Jumat, 27 Juni 2008

perempuan, anak kecil dan mata air

Pagi itu perempuan-perempuan berkerumun di rumah Warsih bak sekawanan lebah mengerubungi sarang. Di dalam rumah, lantunan sendu ayat-ayat Tuhan terdengar parau menyayat. Permpuan-perempuan itu berkerudung. Di luar rumah perempuan-perempuan sibuk berbicara, meributkan Parjo, suami Warsih yang tak kunjung pulang Serombongan prenjak kelaparan berkicau, bersahut-sahutan di sisi kanan kiri rumah Warsih, seolah mangabari tamu yang datang akan semakin banyak. Kokok ayam yang kesiangan tak mau kalah menganyam dedaunan kering. Kabut begitu tebal dan dingin. Surya di ufuk timur menampakkan wajah yang lesu. Awan-awan yang muram bergelayut tapi tak pernah menandakan akan hujan.
***

Musim kemarau yang panjang mengakibatkan orang-orang di pedukuhan itu mengerumuni sebuah sumur satu-satunya yang menyembulkan air kehidupan. Entah mengapa beberapa tahun ini kemarau panjang menyedot segala sumber air di dukuh miskin itu. Dulu, dukuh itu sangat berlimpah air.

Kisah tentang pesta dan pertunjukkan ronggeng selalu menjadi tema cerita wajib setiap musim panen tiba. Si Pardi ikut menari bersama admi, penari ronggeng yang menjadi idola di seluruh desa. Si Parmin yang suka nyawer sampai-sampai uangnya habis dan sering dipaksa pulang oleh isterinya yang pencemburu. Si Darkim tuan tanah yang sering menjadi bos dalam rekor nanggap ronggeng setiap musim panen tiba. Kyai Somad yang selalu sibuk karena kebanjiran order untuk memimpin do'a selamatan di setiap rumah penduduk yang akan memanen padinya. Cerita si anu yang seperti ini, seperti itu. Sekarang semua itu musnah, hilang, masuk ke dalam lubang-lubang tanah yang menganga kekeringan.

Dulu hampir setiap rumah memiliki hewan ternak hingga ada cerita yang menyebutkan bahwa Si Parjo adalah juragan kambing yang mempunyai kambing ratusan ekor. Si Kamitem, janda tua yang hanya memiliki 2 ekor, dialah yang paling sedikit. Padang rumput hijau yang menghampar berdampingan dengan lapangan desa selalu menjadi arena gembala ternak warga. Banyak anak-anak yang menjadi gembala. Anak-anak bermain layang-layang yang terbuat dari daun simbar dan baling-baling besar tipis dari kayu pohon waru. Suara sawangan layang-layang dan putaran baling-baling itu selalu menjadi instrumen musik alam yang selalu mengiringi prosesi penjamuan para hewan gembala. Setiap bulan Haji tiba, warga desa panen uang karena penjualan hewan kurban. Setiap musim haji pasti rumah Si Darkim selalu di serbu orang karena dialah yang selalu mengadakan hewan kurban yang paling banyak.

Lumbung padi di balai kelurahan dulu selalu penuh bahkan selalu luber tapi sekarang lumbung itu hanya berisi tikus-tikus yang kelaparan yang mangais sisa-sisa bulir padi yang kering. Tak jarang ditemui bangkai tikus yang telah mati. Balai desapun sekarang tak berpenghuni. Entah pergi ke mana pamong desa yang dulu selalu berbaju dinas melayani warga desa. Sekarang tak terdengar lagi suara sapa petani desa yang selalu berangkat bersama ke sawah sambil memanggul cangkul dan sabit. Tak ada lagi suara lecut cambuk pembajak sawah dan suara kerbau yang patuh ketika tali hidungnya ditarik oleh para pembajak sawah. Tak pernah lagi terlihat wajah anak-anak yang berbalur lumpur dan tawa yang menyeriangi mereka ketika mereka di sawah mencari bibis dan anak kodok yang kecil, yang jarang sekali mereka dapat tangkap. Yang ada sekarang hanya anak-anak berperut buncit, mata cekung dan digandeng ibu mereka yang berwajah lusuh. Tak ada lagi layang-layang, tidak pula baling-baling.

Setiap pagi, siang dan sore yang terlihat di pedukuhan desa itu hanyalah perempuan-perempuan dan anak-anak pembawa jligen air. Kemarau panjang telah menelan segala yang ada di desa terpencil itu. ranum tubuh muda perempuan-perempuan desa itu telah terhisap oleh ganas kemiskinan. Hatinya yang seharusnya mekar kini telah merana karena tak ada lagi laki-laki yang seharusnya melindungi. Satu-satunya peninggalan suaminya adalah anak-anak mereka yang selalu menyanyikan lagu kelaparan dan keputus asaan. Anak-anak mereka telah hafal dengan jligen-jligen air yang selalu menjadi hidangan sarapan. Tulang-tulang rawan dan tubuh mereka yang kecil sudah terlalu biasa menanggung beban pikulan jligen yang berat itu. Mata cekung dan kaki mereka sudah sangat hafal dengan rute panjang pencarian harta karun. Air.
***

Berbondong berjalan, saling menyalip, saling berlari menuju tempat mata air yang mengeluarkan air perlahan-lahan, tetes demi tetes. berjam-jam menyusuri bebatuan terjal, menapaki jalan yang tidak selalu lurus dan mulus. Perempuan-perempuan berwajah tua itu terus berjalan. Mereka menyusuri jalan yang sama karena memang hanya itu satu-satunya jalan menuju mata air itu. Entah kenapa mata air itu hanya satu-satunya yang menyembulkan air. Sementara sumber air yang lain telah kering. Letaknya juga begitu jauh di balik lipatan pegunungan itu. Dari kejauhan terlihat mereka dan keempat anak kerdil berjalan menelusuri kelok pegunungan berbatu cadas. Anak-anak di pedukuhan itu sudah biasa mengangkut air. Mereka tak pernah lagi merasakan bermain air apalagi berenang dan menyelam di dalam air. Wajah mereka yang terlampau kering dan menjadikan mereka dewasa sebelum saatnya.

Hilir mudik perempuan-perempuan itu berjalan tergesa-gesa mengangkut jligen-jligen air. Sementara mata air tetap saja mengeluarkan air tetes demi tetes. Mereka berjalan beriringan dan wajib berpapasan ketika melewati jalan itu. jalan yang menanjak, berkelok dan terjal mengharuskan mereka untuk berhati-hati ketika melangkah. Lumut dan tanaman sebangsanya tak pernah tumbuh di jalan bebatuan pegunungan itu. lumut memang tak pernah kuat untuk hidup di sana. mulut jurang berbatu cadas runcing lagi pucat menganga berada di samping jalan itu. konon dulu sekali di bawah jurang itu mengalir sungai yang airnya sangat jernih. Sungai itulah yang menjadi sumber kehidupan warga desa itu.

Keempat anak kecil yang berjalan beriringan, berbalapan. Mempercepat langkahnya dan saling tertawa, namun tawa mereka tak bersuara. Setelah puas dengan saling beradu kecepatan jalan. Mereka berlomba melempar sejauh-jauhnya kerikil ke arah atas dasar jurang yang selalu mengangakan mulutnya. Mereka melempar bergantian. Senyum kemenangan tersungging dari salah satu anak pelempar terjauh. Sedangkan pelempar terjauh kedua, ke tiga dan ke empat memasang wajah masam. Ketiganya terpaksa berjalan mengikuti sang pelempar terjauh yang mendapat hadiah berjalan paling depan dan urutan pertama dalam mengambil air. Tak pernah ada suara tawa dan teriakan, hanya tepukan kecil. Mereka terus berjalan sambil memikul jligen air kosong. Salah satu dari mereka yang kalah, melempar kembali kerikil kecil ke dasar jurang. Lengan kecil dan ayunan yang lemah itu rupanya mampu melemparkan kerikil menuju dasar jurang. Kerikil itu terlempar tepat di atas mulut jurang. Terbang lambat dan pelan mencapai ke bawah. Sebentar kemudian terdengar berkali-kali bunyi ketukan-ketukan kecil menggema dari dasar jurang itu.

Keempat anak kerdil itu saling bercerita, bertanya kapan bapaknya pulang dari kota. Apa oleh-oleh atau mainan yang bapak bawa. Berapa uang yang bapak bawa. Pertanyaan itu terus ditanyakan berulang-ulang. Jawaban mereka hanya tidak tahu. Mungkin sebentar lagi bapak pulang bawa uang, bawa mainan, dan bawa uang untuk ibu mereka. Sudah bertahun-tahun bapak tak pulang. Memang mereka tak pernah tahu kalau bapak mungkin tidak akan pulang karena malas kembali ke desa yang tak ada airnya, karena air harus diambil dari balik pegunungan, melewati jalan terjal berbatu, menghindari jurang dalam yang menganga. Lebih kerasan di kota daripada di desa. Di desa hanya ada isteri-isteri berwajah tua, keriput tak berisi dan anak-anak kerdil. Lain dengan di kota, setiap malam tersedia wajh-wajah muda dengan tubuh yang ranum berjajar di jalanan ataupun di gang-gang berlampu remang.

Keempat anak itu terus membanggakan bapak mereka yang tak kunjung pulang. Tema itu seolah bisa menepis rasa lelah dan kejenuhan mereka. Hampir setiap hari, tema itu terus berulang-ulang diceritakan. Kata Si Narto, bapaknya paling hebat karena bisa menaiki gedung bertingkat. Kata Si Waru, bapaknya paling kuat karena bisa mengangkat beberpa kantong semen sekali angkat. Kata Si Dadap, bapaknya paling baik karena bisa memasak sedemikian banyak untuk makan banyak orang. Bapak Paino lebih hebat lagi karena bisa memecah batu sedemikian banyak dalam sehari. Mereka berlomba bercerita. Masing-masing menjagokan bapaknya sambil terus berjalan bersama para perempuan pencari air. Mulut-mulut perempuan itu seperti terkunci, diam tanpa kata, kalimat apalagi teriakan. Di atas langit matahari terus menyala-nyala. Angin kering menggoyang pucuk-pucuk ilalang. Elang berteriak, memekik mencari mangsa.
****

Para perempuan dan keempat anak kerdil itu telah sampai di tempat mata air. Di puncak bukit itu tumbuh sebatang pohon jati besar yang sedang meranggas dan pohon beringin rindang yang akar gantungnya telah mencapai tanah. Selain dua pohon itu, hanya ada ilalang yang tumbuh. Dari tempat itu terlihat lembah-lembah yang merupakan pedukuhan desa. Di kanan kirinya juga berjajar perbukitan yang memanjang. Di antara kedua pohon itulah sebuah sumur telah dibuat warga karena di situlah satu-satunya sumber mata air warga desa itu. Di tempat itulah para perempuan dan keempat anak itu berkumpul, menunggu giliran untuk mengambil air.

Keempat anak itu duduk berteduh di bawah rimbunnya akar beringin. Mereka bermain bergelantungan. Ibu mereka sering melarang mereka, karena tempat itu angker katanya. Perempuan-perempuan di sekitar sumur telah berkerumun. Terik matahari memaksa mereka untuk menutupi kepala mereka. Ada yang menutupi dengan kain jarit dan ada pula yang menutupinya dengan daun jati kering. Jligen-jligen air berbagai ukuran telah berjejer, berkumpul dan berserakan,. Mereka menganga kehausan, menunggu sang empunya yang berebut air di sumber air satu-satunya di desa itu.Tingkah mereka gelisah dan tatapannya tajam ketika melihat butiran-butiran air masuk kedalam jligen. Sumpah serapah keluar dari mulut mereka ketika melihat seorang perempuan menumpahkan air yang ditimbanya. Butiran-butiran air yang tumpah ke tanah, berubah menjadi butiran dan gumpalan debu-debu. Seandainya bisa, mungkin mereka akan memungut butiran-butiran air yang telah tumpah itu.

Suasana menjadi gaduh ketika dua orang perempuan beradu mulut. Saling menyumpah, mencaci satu sama lain. Anjing, celeng, pelacur, perempuan sundal, setan. Selalu saja kata-kata jenis itu yang keluar dari mulut-mulut mereka. Saling tunjuk menunjuk. Saling menjambak rambut dan bergulat di atas tanah yang berdebu tebal. Perempuan yang satu menuduh perempuan yang lain mencuri jligen dan yang lainnya mengaku melihat perempuan lawannya pernah menumpahkan air dalam jligennya dan pernah selingkuh dengan suaminya. Pertengkaran itu tak pernah dilerai apalagi dipisah. Keempat anak kecil kembali bertaruh siapa pemenang pertengkaran kedua perempuan itu. Pertengkaran antar perempuan berebut air, giliran menimba, berebut suami dan jligen sudah biasa terjadi.

Gulat kedua perempuan masih berlangsung dan taruhan keempat anak kecil itu berlanjut. Perempuan-perempuan pencari air tetap menunggu giliran. Tiba-tiba dari arah jalan satu-satunya terlihat perempuan berjalan sempoyongan. Tak sempat berteriak, akhirnya tubuhnya roboh memecah kerumunan. Dua perempuan memapahnya, menidurkannya di bawah beringin. Keempat anak itu menungguinya. Desas-desus, bisik-bisik pembicaraan menjalari kerumunan perempuan. Mereka saling bertanya, menjawab tentang sebab musabab Si Parsem pingsan. Mungkin lapar, letih, penyakit asmanya kumat. Itulah jawaban mereka.

Seorang perempuan kemudian datang lagi, sempoyongan, mencoba berlari, terengah-engah dan menabrak kerumunan. Pikulan dan kedua jligen kosongnya jatuh ke tanah. Ujung pikulan dan jligen itu memukul ke tanah. Debu yang kaget beterbangan kesana kemari. Perempuan yang itu sebelum pingsan, mengucapkan satu nama. Warsih. Dua orang memapahnya, membaringkannya di bawah beringin berdampingan dengan seorang perempuan yang sebelumnya juga pingsan. Bisik-bisik pembicaraan semakin ramai dan berganti pertanyaan dan kemungkinan jawaban mengenai seseorang. Ada apa dengan Warsih?

Salah satu dari keempat anak kecil yang mendampingi kedua perempuan yang pingsan berlari menuju kerumunan perempuan. Dia kemudian berbicara dengan Poniem, perempuan yang sedang menimba air. Tangan Narto yang kecil menunjuk Parsem yang telah siuman. Parsem memberi tahu perihal Warsih kepada Narto. Setelah mendengar perihal tentang warsih, Poniem yang tak lain adalah kakak Warsih langsung roboh. Timba air itu lepas dari tangannya. Tubuhnya jatuh mengenai jligen yang telah terisi air. Dua orang mencoba memapahnya. Beberapa perempuan yang lain berebut jligen air yang tumpah dan beberapa yang lain lagi berebut timba air. Sementara mata air sumur itu tetap saja menyembulkan air tetes demi tetes.
****

Dari jauh terlihat beberapa perempuan sedang merayap ke dasar jurang. Sebagian perempuan yang lain menunjuk-nunjuk tangannya sambil melongokkan kepalanya ke mulut jurang. sebagian lagi mengulurkan tali panjang. Kemudian setelah beberapa lama, sesosok mayat perempuan ditarik dan diangkat beramai-ramai dari dasar jurang. Dua jligen air dan pikulan terlihat tergeletak jauh di bawah sana. "Beruntung Warsih, sekarang dia sudah tenang. Dia takkan pernah lagi memikul jligen air. Dia takkan pernah pusing lagi memikirkan bagaimana dia makan esok hari dan suaminya tak kunjung pulang. Sekarang tinggal kita yang harus pusing dan capai mencari air untuk memandikan jenasahnya" ungkapan itu keluar dari seorang perempuan. Kemudian yang lain membalas "Ya, benar juga tapi apakah Warsih itu benar-benar mati karena jatuh terpeleset ke jurang atau jangan-jangan bunuh diri ?". Keduanya berpandangan.

Senja tua mulai menapaki malam sementara mata air sumur di atas perbukitan tetap mengeluarkan air perlahan. Mayat Warsih di gotong para perempuan karena tak ada lelaki yang kunjung datang.

Purwokerto, 28 Juni 2008

Tidak ada komentar: