Jumat, 19 September 2008

cerita cinta dalam lembaran kertas

Aku temukan selembar kertas dilipat dari sahabatku slamet namanya….ketika ia tinggalkan wartel yang dijaganya untuk makan. Dari tadi sebenarnya ia sangat lapar, tersiksa ia rupanya saat menunggu “sang bos” yang ternyata tidak pulang-pulang pergi bersama istri dan ibu mertuanya yang beberapa hari ini.

Selembar kertas itu dilipatnya menjadi empat bagian. Masing-masing bagian termuat sejumlah kata dan gambar yang tertulis tulus dari tangan slamet. aku tak tahu dari bagian mana dulu seorang slamet menuliskan ungkapan dari pikiran dan hatinya ketika menunggu orang selesai yang memanfaatkan jasa wartel. Bagiku yang penting aku menemukan kertas itu dibalik daftar harga berbagai macam makanan dan rokok yang juga dijual di samping dua ruangan kecil yang tak lain adalah kamar telepon.

22-heny : cantik tapi tidak punya pendirian
19-novi : cantik tapi gampangan
18-selly : cantik tapi pembohong
17-riska : cantik tapi benyak gengsi
18-vera : cantik tapi tak setia
23-asih : cantik, hot, seksi dan menggairahkan
15-rossi : cantik, imut, lucu, centil

Semua tak bisa yang tau
Beramal saleh liang kuburan
Tak kena air hujan

Vera : cinta penuh luka
Riska : cinta untuk sementara
Novi : cinta penuh nafsu
Henny : cinta sepenuh hati
Selly : cinta tak mungkin terjadi
Asih : cinta sesaat
Rossi : cinta pada pandangan pertama

Aku cinta padamu
Aku rindu padamu
Namun selallu kuakhiri
Yang tak terjadi lamunan
Membawamu kembali

Seberapa lama harus kutunggu kedatanganmu
Sejauh mana kau akan datang kepadaku
Mungkin takkan adayang tahu keberadaanmu
Tapi cinta ini akan selalu menantimu

selang dia menjelang datang ke hadapanku. tak kusia-siakan kesempatan untuk bertanya padanya perihal apa yang telah dituliskannya pada selembar surat itu. lalu kutunjukkan sebuah nama dalam lembaran kertas, lalu tanpa kusuruh dia memulai sendiri pembicaraan singkat itu.

“Heni itu berkumis, penuh bulu menggairahkan”
“ dari mana kau tahu di lengannya penuh dengan bulu-bulu halus”
“ia pakai singlet”
“Oooooo “
Heni tidak berpendirian, kenapa met?”
“riska gengsi, dia hanya lulusan SD tapi tak mau naik sepedaku yang keren ini, padahal ia hanya lulusan SD”

“rossi ia yang masih aku perjuangkan”
“vera ternyata tega menghianatiku, dia tanpa sepengetahuanku sudah punya pacar”
“novi …sudahlah”

“kalau selly gimana, kenapa tak mungkin terjadi?”
“selly itu siapa, coba ceritakan selly kenapa tak mungkin terjadi?
“ah…sudahlah semua adalah masa lalu”
Mulanya ku tak tahu apa maksud angka-angka di depan nama-nama gadis yang ditulis slamet.” ini angka-angka ini maksudnya apa?”
“ itu umurnya, …”

Setelah lama aku tak bisa mengorek keterangan yang lebih lanjut dari seorang slamet. tiba-tiba ia menyanyi. “ aku memang pencinta wanita, tapi kubukan buaya”
Rupanya seorang slamet merasa menelanjangi tubuhnya sendiri ketika ia melihat tulisan ini. Tulisan yang kutulis sebagai tape recorder yang bisa kunyalakan computer operator
“kenapa met, kau malu menceritakan kisah cintamu. Kenapa kau tak percaya kepadaku?”

dia diam dan hanya tersenyum. dia hanya seorang yang berumur duapuluh tahunan, perilakunya sekarang kuanggap masih sangat polos dan lugu. dia menganggap orang yang mengenyam bangku pendidikan itu berperangai baik semua padahal cerita cintanya dalam lembaran kertas itu bagi dunia mahasiswa telah beralih menjadi sepotong kertas tisue yang telah dipakai sehabis bercinta. entah di kos ataupun di hotel berbintang lima, dengan bermodal seporsi ayam bakar yang disuguhkan pada wanita yang terbakar oleh rayuan gombalnya.

yang datang ketika engkau hilang

Lelaki lanjut usia itu memang sudah sangat pantas dipanggil kakek. Matanya yang cekung dan mulai nanar. Kulitnya serupa dengan kulit mentimun yang sudah tua, keriput dan mulai bersisik walaupun tak menyerupai sisik ular. Tubuhnya yang bungkuk kian dekat menyentuh tanah, mencium bumi. Mungkin pertanda semakin dekat menyatu dan moksa dengan ibu bumi sebagai jalan takdir terakhir anak cucu Adam.

sejak aku tinggal sebagai penjaga di masjid ini, sejak itu pula aku mengenal sosok kakek renta itu. Terhitung telah berpuluh-puluh purnama aku melihat sosok lelaki renta itu. Setiap waktu subuh tiba dan maghrib menjelang, ia tidak pernah absen mengunjungi kubah masjid yang kian kokoh menjulang seakan menembus langit di atasnya.

Dari gerbang depan masjid inilah aku mengenal sosokmu mulai dari kejauhan sejak engkau berjalan untuk meraih gerbang pintu rumah Tuhan ini. Berjalan terseok-seok tanpa tongkat. Bunyi iqomat muadzin muda yang lantang suaranya memaksa kakek itu untuk berjalan terburu-buru. Bermaksud mempercepat langkahnya biar cepat sampai ke masjid, justru sarung yang kedodoran itu menghambat langkahnya. Seketika itu pula aku melihatmu tersandung sarung. Terpelanting, tubuh rentamu roboh. Kepalamu terantuk batu segenggam yang tergeletak di pinggir jalan. Mungkin batu itu jatuh dari sebuah truk proyek yang biasa melewati jalan samping masjid setiap pagi, siang dan sore hari itu. Darah bercucuran dari kepalamu, engkau terkulai lemas pingsan jatuh di pinggir jalan. Padahal hanya beberapa langkah saja engkau bisa sampai ke masjid.

Sejak peristiwa jatuhnya engkau itulah, aku tak pernah lagi melihatmu lagi berkunjung ke rumah Tuhan ini. Setelah beberapa waktu aku hanya mendengarmu lewat kabar. Kata pak sumi, kini engkau telah terbaring sakit di rumah. Kata pak suyit, beberapa hari sesudahnya, mengatakan sakitmu bertambah parah. Setelah aku berencana untuk menengokmu di rumah, ku dengar bahwa kau telah dibawa ke rumah sakit. Setelah tiba di sana, dokter mengatakan livermu, jantungmu, paru-parumu telah terjangkit. Komplikasi penyakit itulah yang akhirnya menemanimu, menggantikan anak-anakmu yang jauh dirantau tak kunjung pulang. Bahkan aku hanya melihat sosok anak-anakmu setelah kau pulang dari rumah sakit itu. Pulang tanpa nyawa, pulang tinggal jasad yang bernama.

Seandainya engkau masih hidup mungkin aku akan mengucapkan terimakasih tiada terhingga kepadamu atas jasa-jasamu yang telah menjadi sarana bagiku untuk mengenal sesosok wanita yang menolongmu saat maghrib menjelang. Sepeninggalmu meninggalkan dunia fana ini, telah menyisakan banyak kenangan dan cerita yang telah terukir di dalam relung hati dan benak pikirku. Berapa karung pelajaran hidup darimu seandainya selalu kutampung dan kukumpulkan. Mulai dari kegigihanmu menjadi seorang ahli masjid sepanjang hari semasa engkau hidup.

Semangat beribadahmu seperti senantiasa berkobar walaupun kakimu telah gemetaran ketika menopang ruku dan i’tidal sholatmu. Tubuhmu tak setegak huruf alif yang senantiasa kau selalu ajarkan pada cucu-cucumu itu. Ketika kubertanya tentang sesuatu lebih banyak kau mengiyakan. Tak bisa dipungkiri gigimu telah tanggal semua, demi melafalkan keagungan asmaNya dan keindahanNya. Suara lirihmu tak pernah menjadikanmu bosan untuk berdzikir. Tapi satu yang kuingat darimu, pesanmu kepadaku. “ yakinlah, jangan pernah khawatir cepat atau lambat Gusti Allah pasti akan mengabulkan do’a-do’a kalian. Teruslah gantungkan hatimu demi mengingat nama-namaNya. Kelak kalian akan mendapatkan yang terbaik”. Itu adalah pesan terakhir sehari sebelum kau jatuh sore menjelang maghrib itu.

Rasanya aku ingin bercerita kepadamu seandainya engkau masih hidup. Cerita tentang pertanda do’aku datang sewaktu yang mungkin akan terkabul. Do’a tentang salah satu dari rahasia Tuhan yang paling besar. Jodoh. Semoga prasangkaku kepadaNya benar adanya. Aku tak bisa memastikan tapi aku berharap itu benar. Sepeninggalmu, yang telah meninggalkan bekas-bekas sujudmu di lantai masjid seperti telah tergantikan oleh hadirnya sosok wanita yang telah beberapa hari ini selalu datang ketika waktu sholat tiba.

Percaya atau tidak wanita itu adalah wanita yang pernah kulihat dalam mimpiku setelah aku melaksanakan sholat istikhoroh itu. Bukan bermaksud untuk riya’ tapi ini nyata adanya. Bukan kisah khayalan, mengada-ngada. Dalam mimpiku wanita itu mengenakan mukena putih yang bercahaya. Wajahnya sumringah, cerah seolah aura keimanan mengelilingi tubuhnya. Dia terbang laksana bidadari-bidadari yang sering kudengar ceritanya sewaktu aku kecil dari Abah Kyai. “Merekalah ganjaran untuk orang-orang yang beriman besok di surga besok di akhirat nanti makanya rajinlah kalian ke masjid “begitu kata kyaiku menasehatiku bersama teman-temanku sewaktu kecil.

Ketika sosoknya selalu muncul ketika muadzin mengumandangkan adzan, entah kenapa aku selalu menantikannya di depan gerbang menantikannya. Aku selalu memanfaatkan pandangan pertama yang tidak termasuk kategori zina mata, aku berniat untuk mengagumi dan menyaksikan keindahan ciptaanNya lewak sosok wanita berwajah cahaya itu. Tepatnya telah tujuh hari setelah meninggalmu aku melihat sosok wanita itu keluar masuk masjid. Aku selalu takjub dan tanpa sadar lisanku mengucap memuji namaNya sambil tak berkedip aku memandang sosok itu.

Hari kedelapan setelah sepeninggalmu, aku senantiasa menanti kedatangan sesosok wanita cantik bercahaya itu. tapi di hari ke delapan itu aku tak melihat sosok itu sewaktu adzan subuh dan iqomah dikumandangkan. Aku bertanya-tanya kenapa dia tak datang, apakah sedang berhalangan mungkin?. Yah. Seharian dan semalam itu dia tak pernah datang ke masjid.

Aku mencoba bercerita dengan teman-temanku sesama penjaga masjid tentang sosok wanita bercahaya itu. namun teman-temanku hanya menanggapiku dengan dingin, tak pernah ada balasan pembicaraan yang memuaskanku. “ kau pasti mengada-ada, tak pernah aku lihat wanita berwajah cahaya masuk ke masjid, di waktu pagi, siang ataupun sore hari tiba.” Kata temanku dengan wajah serius. “ setiap hari aku juga hanya melihat serombongan nenek-nenek bungkuk yang telah keriput wajahnya sambil mendekap mukena lusuh itu datang ke masjid. Pasti kau salah lihat. Mungkin kau harus segera ke dokter untuk memeriksa matamu yang minus itu, mungkin tambah parah.” Temanku yang satunya lagi menimpali meyakinkanku bahwa aku salah lihat dan sebagainya.

Setelah terlibat pembicaraan dengan kedua temanku itu, aku semakin bertanya-tanya mengenai kejadian selama tujuh hari yang kualami setelah sepeninggalmu. Aku mencoba menyangsikan dan meyakinkan manakah yang benar antara pengelihatanku dan pengelihatan teman-temanku. Benarkah tak pernah ada, wanita muda berwajah cahaya datang ke masjid sewaktu sholat tiba. Benarkah tak ada cerita tentang seorang wanita yang menolong seorang kakek yang tak lain adalah dirimu sewaktu engkau jatuh menjelang maghrib itu?. aku tak peduli benar atau tidak, yang pasti selama tujuh hari ini aku seperti yelah dibuat gila oleh sosok perempuan misterius itu.

Hari kesembilan sepeninggalmu, aku tak pernah melihat sosok perempuan yang kukira bakal jadi jodohku. Setiap kuceritakan tentang sosok wanita itu pada teman-temanku aku selalu dibilang kumat penyakit halusinasiku tapi aku tak peduli.

Malam ini adalah malam ke40sejak hari kematianmu.sampai sekarang aku masih bertanya siapa wanita tersebut. Semakin hari aku semakin mencintaimu kau selalu ada dalam mimpi2ku. Aku harap kau selalu menemani tidurku disaat dingin malam mulai menusuk tulang. Kau adalah belahan jiwaku tuk selama-lamanya.

Aboge punya hisab tersendiri 3 September = awal Ramadhan tahun ini

Tidak (akan pernah) menunggu ketetapan dan pengumuman tentang tanggal satu Ramadhan 1429 Hijriyah. Begitulah sikap para pengikut kalender Aboge ketika bulan ramadhan menjelang.
Pengikut kalender jawa atau yang sering disebut Wong Aboge di daerah banyumas, memang tidak akan rebut dan sibuk menunggu keputusan pemerintah dalam menentukan satu Ramadhan. Dengan berpedoman dengan kalender Jawa warisan Sultan Agunglah, mereka secara mandiri dan kukuh menentukan awal setiap bulan termasuk bulan Ramadhan tahun ini.

Adapun Ramadhan tahun ini menurut perhitungan atau hisab mereka jatuh pada hari RABU WAGE tanggal 3 september 2008 sehingga selisih tiga hari dengan ketetapan pemerintah yang resmi menentukan 1 ramadhan yang jatuh pada tanggal 1 september 2008 besok.
Perbedaan ini didasarkan pada tahun Jawa kali ini diyakini oleh pengikut Aboge ini sebagai tahun Jim Awal. Adapun satu Sura atau Muharam pada tahun Jim Awal tersebut adalah jatuh pada hari Jemuah Pon. Sehingga bulan Ramadhan dengan rumus donemro/sanemro (akronim: Romadhon/Puasa Enem Loro) jatuh pada hari Rabu Wage.

Secara singkat hari Rabu Wage ini didapat dari hitungan Ramjiji (Muharam Siji Siji) sebagai pathokan hari menentukan tanggal bulan selanjutnya. Sedangkan Rabu Wage dengan rumus Donemro/Sanemro ini berasal dari hari keenam setelah Jum’at dan Pasaran kedua setelah Pon.
Bagi Pengikut Aboge bulan puasa atau Ramadhan tetap harus dihitung tigapuluh hari genap. Tidak ada dalam kamus mereka bulan ganjil. Sejak sekarangpun sampai kapanpun pengikut aboge ini bisa memastikan awal bulan apa saja hanya dengan berdasarkan dengan perhitungan atau hisab aboge yang mereka yakini.

Pengikut aboge ini masih berkembang di daerah banyumas termasuk di desa cibangkong, kecamatan pekuncen. Selain di cibangkong pekuncen, di desa-desa kecamatan ajibarang, wangon, dan jatilawangpun masih banyak pengikut aboge yang memegang teguh hisab aboge ini. Bagi mereka sebagai orang Jawa, Hisab Aboge adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar.” Angger jenthikku esih bisa nekuk, inyong tah esih tetep kenceng nyekeli kiye” begitu ungkap Bapak Santibi, tokoh Pengikut Aboge di dukuh Gandusari, desa Cibangkong Pekuncen Banyumas.

Bagaimana dengan anda?
Apakah anda akan mencoba Hisab Aboge ini?
Semua terserah anda?
Tanpa anda toh mereka masih ada?