Jumat, 19 September 2008

yang datang ketika engkau hilang

Lelaki lanjut usia itu memang sudah sangat pantas dipanggil kakek. Matanya yang cekung dan mulai nanar. Kulitnya serupa dengan kulit mentimun yang sudah tua, keriput dan mulai bersisik walaupun tak menyerupai sisik ular. Tubuhnya yang bungkuk kian dekat menyentuh tanah, mencium bumi. Mungkin pertanda semakin dekat menyatu dan moksa dengan ibu bumi sebagai jalan takdir terakhir anak cucu Adam.

sejak aku tinggal sebagai penjaga di masjid ini, sejak itu pula aku mengenal sosok kakek renta itu. Terhitung telah berpuluh-puluh purnama aku melihat sosok lelaki renta itu. Setiap waktu subuh tiba dan maghrib menjelang, ia tidak pernah absen mengunjungi kubah masjid yang kian kokoh menjulang seakan menembus langit di atasnya.

Dari gerbang depan masjid inilah aku mengenal sosokmu mulai dari kejauhan sejak engkau berjalan untuk meraih gerbang pintu rumah Tuhan ini. Berjalan terseok-seok tanpa tongkat. Bunyi iqomat muadzin muda yang lantang suaranya memaksa kakek itu untuk berjalan terburu-buru. Bermaksud mempercepat langkahnya biar cepat sampai ke masjid, justru sarung yang kedodoran itu menghambat langkahnya. Seketika itu pula aku melihatmu tersandung sarung. Terpelanting, tubuh rentamu roboh. Kepalamu terantuk batu segenggam yang tergeletak di pinggir jalan. Mungkin batu itu jatuh dari sebuah truk proyek yang biasa melewati jalan samping masjid setiap pagi, siang dan sore hari itu. Darah bercucuran dari kepalamu, engkau terkulai lemas pingsan jatuh di pinggir jalan. Padahal hanya beberapa langkah saja engkau bisa sampai ke masjid.

Sejak peristiwa jatuhnya engkau itulah, aku tak pernah lagi melihatmu lagi berkunjung ke rumah Tuhan ini. Setelah beberapa waktu aku hanya mendengarmu lewat kabar. Kata pak sumi, kini engkau telah terbaring sakit di rumah. Kata pak suyit, beberapa hari sesudahnya, mengatakan sakitmu bertambah parah. Setelah aku berencana untuk menengokmu di rumah, ku dengar bahwa kau telah dibawa ke rumah sakit. Setelah tiba di sana, dokter mengatakan livermu, jantungmu, paru-parumu telah terjangkit. Komplikasi penyakit itulah yang akhirnya menemanimu, menggantikan anak-anakmu yang jauh dirantau tak kunjung pulang. Bahkan aku hanya melihat sosok anak-anakmu setelah kau pulang dari rumah sakit itu. Pulang tanpa nyawa, pulang tinggal jasad yang bernama.

Seandainya engkau masih hidup mungkin aku akan mengucapkan terimakasih tiada terhingga kepadamu atas jasa-jasamu yang telah menjadi sarana bagiku untuk mengenal sesosok wanita yang menolongmu saat maghrib menjelang. Sepeninggalmu meninggalkan dunia fana ini, telah menyisakan banyak kenangan dan cerita yang telah terukir di dalam relung hati dan benak pikirku. Berapa karung pelajaran hidup darimu seandainya selalu kutampung dan kukumpulkan. Mulai dari kegigihanmu menjadi seorang ahli masjid sepanjang hari semasa engkau hidup.

Semangat beribadahmu seperti senantiasa berkobar walaupun kakimu telah gemetaran ketika menopang ruku dan i’tidal sholatmu. Tubuhmu tak setegak huruf alif yang senantiasa kau selalu ajarkan pada cucu-cucumu itu. Ketika kubertanya tentang sesuatu lebih banyak kau mengiyakan. Tak bisa dipungkiri gigimu telah tanggal semua, demi melafalkan keagungan asmaNya dan keindahanNya. Suara lirihmu tak pernah menjadikanmu bosan untuk berdzikir. Tapi satu yang kuingat darimu, pesanmu kepadaku. “ yakinlah, jangan pernah khawatir cepat atau lambat Gusti Allah pasti akan mengabulkan do’a-do’a kalian. Teruslah gantungkan hatimu demi mengingat nama-namaNya. Kelak kalian akan mendapatkan yang terbaik”. Itu adalah pesan terakhir sehari sebelum kau jatuh sore menjelang maghrib itu.

Rasanya aku ingin bercerita kepadamu seandainya engkau masih hidup. Cerita tentang pertanda do’aku datang sewaktu yang mungkin akan terkabul. Do’a tentang salah satu dari rahasia Tuhan yang paling besar. Jodoh. Semoga prasangkaku kepadaNya benar adanya. Aku tak bisa memastikan tapi aku berharap itu benar. Sepeninggalmu, yang telah meninggalkan bekas-bekas sujudmu di lantai masjid seperti telah tergantikan oleh hadirnya sosok wanita yang telah beberapa hari ini selalu datang ketika waktu sholat tiba.

Percaya atau tidak wanita itu adalah wanita yang pernah kulihat dalam mimpiku setelah aku melaksanakan sholat istikhoroh itu. Bukan bermaksud untuk riya’ tapi ini nyata adanya. Bukan kisah khayalan, mengada-ngada. Dalam mimpiku wanita itu mengenakan mukena putih yang bercahaya. Wajahnya sumringah, cerah seolah aura keimanan mengelilingi tubuhnya. Dia terbang laksana bidadari-bidadari yang sering kudengar ceritanya sewaktu aku kecil dari Abah Kyai. “Merekalah ganjaran untuk orang-orang yang beriman besok di surga besok di akhirat nanti makanya rajinlah kalian ke masjid “begitu kata kyaiku menasehatiku bersama teman-temanku sewaktu kecil.

Ketika sosoknya selalu muncul ketika muadzin mengumandangkan adzan, entah kenapa aku selalu menantikannya di depan gerbang menantikannya. Aku selalu memanfaatkan pandangan pertama yang tidak termasuk kategori zina mata, aku berniat untuk mengagumi dan menyaksikan keindahan ciptaanNya lewak sosok wanita berwajah cahaya itu. Tepatnya telah tujuh hari setelah meninggalmu aku melihat sosok wanita itu keluar masuk masjid. Aku selalu takjub dan tanpa sadar lisanku mengucap memuji namaNya sambil tak berkedip aku memandang sosok itu.

Hari kedelapan setelah sepeninggalmu, aku senantiasa menanti kedatangan sesosok wanita cantik bercahaya itu. tapi di hari ke delapan itu aku tak melihat sosok itu sewaktu adzan subuh dan iqomah dikumandangkan. Aku bertanya-tanya kenapa dia tak datang, apakah sedang berhalangan mungkin?. Yah. Seharian dan semalam itu dia tak pernah datang ke masjid.

Aku mencoba bercerita dengan teman-temanku sesama penjaga masjid tentang sosok wanita bercahaya itu. namun teman-temanku hanya menanggapiku dengan dingin, tak pernah ada balasan pembicaraan yang memuaskanku. “ kau pasti mengada-ada, tak pernah aku lihat wanita berwajah cahaya masuk ke masjid, di waktu pagi, siang ataupun sore hari tiba.” Kata temanku dengan wajah serius. “ setiap hari aku juga hanya melihat serombongan nenek-nenek bungkuk yang telah keriput wajahnya sambil mendekap mukena lusuh itu datang ke masjid. Pasti kau salah lihat. Mungkin kau harus segera ke dokter untuk memeriksa matamu yang minus itu, mungkin tambah parah.” Temanku yang satunya lagi menimpali meyakinkanku bahwa aku salah lihat dan sebagainya.

Setelah terlibat pembicaraan dengan kedua temanku itu, aku semakin bertanya-tanya mengenai kejadian selama tujuh hari yang kualami setelah sepeninggalmu. Aku mencoba menyangsikan dan meyakinkan manakah yang benar antara pengelihatanku dan pengelihatan teman-temanku. Benarkah tak pernah ada, wanita muda berwajah cahaya datang ke masjid sewaktu sholat tiba. Benarkah tak ada cerita tentang seorang wanita yang menolong seorang kakek yang tak lain adalah dirimu sewaktu engkau jatuh menjelang maghrib itu?. aku tak peduli benar atau tidak, yang pasti selama tujuh hari ini aku seperti yelah dibuat gila oleh sosok perempuan misterius itu.

Hari kesembilan sepeninggalmu, aku tak pernah melihat sosok perempuan yang kukira bakal jadi jodohku. Setiap kuceritakan tentang sosok wanita itu pada teman-temanku aku selalu dibilang kumat penyakit halusinasiku tapi aku tak peduli.

Malam ini adalah malam ke40sejak hari kematianmu.sampai sekarang aku masih bertanya siapa wanita tersebut. Semakin hari aku semakin mencintaimu kau selalu ada dalam mimpi2ku. Aku harap kau selalu menemani tidurku disaat dingin malam mulai menusuk tulang. Kau adalah belahan jiwaku tuk selama-lamanya.

Tidak ada komentar: