Jumat, 27 Juni 2008

perempuan, anak kecil dan mata air

Pagi itu perempuan-perempuan berkerumun di rumah Warsih bak sekawanan lebah mengerubungi sarang. Di dalam rumah, lantunan sendu ayat-ayat Tuhan terdengar parau menyayat. Permpuan-perempuan itu berkerudung. Di luar rumah perempuan-perempuan sibuk berbicara, meributkan Parjo, suami Warsih yang tak kunjung pulang Serombongan prenjak kelaparan berkicau, bersahut-sahutan di sisi kanan kiri rumah Warsih, seolah mangabari tamu yang datang akan semakin banyak. Kokok ayam yang kesiangan tak mau kalah menganyam dedaunan kering. Kabut begitu tebal dan dingin. Surya di ufuk timur menampakkan wajah yang lesu. Awan-awan yang muram bergelayut tapi tak pernah menandakan akan hujan.
***

Musim kemarau yang panjang mengakibatkan orang-orang di pedukuhan itu mengerumuni sebuah sumur satu-satunya yang menyembulkan air kehidupan. Entah mengapa beberapa tahun ini kemarau panjang menyedot segala sumber air di dukuh miskin itu. Dulu, dukuh itu sangat berlimpah air.

Kisah tentang pesta dan pertunjukkan ronggeng selalu menjadi tema cerita wajib setiap musim panen tiba. Si Pardi ikut menari bersama admi, penari ronggeng yang menjadi idola di seluruh desa. Si Parmin yang suka nyawer sampai-sampai uangnya habis dan sering dipaksa pulang oleh isterinya yang pencemburu. Si Darkim tuan tanah yang sering menjadi bos dalam rekor nanggap ronggeng setiap musim panen tiba. Kyai Somad yang selalu sibuk karena kebanjiran order untuk memimpin do'a selamatan di setiap rumah penduduk yang akan memanen padinya. Cerita si anu yang seperti ini, seperti itu. Sekarang semua itu musnah, hilang, masuk ke dalam lubang-lubang tanah yang menganga kekeringan.

Dulu hampir setiap rumah memiliki hewan ternak hingga ada cerita yang menyebutkan bahwa Si Parjo adalah juragan kambing yang mempunyai kambing ratusan ekor. Si Kamitem, janda tua yang hanya memiliki 2 ekor, dialah yang paling sedikit. Padang rumput hijau yang menghampar berdampingan dengan lapangan desa selalu menjadi arena gembala ternak warga. Banyak anak-anak yang menjadi gembala. Anak-anak bermain layang-layang yang terbuat dari daun simbar dan baling-baling besar tipis dari kayu pohon waru. Suara sawangan layang-layang dan putaran baling-baling itu selalu menjadi instrumen musik alam yang selalu mengiringi prosesi penjamuan para hewan gembala. Setiap bulan Haji tiba, warga desa panen uang karena penjualan hewan kurban. Setiap musim haji pasti rumah Si Darkim selalu di serbu orang karena dialah yang selalu mengadakan hewan kurban yang paling banyak.

Lumbung padi di balai kelurahan dulu selalu penuh bahkan selalu luber tapi sekarang lumbung itu hanya berisi tikus-tikus yang kelaparan yang mangais sisa-sisa bulir padi yang kering. Tak jarang ditemui bangkai tikus yang telah mati. Balai desapun sekarang tak berpenghuni. Entah pergi ke mana pamong desa yang dulu selalu berbaju dinas melayani warga desa. Sekarang tak terdengar lagi suara sapa petani desa yang selalu berangkat bersama ke sawah sambil memanggul cangkul dan sabit. Tak ada lagi suara lecut cambuk pembajak sawah dan suara kerbau yang patuh ketika tali hidungnya ditarik oleh para pembajak sawah. Tak pernah lagi terlihat wajah anak-anak yang berbalur lumpur dan tawa yang menyeriangi mereka ketika mereka di sawah mencari bibis dan anak kodok yang kecil, yang jarang sekali mereka dapat tangkap. Yang ada sekarang hanya anak-anak berperut buncit, mata cekung dan digandeng ibu mereka yang berwajah lusuh. Tak ada lagi layang-layang, tidak pula baling-baling.

Setiap pagi, siang dan sore yang terlihat di pedukuhan desa itu hanyalah perempuan-perempuan dan anak-anak pembawa jligen air. Kemarau panjang telah menelan segala yang ada di desa terpencil itu. ranum tubuh muda perempuan-perempuan desa itu telah terhisap oleh ganas kemiskinan. Hatinya yang seharusnya mekar kini telah merana karena tak ada lagi laki-laki yang seharusnya melindungi. Satu-satunya peninggalan suaminya adalah anak-anak mereka yang selalu menyanyikan lagu kelaparan dan keputus asaan. Anak-anak mereka telah hafal dengan jligen-jligen air yang selalu menjadi hidangan sarapan. Tulang-tulang rawan dan tubuh mereka yang kecil sudah terlalu biasa menanggung beban pikulan jligen yang berat itu. Mata cekung dan kaki mereka sudah sangat hafal dengan rute panjang pencarian harta karun. Air.
***

Berbondong berjalan, saling menyalip, saling berlari menuju tempat mata air yang mengeluarkan air perlahan-lahan, tetes demi tetes. berjam-jam menyusuri bebatuan terjal, menapaki jalan yang tidak selalu lurus dan mulus. Perempuan-perempuan berwajah tua itu terus berjalan. Mereka menyusuri jalan yang sama karena memang hanya itu satu-satunya jalan menuju mata air itu. Entah kenapa mata air itu hanya satu-satunya yang menyembulkan air. Sementara sumber air yang lain telah kering. Letaknya juga begitu jauh di balik lipatan pegunungan itu. Dari kejauhan terlihat mereka dan keempat anak kerdil berjalan menelusuri kelok pegunungan berbatu cadas. Anak-anak di pedukuhan itu sudah biasa mengangkut air. Mereka tak pernah lagi merasakan bermain air apalagi berenang dan menyelam di dalam air. Wajah mereka yang terlampau kering dan menjadikan mereka dewasa sebelum saatnya.

Hilir mudik perempuan-perempuan itu berjalan tergesa-gesa mengangkut jligen-jligen air. Sementara mata air tetap saja mengeluarkan air tetes demi tetes. Mereka berjalan beriringan dan wajib berpapasan ketika melewati jalan itu. jalan yang menanjak, berkelok dan terjal mengharuskan mereka untuk berhati-hati ketika melangkah. Lumut dan tanaman sebangsanya tak pernah tumbuh di jalan bebatuan pegunungan itu. lumut memang tak pernah kuat untuk hidup di sana. mulut jurang berbatu cadas runcing lagi pucat menganga berada di samping jalan itu. konon dulu sekali di bawah jurang itu mengalir sungai yang airnya sangat jernih. Sungai itulah yang menjadi sumber kehidupan warga desa itu.

Keempat anak kecil yang berjalan beriringan, berbalapan. Mempercepat langkahnya dan saling tertawa, namun tawa mereka tak bersuara. Setelah puas dengan saling beradu kecepatan jalan. Mereka berlomba melempar sejauh-jauhnya kerikil ke arah atas dasar jurang yang selalu mengangakan mulutnya. Mereka melempar bergantian. Senyum kemenangan tersungging dari salah satu anak pelempar terjauh. Sedangkan pelempar terjauh kedua, ke tiga dan ke empat memasang wajah masam. Ketiganya terpaksa berjalan mengikuti sang pelempar terjauh yang mendapat hadiah berjalan paling depan dan urutan pertama dalam mengambil air. Tak pernah ada suara tawa dan teriakan, hanya tepukan kecil. Mereka terus berjalan sambil memikul jligen air kosong. Salah satu dari mereka yang kalah, melempar kembali kerikil kecil ke dasar jurang. Lengan kecil dan ayunan yang lemah itu rupanya mampu melemparkan kerikil menuju dasar jurang. Kerikil itu terlempar tepat di atas mulut jurang. Terbang lambat dan pelan mencapai ke bawah. Sebentar kemudian terdengar berkali-kali bunyi ketukan-ketukan kecil menggema dari dasar jurang itu.

Keempat anak kerdil itu saling bercerita, bertanya kapan bapaknya pulang dari kota. Apa oleh-oleh atau mainan yang bapak bawa. Berapa uang yang bapak bawa. Pertanyaan itu terus ditanyakan berulang-ulang. Jawaban mereka hanya tidak tahu. Mungkin sebentar lagi bapak pulang bawa uang, bawa mainan, dan bawa uang untuk ibu mereka. Sudah bertahun-tahun bapak tak pulang. Memang mereka tak pernah tahu kalau bapak mungkin tidak akan pulang karena malas kembali ke desa yang tak ada airnya, karena air harus diambil dari balik pegunungan, melewati jalan terjal berbatu, menghindari jurang dalam yang menganga. Lebih kerasan di kota daripada di desa. Di desa hanya ada isteri-isteri berwajah tua, keriput tak berisi dan anak-anak kerdil. Lain dengan di kota, setiap malam tersedia wajh-wajah muda dengan tubuh yang ranum berjajar di jalanan ataupun di gang-gang berlampu remang.

Keempat anak itu terus membanggakan bapak mereka yang tak kunjung pulang. Tema itu seolah bisa menepis rasa lelah dan kejenuhan mereka. Hampir setiap hari, tema itu terus berulang-ulang diceritakan. Kata Si Narto, bapaknya paling hebat karena bisa menaiki gedung bertingkat. Kata Si Waru, bapaknya paling kuat karena bisa mengangkat beberpa kantong semen sekali angkat. Kata Si Dadap, bapaknya paling baik karena bisa memasak sedemikian banyak untuk makan banyak orang. Bapak Paino lebih hebat lagi karena bisa memecah batu sedemikian banyak dalam sehari. Mereka berlomba bercerita. Masing-masing menjagokan bapaknya sambil terus berjalan bersama para perempuan pencari air. Mulut-mulut perempuan itu seperti terkunci, diam tanpa kata, kalimat apalagi teriakan. Di atas langit matahari terus menyala-nyala. Angin kering menggoyang pucuk-pucuk ilalang. Elang berteriak, memekik mencari mangsa.
****

Para perempuan dan keempat anak kerdil itu telah sampai di tempat mata air. Di puncak bukit itu tumbuh sebatang pohon jati besar yang sedang meranggas dan pohon beringin rindang yang akar gantungnya telah mencapai tanah. Selain dua pohon itu, hanya ada ilalang yang tumbuh. Dari tempat itu terlihat lembah-lembah yang merupakan pedukuhan desa. Di kanan kirinya juga berjajar perbukitan yang memanjang. Di antara kedua pohon itulah sebuah sumur telah dibuat warga karena di situlah satu-satunya sumber mata air warga desa itu. Di tempat itulah para perempuan dan keempat anak itu berkumpul, menunggu giliran untuk mengambil air.

Keempat anak itu duduk berteduh di bawah rimbunnya akar beringin. Mereka bermain bergelantungan. Ibu mereka sering melarang mereka, karena tempat itu angker katanya. Perempuan-perempuan di sekitar sumur telah berkerumun. Terik matahari memaksa mereka untuk menutupi kepala mereka. Ada yang menutupi dengan kain jarit dan ada pula yang menutupinya dengan daun jati kering. Jligen-jligen air berbagai ukuran telah berjejer, berkumpul dan berserakan,. Mereka menganga kehausan, menunggu sang empunya yang berebut air di sumber air satu-satunya di desa itu.Tingkah mereka gelisah dan tatapannya tajam ketika melihat butiran-butiran air masuk kedalam jligen. Sumpah serapah keluar dari mulut mereka ketika melihat seorang perempuan menumpahkan air yang ditimbanya. Butiran-butiran air yang tumpah ke tanah, berubah menjadi butiran dan gumpalan debu-debu. Seandainya bisa, mungkin mereka akan memungut butiran-butiran air yang telah tumpah itu.

Suasana menjadi gaduh ketika dua orang perempuan beradu mulut. Saling menyumpah, mencaci satu sama lain. Anjing, celeng, pelacur, perempuan sundal, setan. Selalu saja kata-kata jenis itu yang keluar dari mulut-mulut mereka. Saling tunjuk menunjuk. Saling menjambak rambut dan bergulat di atas tanah yang berdebu tebal. Perempuan yang satu menuduh perempuan yang lain mencuri jligen dan yang lainnya mengaku melihat perempuan lawannya pernah menumpahkan air dalam jligennya dan pernah selingkuh dengan suaminya. Pertengkaran itu tak pernah dilerai apalagi dipisah. Keempat anak kecil kembali bertaruh siapa pemenang pertengkaran kedua perempuan itu. Pertengkaran antar perempuan berebut air, giliran menimba, berebut suami dan jligen sudah biasa terjadi.

Gulat kedua perempuan masih berlangsung dan taruhan keempat anak kecil itu berlanjut. Perempuan-perempuan pencari air tetap menunggu giliran. Tiba-tiba dari arah jalan satu-satunya terlihat perempuan berjalan sempoyongan. Tak sempat berteriak, akhirnya tubuhnya roboh memecah kerumunan. Dua perempuan memapahnya, menidurkannya di bawah beringin. Keempat anak itu menungguinya. Desas-desus, bisik-bisik pembicaraan menjalari kerumunan perempuan. Mereka saling bertanya, menjawab tentang sebab musabab Si Parsem pingsan. Mungkin lapar, letih, penyakit asmanya kumat. Itulah jawaban mereka.

Seorang perempuan kemudian datang lagi, sempoyongan, mencoba berlari, terengah-engah dan menabrak kerumunan. Pikulan dan kedua jligen kosongnya jatuh ke tanah. Ujung pikulan dan jligen itu memukul ke tanah. Debu yang kaget beterbangan kesana kemari. Perempuan yang itu sebelum pingsan, mengucapkan satu nama. Warsih. Dua orang memapahnya, membaringkannya di bawah beringin berdampingan dengan seorang perempuan yang sebelumnya juga pingsan. Bisik-bisik pembicaraan semakin ramai dan berganti pertanyaan dan kemungkinan jawaban mengenai seseorang. Ada apa dengan Warsih?

Salah satu dari keempat anak kecil yang mendampingi kedua perempuan yang pingsan berlari menuju kerumunan perempuan. Dia kemudian berbicara dengan Poniem, perempuan yang sedang menimba air. Tangan Narto yang kecil menunjuk Parsem yang telah siuman. Parsem memberi tahu perihal Warsih kepada Narto. Setelah mendengar perihal tentang warsih, Poniem yang tak lain adalah kakak Warsih langsung roboh. Timba air itu lepas dari tangannya. Tubuhnya jatuh mengenai jligen yang telah terisi air. Dua orang mencoba memapahnya. Beberapa perempuan yang lain berebut jligen air yang tumpah dan beberapa yang lain lagi berebut timba air. Sementara mata air sumur itu tetap saja menyembulkan air tetes demi tetes.
****

Dari jauh terlihat beberapa perempuan sedang merayap ke dasar jurang. Sebagian perempuan yang lain menunjuk-nunjuk tangannya sambil melongokkan kepalanya ke mulut jurang. sebagian lagi mengulurkan tali panjang. Kemudian setelah beberapa lama, sesosok mayat perempuan ditarik dan diangkat beramai-ramai dari dasar jurang. Dua jligen air dan pikulan terlihat tergeletak jauh di bawah sana. "Beruntung Warsih, sekarang dia sudah tenang. Dia takkan pernah lagi memikul jligen air. Dia takkan pernah pusing lagi memikirkan bagaimana dia makan esok hari dan suaminya tak kunjung pulang. Sekarang tinggal kita yang harus pusing dan capai mencari air untuk memandikan jenasahnya" ungkapan itu keluar dari seorang perempuan. Kemudian yang lain membalas "Ya, benar juga tapi apakah Warsih itu benar-benar mati karena jatuh terpeleset ke jurang atau jangan-jangan bunuh diri ?". Keduanya berpandangan.

Senja tua mulai menapaki malam sementara mata air sumur di atas perbukitan tetap mengeluarkan air perlahan. Mayat Warsih di gotong para perempuan karena tak ada lelaki yang kunjung datang.

Purwokerto, 28 Juni 2008

Senin, 23 Juni 2008

Pertapa di Negeri Angin

Aku ingin merekam bisikan angin

Ketika angin membuat tarian daun-daun

Aku berhajat memenjarakan angin

Saat angin menyajikan sejuta tanya untukku


Hari ini ketika burung prenjak beranjak di antara dedahanan pohon angsana keling yang diterpa hangat mentari. Aku berada di negeri angin, negeri di mana angin menjadi penguasanya. Penguasa yang tak pernah terlihat wujudnya. Tapi aku selalu merasakan keberadaan daya dan kuasanya. Di negeri angin aku hanya merasakan diriku berada dalam genggamannya. Suatu waktu aku takjub kepadanya. Di waktu yang lain aku dibuat takluk olehnya.

Aku duduk di antara pohon bambu wulung. Aku adalah seorang pertapa yang sedang duduk bersila memejamkan mata di atas batu besar yang rata dan lebar. Sementara telingaku asyik berbincang dengan desau angin dan gemerisik daun-daun panjang bambu yang saling bergesekan. Aku baru mengetahui menjadi seorang pertapa harus bisa mengganti fungsi mulutku untuk berbicara. Aku diharuskan untuk banyak mendengar daripada berbicara. Aku harus lebih banyak berbincang dengan nuraniku, dengan pepohonan, semut-semut, nyamuk, dan berbagai binatang di semesta negeri angin.

Sebagai seorang pertapa, aku harus bertekad akan tetap duduk bersila sampai aku berhasil mendapat wisik dari sang penguasa alam lewat angin yang selalu berbisik di antara dedaunan hutan bambu ini. Menyatu dengan alam adalah bagian dari keseharianku sebagai penduduk baru di negeri angin. Aku harus melepaskan kemanusiaanku demi menyatu dengan anasir-anasir semesta. Karena mataku selalu terpejam aku tak pernah melihat rupa dedaunan bambu yang panjang-panjang bergesekan untuk berbisik, berkhotbah menyambut ketika angin datang.

Pagi ini tepat pagi yang ke empatpuluh. Angin masih menerbangkan daun-daun kuning pohon angsana keling yang meranggas, aku masih yang bersila, berpakaian putih lusuh dan rambut panjangku selalu terbang dipermainkan angin. Tiba-tiba dalam mataku yang terpejam aku melihat seperti sorot surya yang kuning keemasan menerpa tubuhku. Kemudian tubuhku merasakan kehangatan yang lebih dari biasanya. Hangat dan hangat hingga mulailah tubuhku terasa terangkat dan ringan seringan tiupanku pada kapas putih untuk terbang menuju angkasa.

Aku mencoba membuka mataku. Dalam pengelihatanku, aku hanya melihat sesosok pertapa yang tak lain adalah diriku sendiri, tepatnya tubuhku sendiri. Sesosok tubuh itu masih bersila, memejamkan mata dan diam mematung bak sang Budha yang sedang bersemedi. Aku mencoba melihat diriku yang baru. Bentuk tubuhku yang baru tetap sama namun begitu aku merasa ringan terbang membubung ke angkasa digerakan oleh kekuatan.

Mungkinkah ini yang dinamakan meraga sukma? Aku tak bisa menceritakan dari mana sumber kekuatan itu mengangkat tubuhku. Aku tak bisa memastikan dari mana rohku keluar dari tubuhku. Apakah dari ubun-ubun, pori-pori kulitku atau bagian tubuhku yang lain. Yang kurasakan setelah sekian lama aku duduk bersila di atras batu besar di antara rerimbunan keluarga bambu. aku merasakan sebuah kekuatan mengangkat tubuhku, dimana kekuatan itu seperti telah menyatu dengan hembusan nafasku yang keluar masuk.

Belum sempat aku berpikir panjang tentang itu. Diriku yang baru telah jauh melesat meninggalkan tubuh sang pertapa berbaju putih lusuh di hutan bambu itu. Dari kejauhan aku memandangi tubuhku yang semakin kurus. Aneh tubuhku justru seakan semakin kuat menancap ibarat paku bumi menancap ke dalam batu besar kesunyian dan kesenyapan, jauh dari peradaban manusia. Saat itulah aku berkeyakinan bahwa aku telah resmi menjadi penduduk negeri angin yang baru. Nafasku telah menyatu dengan nafas angin bahkan mungkin tubuhku kini adalah bagian dari angin.

Aku bisa berkawan dengan angin walaupun aku bukanlah titisan Bayu seperti Bima. Aku hanya pasrah dengan kekuatan yang telah menerbangkanku. Aku tak pernah bercita-cita untuk mencari susuhing angin, sarang angin atau tempat Dewa Bayu bersemayam. Pagi itulah aku yakin bahwa aku telah mendapatkan wisik dari sang penguasa negeri angin untuk memulai pengembaraanku layaknya penduduk negeri angin yang lain. "Hei pertapa, sekarang kau telah menjadi bagian dari negeri angin yang baru. Mulai saat inilah engkau harus berkelana bersama angin. namun satu pesanku, jangan pernah bertanya apapun ketika kau telah terbang bersama angin" itulah isi wisik yang aku yakini datang dari penguasa angin.

***

Selama aku terbang bersama angin, aku berkenalan dengan angin utara. Bersama angin utara aku melihat bagaimana angin utara merubah dirinya sebagai petaka di sebuah negeri. Meluluhlantakkan semua harapan penduduk negeri itu. Aku melihat angin utara dengan gagahnya membongkar dengan paksa istana yang megah yang telah dibangun bertahun-tahun lewat pusaran taupannya. Merantaskan tanaman padi dan rerimbunan labirin jagung yang menguning. Setelah itu dengan cepatnya ia merayap membakar hutan hingga tak bersisa. Tak peduli binatang-binatang yang berkejaran ketakutan dan kebingungan mencari suaka untuk sanak keluarganya.

Bersama angin barat aku juga meraskan hal yang serupa bahkan jauh memperlihatkan rupa angin barat yang awalnya membawa uap air, menyiramkan pada lahan-lahan kering di bawahnya hingga tumbuh menghijau. Angin barat kemudian berbelok ke selatan. Angin selatan yang menjelma tanpa rupa, menghempas permukaan samudra tanpa aba-aba, hanya rasa ngeri yang dibawanya. Angin selatan itu merubah rupa wajah laut yang biru cantik menjadi gelombang hitam yang menggulung-gulung menerjang apaapun yang ada di hadapannya. Angin selatan merubah langit cerah menjadi berguncang guntur dan kilat yang saling bertabrakan. Dari jauh aku melihat orang-orang berlarian, berhamburan seperti anai-anai yang beterbangan dihempas angin.

Sepasang muda dengan asyik menimang buah hatinya kalangkabut mencari tempat perlindungan. Berlari ke sana kemari, namun tiada daya bagi mereka untuk menghindari gelombang raksasa hitam yang menggulung mereka bersama pemulung-pemulung dan anak-anak yang sedang asyik bermain pasir putih di tepi pantai. Lagi-lagi angin beserta gelombang samudra itu menerjang tanpa pandang bulu, tanpa pilih kasih. Jerit tangis, teriakan permintaan tolong tak mampu menyaingi kemarahan samudra yang sedang menunjukkan taring kegenasannya yang sedang melumat sebagian besar isi pantai. Semua dirata tanahkan. Segalanya dirata airkan.

Hari itu tak jelas siang atau malam. Tidak bisa dikatakan siang karena langit begitu menggelayut kehitaman. Namun untuk disebut malam, hari itu ternyata masih ada matahari yang sepertinya telah pasrah kepada kehendak langit dan samudra yang telah menjadi kawan angin selatan. Gelombang dahsyat itu hanya berlangsung sesaat namun dampaknya begitu luarbiasa.

Saat petaka yang meluluhlantakan segala yang ada di pantai itu terjadi, sebagai kawan baru dari angin, aku tak bisa berbuat apa-apa. Berulang kali aku bertanya pada angin kenapa hal ini harus terjadi. Angin yang diam hanya menjawab dengan kekuatannya yang menggandeng guntur dan samudra untuk menyapa manusia dengan prahara. Bahkan saat itu sebagai bagian dari kawan angin, dengan tubuhku yang ringan ini secara tak sengaja aku juga telah menenggelamkan beberapa sampan nelayan miskin yang sedang tertatih-tatih menebar jala dan telah letih menarik pukatnya dari sampan yang telah reyot. Rupanya aku diriku telah berubah menjadi kekuatan angin. Aku hanya berteriak dan berteriak mengingatkan orang untuk menghindarkan diri bersama orang yang dicintainya untuk pergi mencari tempat perlindungan. Namun teriakanku seperti tak pernah terdengar dan sama sekali hampa ditelan dengan deru angin dan gelombang pasang laut yang menghentak dan membuat gempa yang menggemparkan seluruh isi pantai itu. aku baru sadar bahwa teriakanku tidak pernah ada gunanya dan petaka itu tetap terjadi. Setelah puas menerjang semua bersama angin aku terbang berkelana menuju ke timur.

Sebagai teman angin aku selalu bertanya-tanya pada setiap peristiwa yang telah terjadi sedari tadi. Setelah terbang terus ke timur, angin selatan yang garang merubah dirinya menjadi angin timur yang berwarna kekuning keemasan seperti pancaran matahari yang setiap pagi aku rasakan. Aku selalu berhati-hati dan bersiap-siap mencermati setiap gerak-gerik angin namun lagi-lagi sebagai rekan angin aku hanya bisa menurut segala hajat angin yang membawaku berkelana ke timur. Angin timur ternyata berbeda dengan angin selatan yang tak pernah berperikemanusiaan. Penjelmaan angin timur mungkin ketika terlihat oleh manusia akan nampak sangat ramah. Ketenangan dan kelembutan dibawanya untuk manusia dan alam semesta di sekitarnya. Bersama angin aku merasakan bagaimana angin menyapu persawahan hijau dan menguning. Bersama angin aku bercanda dan menggoda pucuk-pucuk dedaunan dan kuncup-kuncup bunga yang bermekaran di halaman rumah seorang kembang desa. Layang-layang dan baling-balingpun dengan penuh cinta kami terbangkan dan kami putar dengan seindah mungkin. Kamipun menyapa dengan sepoi-sepoi, tubuh-tubuh dan wajah-wajah bercahaya yang telah selesai mandi di sebuah telaga desa.

Selama perjalanan itu aku merasakan betapa rasaku bercampur aduk. Aku merasakan rasa yang sebelumnya tak pernah aku rasakan. Tenyata dunia ini bukan hanya hitam dan putih seperti yang selama ini aku imani. Dunia bukan semata-mata yang pernah kita lihat, banyak bagian dunia yang sering kita lupakan bahkan kita hapuskan. Ada hal-hal lain di balik semua yang ada, antara kebahagiaan dan nestapa, antara cinta dan cacimaki, antara senyum dan tangis, antara cahaya dan kegelapan, antara anugerah dan bencana. Setiap detik, setiap kejapan mata semua bisa ada, bisa sirna, bisa berganti tanpa kompromi. Semua bisa berubah menjelma menjadi apa saja seperti angin yang dengan kekuatannya mampu menampakkan berjuta wajah.

Perjalananku bersama dengan angin timur adalah kisah perjalananku yang terakhir yang selalu menimbulkan banyak tanya dalam diriku kepada angin. aku baru menyadari bahwa aku telah lupa dengan isi wisik dari penguasa angin ketika pertama kali aku resmi berkelana terbang bersama angin. namun semua telah terjadi, apapun yang terjadi aku hanya pasrah dan memang aku tak punya kekuatan sebagaimana angin yang selama perjalanan telah menerbangkanku dan memeluknya dalam dekapan yang begitu misterius. Aku ibarat musa yang telah lupa pesan khidir selama dalam pengembaraanya. Tapi yang pasti aku bukanlah musa, aku hanya pertapa biasa yang tinggal di negeri angin.

Angin timur kemudian seperti membawaku terbang melesat menjauhi bumi. Mungkinkah aku akan dibawa ke langit tujuh bersama angin? ah entahlah. Aku terus terbang bersama angin melewati gumpalan tubuh-tubuh awan yang putih selembut kapas. Dari atas aku melihat hamparan laut yang biru dan hijau daratan di sebelah timur dan barat. Sementara di bagian selatan dan utara aku hanya melihat hamparan menghitam, tanah pemukiman, persawahan yang telah luluh lantak. Mayat-mayat yang berserakan, bertumpukan mengenaskan menyatu dengan puing-puing kehancuran dan reruntuhan alam. Kesan dan pesan seperti sengaja ditinggalkan oleh angin kepada semua di dunia ini. Mungkin itulah jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku selama perjalanan bersama angin.

Semakin tinggi dan jauh aku terbang, semakin membuatku tak tahu kiblat tujuan. Begitu lama aku terapung-apung, melanglang buana di jagad negeri antah berantah akhirnya aku merasa angin menerbangkanku turun. Jauh ke bawah yang tak pernah dan mungkin tak pernah mungkin aku ketahui letak dalam petanya. Semakin mendekat aku semakin melihat sebuah pulau kecil, hijau rimbun pepohonan dan sampailah aku di tempat yang tak lagi asing bagiku. Di mataku terlihat hutan bambu wulung. Aku melihat sesosok tubuh tengah bersila di atas batu besar lebar sambil memejamkan mata yang tak lain adalah tubuhku.

Semakin jauh aku meninggalkan langit dan semakin dekat aku dengan sosok pertapa itu namun aku semakin tak sadar. Aku kembali merasakan kekuatan yang dengan cepat telah memasukkanku ke dalam jasadku. Lagi-lagi aku tak pernah tahu bagaimana dan lewat mana sukmaku kembali dalam tubuhku. Aku hanya merasakan bahwa sepoi angin senja telah menyapu wajahku sambil menerbangkan daun-daun panjang pohon bambu yang tepat mengenai batang hidungku hingga membuatku tersentak.

Kubuka kelopak mataku yang telah sekian lama terpejam dan kusadari nafasku telah berpisah dengan nafas angin. mataku kembali terbelalak menatap wajah surya yang mulai temaram di sela-sela pucuk bambu. cakrawala telah memerah dan awan-awan yang berarak begitu cepat berjalan dipermainkan angin yang telah beberapa lama telah menjadi sahabatku. Aku tersadar bahwa aku masih duduk bersila di atas batu besar sebagaimana biasanya. Kembali aku dipermainkan oleh pikirku. Sejuta tanya kembali memenuhi pikiranku. Kenapa angin tiada berujud namun hanya bisa melihat lewat bekas-bekas petilasan-petilasannya. Mengapa angin sepertinya tak pernah pilih kasih dan pandang bulu untuk singgah di suatu tempat. Kenapa angin tak pernah memandang siapa saja yang ingin disapa dan diterjangnya. Bagaimana dengan sawah yang telah menghijau. Bagaimana dengan mayat yang berserakan di pantai yang telah hancur itu. bagaimana dengan wajah gadis yang telah disapunya ditepi telaga itu.

Aku semakin sibuk dengan pertanyaan yang tak pernah kunjung aku jawab. Sementara mataku telah melihat matahari yang selalu bergegas untuk terbenam di balik pucuk-pucuk ranting pohon jati yang meranggas. Rumput-rumput menunduk lemah menyentuh tanah. Sementara sekawan burung prenjak sibuk mencari anaknya yang belum pulang karena baru tadi pagi mereka baru saja belajar terbang. Mungkin telah dibawa terbang bersama angin, pikirku.


Purwokerto, 6 Juni 2008


Jumat, 20 Juni 2008

jalan masih panjang

jalan terlampau panjang
karena terlalu pendek waktu kita di dunia
kisah terlalu terjalin
karena selalu ada saja yang diceritakan
bahagia kadangkala perlu ada
walaupun tak pernah tahu sebab kebahagiaan

perlu ada yang dibanggakan
karena menurut orang lain
semua itu berharga

yang paling berharga
bagiku adalah
adanya kalian semua
orang-orang terdekatku

baik buruk indah jelek
pintar bodoh bahagia duka
adalah penilaian masing-masing

semua sudah menjadi
kebenaran umum di dunia
karena dunia ini fana

semoga kisah kita
terjalin indah
karena jalan masih panjang
untuk kita susuri dengan langkah diri kita

(pasca wisuda, hari ini 20 juni 2008
orang tuaku, sedulur, sahabat, leluhur
BARU INI YANG BISA AKU LAKUKAN
aku masih butuh do a dan dukungan kalian
untuk merangkai kisah yang indah dan tak membosankan)
tetap semangat dan optimis!
semoga kita jadi bagian dari SOLUSI BANGSA INI!
MINIMAL UNTUK DIRI KITA SENDIRI.....

Jumat, 13 Juni 2008

Debu-Debu Sajadah

Tertulis ramadhan ke-13
Oleh tinta malam yang begitu pekat
Jalan Kampus bising, kendaraaan menangis
Meraung-raung entah apa yang dikejar
Muda-mudi bertarung melawan angin jalanan
Debu itu masih melekat pada sajadah
Tarawih yang delapan raka’at, rampung tepat pukul delapan
Wajah-wajah putih “sumringah”
Dalam Ramadhan yang tinggal setengah

Jamaah tarawih yang gigih
Tak kebagian bersujud dalam rumah Entah
menggelar sajadah di luar masjid, terpaksa
menutupi Jalan Kampus dengan sajadah bersih
Berharap tak ada debu yang masuk
Ketika sujud menyembah Entah

Selesai niat puasa dan tarawih
Sajadah diangkat dan dikebutkan
Debu-debu itu beterbangan dalam remang
Terasa menusuk hidung yang telanjang

Sungguh..sayang
Mungkinkah setelah ruku dan sujud
Sang Entah juga ditinggalkan
Hilang terbang bersama debu malam
Malam ramadhan kemarau yang tak hujan

15 Ramadhan 1429 H
18 Juni 2007

mata air malam

bulan sabit menggantung di pucuk-pucuk bambu pada malam hitam
guratan sinarnya mengkilat karena air hujan membasahinya
sebuah lagu coba kugubah layaknya penyihir bahasa
tapi tiada pernah tercipta satu nadapun
yang tercipta hanya ragu

akhirnya hanya mengingat rangkaian huruf
baru kali ini coba kutuliskan
sudah lama rangkaian itu kusimpan
selalu aku simpan dalam lubuk terdalam angan-anganku
aku menunggu ragu itu hilang
tapi ternyata tak pernah hilang
bahkan semakin panjang, semakin dalam

malam ini ketika pena memaksaku
seperti menuang kopi ke dalam gelas
aku tuangkan huruf-huruf itu ke dalam gelas kertas
kurasakan kertas itu kosong, karena putih
padahal putih itu berisi warna
ibarat kuil yang menanti pendoa
kutumpahkan rangkaian huruf yang berserakan dari anganku
kucoba memungutnya dengan susah payah dari lubuk keraguanku
inginku hanya satu
biarkan rangkaian huruf itu berkata

cinta
sayang
maaf
meningggalkanmu
terlambat
ragu

kubaca satu demi satu kata
kubaca yang pertama
aku merasa ada keindahan dan kedamaian di sana
namun semakin kubaca
aku semakin merasa bahwa kata ragu itu menyesakkanku
bahkan menyesakkan semua ke lima kata sebelumnya
ragu telah menutupi semua
ragu akan cinta
ragu akan maafmu

mungkin hanya mata yang bisa berkata
tangis senja yang mengetuk bunga kamboja putih
mengantar duka yang sia-sia diantara rumpun ilalang kering
semua basah tak kunjung menyemai
hanya benih-benih luka yang tumbuh dalam wujud puisi panjang
senyap yang selalu menghuni hati
karena ragu itu menjadi mata air kalbu

PWT, 13 juni 2008
(kadang hidup perlu memaafkan)