Senin, 23 Juni 2008

Pertapa di Negeri Angin

Aku ingin merekam bisikan angin

Ketika angin membuat tarian daun-daun

Aku berhajat memenjarakan angin

Saat angin menyajikan sejuta tanya untukku


Hari ini ketika burung prenjak beranjak di antara dedahanan pohon angsana keling yang diterpa hangat mentari. Aku berada di negeri angin, negeri di mana angin menjadi penguasanya. Penguasa yang tak pernah terlihat wujudnya. Tapi aku selalu merasakan keberadaan daya dan kuasanya. Di negeri angin aku hanya merasakan diriku berada dalam genggamannya. Suatu waktu aku takjub kepadanya. Di waktu yang lain aku dibuat takluk olehnya.

Aku duduk di antara pohon bambu wulung. Aku adalah seorang pertapa yang sedang duduk bersila memejamkan mata di atas batu besar yang rata dan lebar. Sementara telingaku asyik berbincang dengan desau angin dan gemerisik daun-daun panjang bambu yang saling bergesekan. Aku baru mengetahui menjadi seorang pertapa harus bisa mengganti fungsi mulutku untuk berbicara. Aku diharuskan untuk banyak mendengar daripada berbicara. Aku harus lebih banyak berbincang dengan nuraniku, dengan pepohonan, semut-semut, nyamuk, dan berbagai binatang di semesta negeri angin.

Sebagai seorang pertapa, aku harus bertekad akan tetap duduk bersila sampai aku berhasil mendapat wisik dari sang penguasa alam lewat angin yang selalu berbisik di antara dedaunan hutan bambu ini. Menyatu dengan alam adalah bagian dari keseharianku sebagai penduduk baru di negeri angin. Aku harus melepaskan kemanusiaanku demi menyatu dengan anasir-anasir semesta. Karena mataku selalu terpejam aku tak pernah melihat rupa dedaunan bambu yang panjang-panjang bergesekan untuk berbisik, berkhotbah menyambut ketika angin datang.

Pagi ini tepat pagi yang ke empatpuluh. Angin masih menerbangkan daun-daun kuning pohon angsana keling yang meranggas, aku masih yang bersila, berpakaian putih lusuh dan rambut panjangku selalu terbang dipermainkan angin. Tiba-tiba dalam mataku yang terpejam aku melihat seperti sorot surya yang kuning keemasan menerpa tubuhku. Kemudian tubuhku merasakan kehangatan yang lebih dari biasanya. Hangat dan hangat hingga mulailah tubuhku terasa terangkat dan ringan seringan tiupanku pada kapas putih untuk terbang menuju angkasa.

Aku mencoba membuka mataku. Dalam pengelihatanku, aku hanya melihat sesosok pertapa yang tak lain adalah diriku sendiri, tepatnya tubuhku sendiri. Sesosok tubuh itu masih bersila, memejamkan mata dan diam mematung bak sang Budha yang sedang bersemedi. Aku mencoba melihat diriku yang baru. Bentuk tubuhku yang baru tetap sama namun begitu aku merasa ringan terbang membubung ke angkasa digerakan oleh kekuatan.

Mungkinkah ini yang dinamakan meraga sukma? Aku tak bisa menceritakan dari mana sumber kekuatan itu mengangkat tubuhku. Aku tak bisa memastikan dari mana rohku keluar dari tubuhku. Apakah dari ubun-ubun, pori-pori kulitku atau bagian tubuhku yang lain. Yang kurasakan setelah sekian lama aku duduk bersila di atras batu besar di antara rerimbunan keluarga bambu. aku merasakan sebuah kekuatan mengangkat tubuhku, dimana kekuatan itu seperti telah menyatu dengan hembusan nafasku yang keluar masuk.

Belum sempat aku berpikir panjang tentang itu. Diriku yang baru telah jauh melesat meninggalkan tubuh sang pertapa berbaju putih lusuh di hutan bambu itu. Dari kejauhan aku memandangi tubuhku yang semakin kurus. Aneh tubuhku justru seakan semakin kuat menancap ibarat paku bumi menancap ke dalam batu besar kesunyian dan kesenyapan, jauh dari peradaban manusia. Saat itulah aku berkeyakinan bahwa aku telah resmi menjadi penduduk negeri angin yang baru. Nafasku telah menyatu dengan nafas angin bahkan mungkin tubuhku kini adalah bagian dari angin.

Aku bisa berkawan dengan angin walaupun aku bukanlah titisan Bayu seperti Bima. Aku hanya pasrah dengan kekuatan yang telah menerbangkanku. Aku tak pernah bercita-cita untuk mencari susuhing angin, sarang angin atau tempat Dewa Bayu bersemayam. Pagi itulah aku yakin bahwa aku telah mendapatkan wisik dari sang penguasa negeri angin untuk memulai pengembaraanku layaknya penduduk negeri angin yang lain. "Hei pertapa, sekarang kau telah menjadi bagian dari negeri angin yang baru. Mulai saat inilah engkau harus berkelana bersama angin. namun satu pesanku, jangan pernah bertanya apapun ketika kau telah terbang bersama angin" itulah isi wisik yang aku yakini datang dari penguasa angin.

***

Selama aku terbang bersama angin, aku berkenalan dengan angin utara. Bersama angin utara aku melihat bagaimana angin utara merubah dirinya sebagai petaka di sebuah negeri. Meluluhlantakkan semua harapan penduduk negeri itu. Aku melihat angin utara dengan gagahnya membongkar dengan paksa istana yang megah yang telah dibangun bertahun-tahun lewat pusaran taupannya. Merantaskan tanaman padi dan rerimbunan labirin jagung yang menguning. Setelah itu dengan cepatnya ia merayap membakar hutan hingga tak bersisa. Tak peduli binatang-binatang yang berkejaran ketakutan dan kebingungan mencari suaka untuk sanak keluarganya.

Bersama angin barat aku juga meraskan hal yang serupa bahkan jauh memperlihatkan rupa angin barat yang awalnya membawa uap air, menyiramkan pada lahan-lahan kering di bawahnya hingga tumbuh menghijau. Angin barat kemudian berbelok ke selatan. Angin selatan yang menjelma tanpa rupa, menghempas permukaan samudra tanpa aba-aba, hanya rasa ngeri yang dibawanya. Angin selatan itu merubah rupa wajah laut yang biru cantik menjadi gelombang hitam yang menggulung-gulung menerjang apaapun yang ada di hadapannya. Angin selatan merubah langit cerah menjadi berguncang guntur dan kilat yang saling bertabrakan. Dari jauh aku melihat orang-orang berlarian, berhamburan seperti anai-anai yang beterbangan dihempas angin.

Sepasang muda dengan asyik menimang buah hatinya kalangkabut mencari tempat perlindungan. Berlari ke sana kemari, namun tiada daya bagi mereka untuk menghindari gelombang raksasa hitam yang menggulung mereka bersama pemulung-pemulung dan anak-anak yang sedang asyik bermain pasir putih di tepi pantai. Lagi-lagi angin beserta gelombang samudra itu menerjang tanpa pandang bulu, tanpa pilih kasih. Jerit tangis, teriakan permintaan tolong tak mampu menyaingi kemarahan samudra yang sedang menunjukkan taring kegenasannya yang sedang melumat sebagian besar isi pantai. Semua dirata tanahkan. Segalanya dirata airkan.

Hari itu tak jelas siang atau malam. Tidak bisa dikatakan siang karena langit begitu menggelayut kehitaman. Namun untuk disebut malam, hari itu ternyata masih ada matahari yang sepertinya telah pasrah kepada kehendak langit dan samudra yang telah menjadi kawan angin selatan. Gelombang dahsyat itu hanya berlangsung sesaat namun dampaknya begitu luarbiasa.

Saat petaka yang meluluhlantakan segala yang ada di pantai itu terjadi, sebagai kawan baru dari angin, aku tak bisa berbuat apa-apa. Berulang kali aku bertanya pada angin kenapa hal ini harus terjadi. Angin yang diam hanya menjawab dengan kekuatannya yang menggandeng guntur dan samudra untuk menyapa manusia dengan prahara. Bahkan saat itu sebagai bagian dari kawan angin, dengan tubuhku yang ringan ini secara tak sengaja aku juga telah menenggelamkan beberapa sampan nelayan miskin yang sedang tertatih-tatih menebar jala dan telah letih menarik pukatnya dari sampan yang telah reyot. Rupanya aku diriku telah berubah menjadi kekuatan angin. Aku hanya berteriak dan berteriak mengingatkan orang untuk menghindarkan diri bersama orang yang dicintainya untuk pergi mencari tempat perlindungan. Namun teriakanku seperti tak pernah terdengar dan sama sekali hampa ditelan dengan deru angin dan gelombang pasang laut yang menghentak dan membuat gempa yang menggemparkan seluruh isi pantai itu. aku baru sadar bahwa teriakanku tidak pernah ada gunanya dan petaka itu tetap terjadi. Setelah puas menerjang semua bersama angin aku terbang berkelana menuju ke timur.

Sebagai teman angin aku selalu bertanya-tanya pada setiap peristiwa yang telah terjadi sedari tadi. Setelah terbang terus ke timur, angin selatan yang garang merubah dirinya menjadi angin timur yang berwarna kekuning keemasan seperti pancaran matahari yang setiap pagi aku rasakan. Aku selalu berhati-hati dan bersiap-siap mencermati setiap gerak-gerik angin namun lagi-lagi sebagai rekan angin aku hanya bisa menurut segala hajat angin yang membawaku berkelana ke timur. Angin timur ternyata berbeda dengan angin selatan yang tak pernah berperikemanusiaan. Penjelmaan angin timur mungkin ketika terlihat oleh manusia akan nampak sangat ramah. Ketenangan dan kelembutan dibawanya untuk manusia dan alam semesta di sekitarnya. Bersama angin aku merasakan bagaimana angin menyapu persawahan hijau dan menguning. Bersama angin aku bercanda dan menggoda pucuk-pucuk dedaunan dan kuncup-kuncup bunga yang bermekaran di halaman rumah seorang kembang desa. Layang-layang dan baling-balingpun dengan penuh cinta kami terbangkan dan kami putar dengan seindah mungkin. Kamipun menyapa dengan sepoi-sepoi, tubuh-tubuh dan wajah-wajah bercahaya yang telah selesai mandi di sebuah telaga desa.

Selama perjalanan itu aku merasakan betapa rasaku bercampur aduk. Aku merasakan rasa yang sebelumnya tak pernah aku rasakan. Tenyata dunia ini bukan hanya hitam dan putih seperti yang selama ini aku imani. Dunia bukan semata-mata yang pernah kita lihat, banyak bagian dunia yang sering kita lupakan bahkan kita hapuskan. Ada hal-hal lain di balik semua yang ada, antara kebahagiaan dan nestapa, antara cinta dan cacimaki, antara senyum dan tangis, antara cahaya dan kegelapan, antara anugerah dan bencana. Setiap detik, setiap kejapan mata semua bisa ada, bisa sirna, bisa berganti tanpa kompromi. Semua bisa berubah menjelma menjadi apa saja seperti angin yang dengan kekuatannya mampu menampakkan berjuta wajah.

Perjalananku bersama dengan angin timur adalah kisah perjalananku yang terakhir yang selalu menimbulkan banyak tanya dalam diriku kepada angin. aku baru menyadari bahwa aku telah lupa dengan isi wisik dari penguasa angin ketika pertama kali aku resmi berkelana terbang bersama angin. namun semua telah terjadi, apapun yang terjadi aku hanya pasrah dan memang aku tak punya kekuatan sebagaimana angin yang selama perjalanan telah menerbangkanku dan memeluknya dalam dekapan yang begitu misterius. Aku ibarat musa yang telah lupa pesan khidir selama dalam pengembaraanya. Tapi yang pasti aku bukanlah musa, aku hanya pertapa biasa yang tinggal di negeri angin.

Angin timur kemudian seperti membawaku terbang melesat menjauhi bumi. Mungkinkah aku akan dibawa ke langit tujuh bersama angin? ah entahlah. Aku terus terbang bersama angin melewati gumpalan tubuh-tubuh awan yang putih selembut kapas. Dari atas aku melihat hamparan laut yang biru dan hijau daratan di sebelah timur dan barat. Sementara di bagian selatan dan utara aku hanya melihat hamparan menghitam, tanah pemukiman, persawahan yang telah luluh lantak. Mayat-mayat yang berserakan, bertumpukan mengenaskan menyatu dengan puing-puing kehancuran dan reruntuhan alam. Kesan dan pesan seperti sengaja ditinggalkan oleh angin kepada semua di dunia ini. Mungkin itulah jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku selama perjalanan bersama angin.

Semakin tinggi dan jauh aku terbang, semakin membuatku tak tahu kiblat tujuan. Begitu lama aku terapung-apung, melanglang buana di jagad negeri antah berantah akhirnya aku merasa angin menerbangkanku turun. Jauh ke bawah yang tak pernah dan mungkin tak pernah mungkin aku ketahui letak dalam petanya. Semakin mendekat aku semakin melihat sebuah pulau kecil, hijau rimbun pepohonan dan sampailah aku di tempat yang tak lagi asing bagiku. Di mataku terlihat hutan bambu wulung. Aku melihat sesosok tubuh tengah bersila di atas batu besar lebar sambil memejamkan mata yang tak lain adalah tubuhku.

Semakin jauh aku meninggalkan langit dan semakin dekat aku dengan sosok pertapa itu namun aku semakin tak sadar. Aku kembali merasakan kekuatan yang dengan cepat telah memasukkanku ke dalam jasadku. Lagi-lagi aku tak pernah tahu bagaimana dan lewat mana sukmaku kembali dalam tubuhku. Aku hanya merasakan bahwa sepoi angin senja telah menyapu wajahku sambil menerbangkan daun-daun panjang pohon bambu yang tepat mengenai batang hidungku hingga membuatku tersentak.

Kubuka kelopak mataku yang telah sekian lama terpejam dan kusadari nafasku telah berpisah dengan nafas angin. mataku kembali terbelalak menatap wajah surya yang mulai temaram di sela-sela pucuk bambu. cakrawala telah memerah dan awan-awan yang berarak begitu cepat berjalan dipermainkan angin yang telah beberapa lama telah menjadi sahabatku. Aku tersadar bahwa aku masih duduk bersila di atas batu besar sebagaimana biasanya. Kembali aku dipermainkan oleh pikirku. Sejuta tanya kembali memenuhi pikiranku. Kenapa angin tiada berujud namun hanya bisa melihat lewat bekas-bekas petilasan-petilasannya. Mengapa angin sepertinya tak pernah pilih kasih dan pandang bulu untuk singgah di suatu tempat. Kenapa angin tak pernah memandang siapa saja yang ingin disapa dan diterjangnya. Bagaimana dengan sawah yang telah menghijau. Bagaimana dengan mayat yang berserakan di pantai yang telah hancur itu. bagaimana dengan wajah gadis yang telah disapunya ditepi telaga itu.

Aku semakin sibuk dengan pertanyaan yang tak pernah kunjung aku jawab. Sementara mataku telah melihat matahari yang selalu bergegas untuk terbenam di balik pucuk-pucuk ranting pohon jati yang meranggas. Rumput-rumput menunduk lemah menyentuh tanah. Sementara sekawan burung prenjak sibuk mencari anaknya yang belum pulang karena baru tadi pagi mereka baru saja belajar terbang. Mungkin telah dibawa terbang bersama angin, pikirku.


Purwokerto, 6 Juni 2008


Tidak ada komentar: