panjta Soerja sewaktu pentas di ndalem Notoprajan. Aku selalu terpukau melihat penampilan mereka. Diam-diam sudah lama aku ingin menjadi bagian dari mereka. Menjadi orang yang selalu dielu-elu kehadirannya. Disambut takjub dan hangat. Ditatap binar beratus pasang mata. O, seandainya Bapak masih hidup, tentu beliau akan senang melihat anak perempuan bungsunya sedang mengejar cita-cita menjadi pemain sandiwara.

Stasiun Tugu Jogja masih sepi. Tentara Jepang yang baru datang ke Indonesia terlihat mondar-mandir. Aku duduk di bangku ruang tunggu bersama teman-teman yang sudah datang lebih awal. Ada dua puluh orang lebih, semuanya perempuan. Menurut jadwal kereta akan berangkat pukul setengah dua siang. Kami tinggal berangkat. Semua tiket dan surat jalan sudah diurus oleh Samadikoen, pimpinan grup Pantja Soerja yang merekrut kami. Tapi laki-laki kerempeng yang tak pernah berhenti merokok itu belum kelihatan batang hidungnya. Juga dokter Seighenji yang tempo hari memeriksa kesehatan kami. Tak kuduga mata laki-laki tua Jepang yang sipit itu rupanya bisa mengerjap lebar ketika memeriksa kesehatan kami. Ya, kami semua tak luput dari pemeriksaan jika ingin berangkat. Kami harus membuka pakaian untuk diperiksa. Aku sempat heran, kenapa untuk menjadi pemain sandiwara harus diperiksa begitu rupa?

Tapi aku tak berani protes. Aku takut tak bisa berangkat. Benar, tidak semuanya bisa lolos. Ada beberapa orang yang tak boleh berangkat. Tapi aku beruntung bisa lolos setelah memalsu umurku. Aku masih tiga belas tahun, tapi aku bilang enam belas. Tubuhku memang subur, tinggi besar. Beberapa hari kemudian Samadikoen menemuiku untuk memastikan keberangkatanku.

Borneo. Aku baru mendengar nama itu. Tapi aku harus pergi ke sana demi cita-citaku. Kutinggalkan kampung halaman dan segenap kenangan bersama Bapak dan Ndoro Mantri. Di Borneo aku akan menjemput impianku menjadi pemain sandiwara. Menjadi bintang terkenal! Tapi menunggu Samadikoen berjam-jam di stasiun membuat hatiku gusar. Aku kawatir tak jadi berangkat. Banyak tentara Jepang yang mondar-mandir membawa bedil.

Tak lama kemudian Samadikoen datang tergopoh-gopoh. Napasnya ngos-ngosan, wajahnya pucat. Samadikoen segera menyuruh kami naik di gerbong lima, dekat gerbong makan. Inilah awal perjalananku yang sebenarnya. Ke Surabaya. Deru kereta membelah senyap hutan, ladang dan sawah-sawah. Sedetik pun kami tak memejamkan mata lantaran bahagia. Aku, dan banyak lagi yang lain memang baru pertama kali naik kereta. Kukira aku akan mabuk seperti naik bus. Tapi ternyata tidak. Angin yang masuk dari jendela terus membuat tubuhku segar.

Sepanjang perjalanan pikiranku terus melayang di Borneo, di mana aku akan memulai karierku sebagai pemain sandiwara. Tengah malam kami sampai di Surabaya. Kami dijemput dengan truk yang dikemudikan oleh seorang tentara Jepang. Awalnya aku merasa aneh karena setahuku tak ada tentara Jepang yang terlibat dalam perjalanan ini kecuali dokter Seighenji yang memang diperlukan karena profesinya sebagai mantri kesehatan. Tapi aku segera melupakan keanehan itu. Perasaan bahagia mengalahkan semuanya. Lagi pula teman-teman lain tak ada yang merasa curiga. Truk segera bergerak membelah kota Surabaya yang sudah tidur lelap. Kami tak tahu mau dibawa ke mana. Samadikoen duduk di depan bersama sopir.

Beberapa saat kemudian truk berhenti di halaman rumah yang lumayan besar. Beberapa lampu di dalam rumah menyala terang. Setelah turun baru kuketahui rumah itu milik Bang Sani, salah seorang anggota grup sandiwara Pantja Soerja. Kami menginap di sana. Meski tak kenal dengan Bang Sani, tapi aku sudah sering melihat penampilannya saat pentas di Ndalem Notoprajan. Hampir satu minggu kami menginap di rumah Bang Sani sambil menunggu kapal menuju Borneo, Kalimantan.

Akhirnya kapal yang ditunggu datang. Inilah perjalanan yang paling meletihkan. Selama dua hari dua malam kami berada di tengah laut, dihempas gelombang dan badai. Berkali-kali aku mabuk dan hampir pingsan. Aku sering berpikir, apa yang terjadi jika kapal yang kutumpangi tiba-tiba tenggelam? Bagaimana dengan impianku? Cita-citaku? Tapi meski sesekali oleng, kapal itu terus melaju. Ada banyak tentara Jepang di dalam kapal. Bahkan kukira merekalah yang bertindak sebagai Anak Buah Kapal. Lalu, suatu malam, di tengah udara dingin menikam dan dalam samar cahaya bulan, aku melihat beberapa orang yang berangkat bersama kami dari Surabaya berhubungan intim dengan Anak Buah Kapal. Aku miris dan nyaris tak percaya menyaksikan pemandangan itu. Siapa sebenarnya para perempuan itu?

Pagi hari kami tiba di Kalimantan. Kakiku gemetar menginjak tanah Kalimantan. Inilah tempat yang akan menyulapku menjadi pemain sandiwara terkenal. Tapi udara masih terlalu dingin. Tubuhku terus menggigil. Perutku lapar karena selama di kapal aku kehilangan nafsu makan. Lagi-lagi kami dijemput truk dengan sopir tentara Jepang. Aku semakin merasa aneh, apalagi sejak menyaksikan pemandangan tak senonoh di atas kapal. Tiba-tiba aku sering disergap cemas. Bayang-bayang buruk terus menghantuiku seperti hantu. Tapi tak ada lagi tempat untuk bertanya.

Satu setengah jam kemudian truk berhenti di depan sebuah rumah panggung besar terbuat dari papan kayu yang kelihatannya masih baru. Rumah itu mirip asrama dengan puluhan kamar di dalamnya. Ada pagar setinggi hampir empat meter mengelilingi asrama dengan pintu gerbang dijaga ketat beberapa tentara Jepang. Ini benar-benar pemandangan ganjil. Aku semakin yakin banyak tentara Jepang yang terlibat dalam perjalanan kami. Tapi untuk apa?

Turun dari truk kami digiring masuk ke dalam asrama. Masing-masing dari kami mendapat jatah kamar, pakaian, sarapan pagi dan peralatan mandi. Aku menempati kamar nomor dua belas dengan jendela di belakang yang jika dibuka akan segera berhembus bau lumpur dan tetumbuhan segar. Selama beberapa hari kami tinggal di asrama, hanya makan dan tidur, tak boleh keluar. Diam-diam aku menunggu kapan kami mulai dilatih main sandiwara. Aku sering bertanya-tanya, siapa yang mau melatih kami bermain sandiwara? Apakah tentara Jepang?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus melingkar-lingkar dalam kepalaku. Hingga suatu malam, malam yang bertabur gerimis pedih, kutemukan semua jawabannya. Aku baru selesai makan sore ketika kudengar seseorang mengetuk pintu kamar. Aku mengira yang mengetuk pintu penjaga asrama, tapi ternyata seorang tentara Jepang. Ia langsung masuk begitu pintu kubuka dan menguncinya dari dalam. Ia tersenyum dan sempat menyapaku dengan bahasa Jepang, pendek-pendek, tapi aku tak tahu artinya. Berkali-kali kudengar ia memanggil namaku Haruye. Padahal namaku Lasiyem.

si-mbah190.jpgSuasana asrama begitu lengang. Aku tiba-tiba merasa takut berhadapan dengan laki-laki itu. Mestinya aku berpikir bahwa laki-laki itu akan melatih main sandiwara. Tapi pikiran seperti itu sama sekali tak muncul di kepalaku. Aku justru menemui kenyataan lain, bayang-bayang buruk terus mengepung kepalaku. Firasatku mengatakan sesuatu buruk bakal menimpaku. Benar. Senyum laki-laki itu semakin lebar, menyeringai, sambil melepas pakaiannya. Dadanya penuh bulu. Kumisnya terus bergerak-gerak. Ada kilat di matanya. Ia mulai berjalan pelan mendekatiku. Aku menggigil di pojok kamar.

Aku masih meringkuk di pojok kamar, saat kurasakan tangan kekar laki-laki itu menarik lenganku dari belakang. Aku berusaha menepis tangan laki-laki itu, tapi tak berhasil. Tangan laki-laki itu kokoh dan justru semakin bernafsu. Menyentak tubuhku ke dalam dekapannya, lalu dihempas di ranjang. Pinggangku terasa ngilu membentur gigir ranjang. Dan, aku hanya bisa menangis saat laki-laki itu mulai melepas paksa pakaianku. Malam mendidih. Impianku menjadi pemain sandiwara musnah. Dan, rupanya malam masih teramat panjang. Lebih panjang dari derita awal yang kualami. Usai laki-laki itu melampiaskan nafsu setannya, datang lagi teman-teman yang lain. Sampai pagi. Ketukan pintu selalu membuat aku takut, serasa ingin bunuh diri.

Setiap malam aku harus melayani berpuluh laki-laki tentara Jepang yang tak bisa kuingat wajah mereka satu per satu. Ya, aku tak bisa mengingatnya karena mereka adalah mimpi burukku. Aku justru sering teringat dengan Antoni Van Moller, laki-laki Belanda yang masih tertahan di Kalimantan. Aku berkenalan dengannya ketika beberapa kali dapat izin keluar asrama di hari-hari tertentu dengan waktu yang terbatas. Kepada Antoni kuceritakan semua penderitaanku. Awalnya aku memang ragu karena dia orang asing. Tapi rupanya Antoni Van Moller laki-laki yang baik dan penuh perhatian. Aku semakin dekat dengannya. Aku juga bisa merasakan ada perhatian khusus yang diberikan Antoni pada diriku. Hingga suatu kali dia mengutarakan perasaan cintanya padaku. Sejak itu diam-diam kami menjalin hubungan asmara.

Tapi hubungan itu akhirnya diketahui Hikaro, seorang tentara Jepang. Hikaro marah-marah memukul dan meludahi wajahku. Ia tidak senang melihat aku menjalin hubungan dengan Antoni Van Moller. Suatu hari aku menemui Antoni dan kuceritakan apa yang baru menimpaku. Antoni sangat sedih dan prihatin. Dengan bahasa Indonesia yang patah-patah ia bilang ingin mengawiniku dan membawaku ke Belanda. Aku senang sekali mendengar kata-kata itu, meski aku masih sedikit ragu apakah bisa meninggalkan negeriku. Lagi pula aku masih dalam kekuasaan tentara Jepang yang arogan. Tidak mudah bagiku untuk bisa kabur dari asrama bersama Antoni Van Moller.

Dengan pura-pura sakit untuk sementara waktu aku tidak melayani tentara Jepang. Aku dapat izin periksa ke rumah sakit, tapi kesempatan itu kugunakan untuk menemui Antoni. Kukira kami sungguh-sungguh saling mencintai hingga sutu hari aku merasakan perutku mual, mulas. Dokter yang setiap hari sabtu datang ke asrama mengatakan bahwa aku hamil. Antoni Van Moller sangat senang sekali saat kuceritakan hal itu. Ia sudah tak sabar ingin mengawiniku dan mengajakku ke Belanda.

Kehamilanku akhirnya diketahui Hikaro. Ia sangat marah dan mengerahkan teman-temannya untuk mencari Antoni Van Moller. Aku dijaga ketat tak boleh keluar asrama untuk alasan apa pun. Aku sangat cemas sekali. Aku takut terjadi sesuatu buruk menimpa Antoni. Hingga suatu hari penjaga asrama memberiku sebuah amplop berisi sejumlah uang dan secarik surat tulisan tangan Antoni Van Molller:

"Lasiyem… maaf, akoe tidak bisa tinggal lebih lama lagi di Indonesia. Akoe memang haroes poelang. Apalagi Hikaro dan teman-temannya teroes mentjari ingin memboenoehkoe. Lasiyem... akoe sangat mentjintaimoe. Akoe ingin mengadjak kamoe ke Belanda. Tapi waktoekoe amatlah singkat. Djika kamoe mentjintaikoe goenakan oeang ini oentoek ongkos ke Belanda. Akoe kan selaloe menoenggoemoe. Satoe pesankoe, peliharalah anak jang sedang kamoe kandoeng. Itoe adalah anakkoe. Salam sajang. Antoni Van Moller"

Aku gemetar membaca tulisan tangan Antoni Van Moller. Uang di tanganku jatuh berhamburan di lantai. Wajah Antoni terus menari-nari di pelupuk mataku. Aku semakin yakin ia benar-benar mencintaiku. Ia telah banyak berkorban untuk diriku. Aku juga mencintainya, hanya aku tak terlalu yakin apakah aku siap berkorban untuk dirinya. Sampai kini. Ya, sampai kini, setelah tahun-tahun itu luruh menjelma keriput, uban dan tubuh gemetar. Antoni Van Moller hanya menjadi bayang-bayang yang hanya bisa kutemukan pada bola mata anak laki-lakiku semata wayang: Soegeng Moller.

Jakarta, 2005

Sabtu, 24 Mei 2008

do'a


munajat malam

malam diam bungkam kelam
hitam
seolah bismilah
mendengkur syukur
terpanjat sholawat


bersila
menangisperih

mengaispedih

merintihtasbih


menengadah
sujud toyibah
gemetar istighfar

bersimpuhsubuh
luruh luluh
penuh
Amin

24 meri 2008
setelah pendadaran

tebal kabut itu....

Kebetulan aku seorang penjaga masjid

Jum’at pagi ini seperti biasa berusaha untuk bekerja keras untuk membersihkan karpet yang terpasang di masjid. Entah kenapa semenjak malam tadi kabut begitu tebal menutupi jalanan di sudut kecil kota purwokerto. Yah….kabut begitu tebal. Menjelang subuh aku tidak begitu memperhatikan cuaca alam, yang aku perhatikan mungkin karena aku sudah kesiangan bangun untuk adzan subuh. Kebetulan entah kenapa tadi malam aku juga mimpi cukup indah hingga membasahi sedikit bagian dari tubuhku. Mungkinkah ini karena kabut yang tebal yang menutupi malam.ah….aku tak tahu, aku tak peduli. Yang aku pedulikan adalah aku begitu ingin mengurangi mimpi yang hangat ini. Aku ingin mengulangi lagi mimpi malam tadi. Tapi….mungkinkah ketika aku tidur kembali aku akan bermimpi yang sama seperti tadi malam. Ah….lagi-lagi aku berkhayal.

Sementara kabut masih tebal menutupi sisi jalan kampus setelah subuh ini. “wahai saudaraku, kabut begitu tebal pagi ini bahkan akhir-akhir ini. Kenapa ya?” aku bertanya dengan spontan kepada sahabatku ketika memasuki bilik suci tempat tinggal kami berdua bahkan bertiga. “kata pak kyai ini lah tanda-tanda jaman akhir”jawaban yang tak disangka-sangka keluar dari lisan sahabatku, yang sedari tadi ada di kamar setelah melanjutkan tahlil dan wirid bersama pak kyai.” Ah…benarkah seperti itu?”tanpa sadar aku merasa gelisah, setelah mendengar jawaban dari sahabatku tadi.

Jaman akhir, jaman mendekati kiamat. Bumi sudah tua, sudah banyak bencana, sudah banyak musibah besar silih berganti menerpa negeri ini. Kalau kata pak kyai, semua ini karena banyak umat yang telah meninggalkan ulama, banyak laku maksiat. Tapi kalau kata mbah buyutku ini jaman akhir jaman edan, jaman orang gila yang serakah dengan harta, tahta dan wanita. Semua cara dihalalkan dan semua yang haram dihalalkan.tapi katanya nanti kata mbahku aka nada ratu adil. Tapi katanya pak kyai di jaman akhir akan datang sang penyelamat dunia, pembawa risalah kebenaran untuk orang-orang yang sesat. Mungkinkah sang penyelamat ini atau ratu adil ini adalah orang yang sama, tapi siapakah dia?dimanakah dia dan kapan dia akan datang untuk memperbaiki semangat jaman yang sudah edan ini.

Sementara kabut masih tebal namun sorot sinar matahari pagi selalu beranjak naik dan berusaha menerobos kabut tebal yang menutupi jalan. Ketika aku melihat sinar matahari pagi aku ingat pada kasih ibuku yang sepanjang nafasku selalu mendo’akanku. Aku tahu bahwa setiap jam empat pagi ibuku dan mbahku yang sudah tua dan bungkuk telah bangun dan memasak air.

Sementara kabut masih tebal aku juga teringat bapakku. Sepanjang kuliahku ia selalu berusaha bekerja semampu tenaga untuk menghidupiku. Sementara aku juga sangat ingat ayahku yang mungkin di saat kabut masih tebal, pastinya ia sudah berjalan menelusuri panjangnya pematang sawah yang masih berembun. Aku bisa bayangkan kalau dipundaknya sudah ada cangkul kesayangannya. walaupn bapakku punya banyak cangkul namun aku melihat hanya cangkul itu yang selalu dibawa bapakku ke sawah. Kalau cangkul-cangkul lain bisa dipinjam oleh tetanggaku atau pamanku, tapi cangkul ini sangat berat dan larangan untuk dipinjamkan.

Aku bisa menebak kenapa bapaku begitu sayang dengan cangkulnya yang satunya itu. Mungkin karena selama inilah dengan cangkul itu bapakku menghidupiku menghidupi adikku, menafkahi ibuku. Cangkul itulah yang telah menyemaikan benih-benih padi disawahnya untuk tumbuh subur. Padi itulah harapan baginya. Ketika panen tiba, selalu aku melihat senyumnya dan tarikan dan hembusan nafasnya yang panjang menandakan kelegaan dan kebahagiaan.Namun aku masih ingat ketika musim kemarau kemarin bapakku tidak bisa menanam padi, ia begitu pontang-panting menjual segala macam hasil bumi untuk keperluan kuliahku bahkan ditambah ongkos transport adikku yang masih SMP.


dibawah naungan rumah Tuhan, 16 maret 2006

kuncupnya mulai mekar

Kebetulan aku seorang penjaga masjid.
Sore hari selalu dari kami mengepel bergantian dan kadangkala bersama-sama. Yah katanya biar masjid ini kelihatan bersih mengkilap. Katanya sebagian dari iman itu kebersihan. Eh mungkin kebalik ya…kebersihan sebagian dari iman. Memang telah lama aku mengalami gejala keterbalikan dan serba berbeda dari biasanya. Aku seringkali terbalik-balik dalam menyusun kata-kata dalam setiap harinya. Arah tidurpun selalu sangat kontra arah dengan sahabat sekamarku, kepalaku dibagian kepalanya dan kepalanya di depan kakiku. kebetulan aku tidur dengan sesame pria setipa malamnya.

Ketidakberesan dan kekacauan pikiranku ini aku tidak tahu pasti apa penyebabnya. Pernah aku berpikir sebab semua ini mungkin karena aku kebetulan kuliah di sosiologi,efek dari kuliah dari dekonstruksi Derida atau Foucault. Ah…tapi….setelah aku amati ternyata teman-teman sosiologi juga normal-normal saja, berarti hipotesisku bisa saja salah. Aku selanjutnya mencari jawaban lain yang lebih logis.

Tapi lagi-lagi aku tak pernah puas, selalu saja aku merasa jawabanku sangat irrasional. Sementara aku pernah berkesimpulan mungkin karena aku tinggal di mesjid. Ka
rena konon katanya mahasiswa yang tinggal di masjid berbeda dengan mahasiswa yang tinggal di kos-kosan. Lagi-lagi katanya. orang yang tinggal di masjid terkendali imannya, tapi sekali lagi pernyataan itu aku serta merta kusangkal dengan keras. Yah….tapi mungkin juga ada benarnya juga sih….jadi ngelantur ceritanya.

Kebetulan aku seorang penjaga masjid.
sore itu aku mengepel dengan temanku bertiga. Sementara udara dingin dan gerimis hujan seolah sangat kerasan dan betah mengguyur kota kecil ini. Kami bertiga berbagi tugas, sahabatku yang satu membenahi karpet di dalam masjid yang berantakan karena ulah anak-anak TPA yang bermain sewaktu mengaji, belajar membaca huruf Hijaiyah dan Al Qur An.

Sahabatku yang satunya dengan gagah memegang sapu yang telah pendek gagang sapunya. Sementara aku memegang tongkat pel dengan ember air yang berisi setengah saja. Aroma pewangi lantai dalam ember itu seolah menjadi shock terapi bagiku yang baru saja kuliah dengan dosen killer yang menjemukan tadi siang. untuk mahasiswa dengan intelegensia pas-pasan seperti aku, nilainya pelit, tugas-tugasnya berbelit-belit dan terlampau sulit,

Kebetulan aku seorang penjaga masjid
Masjid yang aku tempati bersama kedua sahabatku di pinggir jalan, bahkan sangat dekat dengan jalan yang selalu ramai dengan lalu lalang kendaraan dan juga pedagang makanan yang setiap sore selalu berjajar berjualan melayani mahasiswi-mahasiswa cantik berkulit putih yang selalu menjadi impian lamaku dan selalu menjadi impian terbaruku. Bagiku waktu dulu atau sekarang itu tak ada bedanya, karena menurutku aku masih saja seperti dulu, tetap sama. Tetap sama sebagai mahasiswa yang tinggal di masjid bersama kedua sahabat setiaku. Sama-sama sebagai santri pak kyai. Sama-sama sebagai mahasiswa yang sudah semester sepuluh tapi belum lulus-lulus.

Impianku memang dari dulu ialah cukup sederhana. Mempunyai seseorang yang bisa memotivasiku ketika aku sedang lemah dan patah semangat. Tapi entahlah, aku belum menemukan orang tersebut. Aku harap seseorang itu adalah seorang gadis atau perawan yang cantik baik hati, bukan seorang lelaki konyol seperti sahabat-sahabatku di masjid yang ketika tidur senang sekali melingkarkan kakinya di pinggangku.

Kebetulan aku seorang penjaga masjid
Aku terus saja mengepel lantai yang kotor oleh kaki-kaki sang ahli ibadah yang rajin ke masjid. Walaupun bersandal dan berpayungan kaki mereka tetap saja ngeres. Entah semangat apa yang menjadi rajin ke masjid untuk sembahyang pada tuhan sang pemberi hujan. Tapi aku tak peduli dengan mereka yang rajin sholat di masjid yang aku tempati. Yang penting waktu itu dalam pikiranku adalah menyelesaikan pekerjaan mengepel lantai itu rampung dengan secepatnya karena keburu waktu maghrib tiba.

Sambil cepat-cepat mengepel lantai masjid, sambil cepat-cepat pula aku mencuri-curi pandang ketika melintas mahasiswi-mahasiswi pemburu makanan sore di deretan penjual makanan di jalan kampus. Kebetulan setelah lama aku mengamati satu persatu orang melintas di depan mesjidku. Kebetulan aku melihat seorang gadis. Kebetulan pula seperti gadis impianku. Kebetulan pula dia menengok ke arahku dan melihatku yang keren dengan pegangan tongkat pel, berkaos dan bersarung.

Kebetulan aku seorang penjaga masjid
Alam khayalku muncul dihadapanku setelah melihat wajah manis yang melintas di depan masjidku. Wajahnya manis seperti madu penawar sariawanku. Rambutnya mengombak seperti ombak lautan sore hari yang menenangkanku ketika aku melihat matahari tenggelam. Alisnya yang kata orang jawa nanggal sepisan semakin menambah jelas jernih matanya dan lentik bulu matanya yang telah membuaiku terbang ke langit biru yang amat tinggi dengan menutup mata. Ya… TUHAN bibirnya begitu indah, melebihi indah bibir para bidadari syurga mungkin….

Kebetulan aku seorang penjaga masjid
Sosok impian akhirnya melintas dengan cepat meninggalkan pelataran masjid yang sempit. Yah…seandainya aku bisa menghentikan waktu mungkin akan kulukis dirinya sebelum ia pergi. Sementara mega merah di ufuk barat telah benderang menandakan waktu maghrib segera tiba, aku hentikan mengepel sambil berjalan menaruh kain pel seraya memandangi kepergian sosok impian yang telah hilang bersama angin senja yang menyapa perutku yang keroncongan.

Kebetulan aku seorang penjaga masjid
Maghrib telah tiba, suara adzan temanku menggema menyambut mega merah di langit barat. Sesaat kemudian pujian pada Tuhan dan sholawat Nabi berkumandang dilanjutkan iqomat didengungkan. Kamipun semua bercinta dengan Tuhan lewat gerak takbir, ruku dan sujud kami. Gerak bibir kami senantiasa memujinya, membesarkan namanya dan mensucikan keindahan dan keagungan-Nya.

Selesai sholat aku berdoa pada Tuhan yang maha pemurah untuk mengasihi penjaga masjid. Mendatangkan bidadari-bidadari dari langit untuk sholat berjamaah di masjid ini, hingga aku dapat mencuri mukena milik salah satu bidadari yang ikut sholat jamaah supaya menjadi isteriku. Mungkinkah ketika kupintakan kepada-Mu, terkabulkah? Kebetulan aku hanya bisa berdo’a dan usahaku sebagai seorang penjaga mesjid…..

pwt, maret 2006


jaka tarub



seandainya..

Seandainya tengah malam ini datang seorang bidadari.
Menemuiku di bilik masjid yang sepi ini.
Sementara saudara-saudaraku telah tertidur lelap dalam pangkuan-pangkuan mimpi malam.
Sementara para pedagang di jalan kampus telah banyak pulang mendorong gerobaknya.
Sementara jarum jam telah menunjukkan 00.12 WIB.

Sementara bidadari itu mengajakku terbang.
Sementara kabut malam ini begitu tebal putih dalam hitam malam.
Sementara dingin udara ini semakin memucatkan bibirku.
Sementara badanku menggigil kedinginan. Sementara ada depanku terpatung seorang bidadari.

Sementara senyumnya tersungging sangat manis dari bibirnya yang tipis.
Sementara aku semakin kedinginan.
Sementara angin itu merangkak menelusuri tubuhku yang menggigil.
Sementara rambut bidadari yang wangi itu sebagian terkena angin mengenai wajahku

Tuhan….apa yang harus aku lakukan.
Sementara bidadari itu telah hilang terbang
bersama kabut malam yang semakin meninggi
dan menjemput embun malam untuk turun ke bumi.

sementara baru aku sadari aku bukanlah jaka tarub
jaka tarub dengan tujuh bidadari yang bercengkerama dalam telaga belantara

pwt, 13 maret 2006

Rabu, 14 Mei 2008

adik kakak

senyum itu
belum mengerti akan arti kesulitan ekonomi yang sering menggerogoti orang tuanya....
keluguan mereka berdua
patut dipertahankan demi terjaganya negeri ini
sebuah negeri yang tercerabut
sebuah bangsa di mana kejujuran adalah barang langka

di bibir samudra


di bibir samudra
terserah anda

sudah seharusnya kita
menikmati keindahannya

bukan menyesali ada
tapi mesyukuri adanya kita

ulu watu
di waktu sore tiba....

seperti manusia

seperti manusia
manusia seperti
semua terkumpul dalam bentuk nyata
berjajar kulit sapi yang telah terukir tangan perajin
wayang telah tertata dalam pertunjukkan
semua diam menunggu tindak dan perilaku sang dalang

semua terserah dalang
semua terserah wayang
tapi manusia bukan wayang
wayanglah bayangan manusia

seperti inilah ketika wayang berjajar
semua terdiam sepi
menunggu gerak tangan sang niyaga
memainkan irama dalam tabuh gamelan yang bertalu-talu
dalam sebuah lakon kehidupan tanpa nama

dari jejer hingga gara-gara
semua mata terpana
namun bukan pada keahlian pada sang dalang
melainkan pada sang setan yang bertahta
berkuasa pada lingkaran nafsu manusia
bukan pada gunungan wayang
yang dipegang dalang

semua terserah manusia

adikku

adikku sekarang sudah besar
ini foto sewaktu ia kecil
sekarang telah kelas VII smp...
di mana ia semakin tahu akan kebutuhan hidupnya
kebutuhan sekolahnya, yang perlu biaya besar bagi keluarga kecil seperti keluargaku sekarang ini untuk bisa mengenyam bangku pendidikan seperti anak indonesia yang lain.
sementara BBM konon akan naik
sementara uang sekolah juga mungkin akan semakin meningkat

do'akan kakakmu agar cepat berpenghasilan untuk membantu menopang biaya sekolahmu dan membahagiakan orang tua...
selamat berjuang di hari-hari ketika kondisi ekonomi semakin mencekik
semoga rejeki bapak dan ibu tetap ada, lancar, barokah dan mencukupi kebutuhan kita sekarang ini....
semangat!!!!!

Jumat, 09 Mei 2008

dunia sophie

(ketika "dunia sophie" terbeli)

kebetulan hari ini jum'at kliwon
HARDIKNAS, 2 mei 2008 tapi aku tidak ikut aksi...
ada prioritas lain yang harus dikerjakan
ini juga untuk pendidikan kemanusiaan...


tentang "dunia sophie"

sudah lama aku jatuh cinta padamu, tapi mungkin baru hari ini aku bisa mendekapmu, memelukmu, dan memandangmu sampai tiap-tiap centimeter bagian putih dan hitam warna pakaian luar dan pakaian dalammu..

adanya dirimu tidak lepas dari kausalitas peristiwa hari ini dan hari kemarin, terutama keberanian diriku untuk berhutang demi bisa menemuimu , memilikimu. yah memilikimu karena cinta bagiku adalah harus memiliki, bukan tidak harus memiliki.

kausalitas ini juga tidakterlpas dari kelembutan hati seorang Ahmed yang telah menjadi kran penghantar atau utusan Mikail untuk beradanya dirimu. keikhlasan dan kesediaan seekor makhluk "vespa"juga turut membantu mengantar sang pecinta sampai menuju pelaminan. pelaminan di sebuah bilik suci yang berpintu kayu jati pilihan dan daun pintu berwarna emas. berserta ranjang pengantin ungu yang bermotif beribu-ribu kuntum bunga surgawi.

konon ranjang itu adalah ranjang pengantin bagi para penjaga masjid dengan 40 bidadari langit yang bercahaya dan selalu terpesona dengan alam filsafat yang ada pada dirimu, dan juga ada pada kitab-kitab kehidupan yang telah tersimpan dalam Lauhul Mahfud-Nya

akhirnya semoga setiap energi yang aku persembahkan ketika bercinta dengan mu tidak sia-sia . semoga kelak lewat rahimmu lahir anak-ank kehidupan yang mampu dan mau membaca sekaligus berani berzina dengan kebaikan...

akhirnya
seperti kata Sokrates
"yang aku tahu bahwa aku tidak tahu"

ruang imajiner

di depan komputer
aku coba memposting baru....
tapi hari ini kenapa gagal terus...
akhirnya aku coba posting gambar bidadari dunia yang telah menjadi santapan publik.....
wajahnya masya allah,
aku jadi membayangkan berarti peri-peri syurga melebihi indah dan mulia akhlak seorang Nabila Syakieb ini kali yaa..heeeee....
ya sudahlah "jodoh di tangan TUHAN dan logikanya ketika kita tak pernah mencari berusaha untuk mendapatkannya tetap di tangan TUHAN" gitu kali...
ya sudahlah

robbana hablana min azwajina....lil muttaqina imamaa.Amiiin
(ternyata ada kesalahan dengan file yang mau aku posting)

Kamis, 01 Mei 2008

"Jerene wong aboge"


"TAJUG RUJUG, SANTRI MREBES MILI"

(Mushola banyak, banyak santri menangis)

Ungkapan ini keluar dari lisan Bapak Sanmuklas. Ungkapan ini dalam bahasa Indonesia berarti semakin banyak mushola, semakin banyak santri yang menangis. Ungkapan Jawa Banyumas konon diperoleh dari orang tua jaman dulu yang sudah mewanti-wanti kepada orang Jawa agar terus kuat menjaga kejawaannya. Jangan sampai orang Jawa hilang keJawaanya, karena di masa sekarang banyak orang Jawa yang tidak tahu asal usul kejawaannya.

Ungkapan tajug rujug lebih khusus berisi prediksi bahwa nanti setelah banyak tempat ibadah berdiri sebagai simbol semakin berkembangnya santri atau agamawan mengembangkan Islam atau kata rujug berarti sudah semakin banyaknya pemikiran dan golongan Islam di bumi Jawa ini nantinya akan terjadi santri mrebes mili atau banyak santri meneteskan air mata. Ini merupakan simbol dari kebingungan santri atau orang Islam yang mencari pegangan ajaran yang benar dan membawa keselamatan. Diyakini oleh informan bahwa ketika fenomena chaos karena kebingungan beragama ini terjadi maka akan muncul seorang Jawa yang akan mengembalikan bumi Jawa ini ”menjadi Jawa kembali”. Menurutnya datangnya Ratu Adil penyelamat Jawa ini adalah suatu keniscayaan yang akan terjadi.

Berkaitan dengan ungkapan filosofi tajug rujug santri mrebes mili, pengikut Aboge-Syattariyah atau Wong Aboge Cirebonan meyakini bahwa nantinya agama yang sekarang dipegang oleh ahli-ahli agama yang dengan berapi-api berdakwah di masjid-masjid atau mushola akan mengalami penurunan karena banyak umat yang mengalami kegalauan, keragu-raguan bahkan kebingungan dalam menjalankan dan mengamalkan ajaran Islam. Pada saat itulah nanti akan muncul ”seorang Jawa” yang bisa menjadi penyelamat (mesias) yang memberi petunjuk tentang agama Islam yang benar yang harus dijalankan oleh umat manusia.

Walaupun tidak menyebutkan nama aliran atau paham yang benar namun pengikut Aboge ini menyebut-nyebut bahwa nanti agama Islam yang sejati adalah agama Islam yang ada di Jawa yang dimiliki oleh orang Jawa. Diyakini bahwa orang pilihan yang kelak menjadi penyelamat dan penunjuk kebenaran itu sekarang belum muncul namun sedang bertapa mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi jaman akhir.

di sela adzan-iqomat

allahumma sholli wassallim 'alaa

sayyidina wamaulana muhammad


wajib ngaji wiwit ana ing bandulan

tumeka denselehake ning kuburan

aja ngemungaken isi isen weteng

mbesuk mati nemu kubur luwih peteng


ora liya kang madhangi ing kuburmu

ngamal soleh, ati resik tuwin ilmu


ayo konco, ayo konco padha ngaji

mbok menawa sue-sue bisa ngerti

yen wis ngerti nggo nglakoni

angabekti maring Gusti