Jumat, 13 Juni 2008

mata air malam

bulan sabit menggantung di pucuk-pucuk bambu pada malam hitam
guratan sinarnya mengkilat karena air hujan membasahinya
sebuah lagu coba kugubah layaknya penyihir bahasa
tapi tiada pernah tercipta satu nadapun
yang tercipta hanya ragu

akhirnya hanya mengingat rangkaian huruf
baru kali ini coba kutuliskan
sudah lama rangkaian itu kusimpan
selalu aku simpan dalam lubuk terdalam angan-anganku
aku menunggu ragu itu hilang
tapi ternyata tak pernah hilang
bahkan semakin panjang, semakin dalam

malam ini ketika pena memaksaku
seperti menuang kopi ke dalam gelas
aku tuangkan huruf-huruf itu ke dalam gelas kertas
kurasakan kertas itu kosong, karena putih
padahal putih itu berisi warna
ibarat kuil yang menanti pendoa
kutumpahkan rangkaian huruf yang berserakan dari anganku
kucoba memungutnya dengan susah payah dari lubuk keraguanku
inginku hanya satu
biarkan rangkaian huruf itu berkata

cinta
sayang
maaf
meningggalkanmu
terlambat
ragu

kubaca satu demi satu kata
kubaca yang pertama
aku merasa ada keindahan dan kedamaian di sana
namun semakin kubaca
aku semakin merasa bahwa kata ragu itu menyesakkanku
bahkan menyesakkan semua ke lima kata sebelumnya
ragu telah menutupi semua
ragu akan cinta
ragu akan maafmu

mungkin hanya mata yang bisa berkata
tangis senja yang mengetuk bunga kamboja putih
mengantar duka yang sia-sia diantara rumpun ilalang kering
semua basah tak kunjung menyemai
hanya benih-benih luka yang tumbuh dalam wujud puisi panjang
senyap yang selalu menghuni hati
karena ragu itu menjadi mata air kalbu

PWT, 13 juni 2008
(kadang hidup perlu memaafkan)

Tidak ada komentar: