Minggu, 25 Mei 2008

cerpen dari ranesi

Kisah Cinta Haruye


Teguh Winarsho AS

15-05-2006

nenek100.jpgSETELAH tahun-tahun luruh menjelma keriput, uban dan tubuh gemetar, apalagi yang bisa kuingat dari semua kejadian itu?

Stasiun Tugu Jogja siang hari. Ini adalah perjalanan pertamaku dengan kereta yang akan mengantar impianku menjadi seorang pemain sandiwara. Masih kuingat senyum Ndoro Mantri yang mengantarku sampai pintu gerbang rumahnya. Ada getar lembut di mata laki-laki tua itu. Ada ketulusan yang terpancar. Ia mengizinkan aku keluar sebagai abdi dalem di rumahnya dan mendorong cita-citaku menjadi pemain sandiwara. Ya, ini kesempatan emas yang diam-diam sudah lama kutunggu. Mungkin sejak aku kanak-kanak, ketika Belanda masih berkuasa. Atau sejak kematian Bapak di siang bolong hanya beberapa menit setelah kuhidangkan teh panas kesukaannya.

Masih kukantongi selembar tiket pertunjukkan sandiwara grup Panjta Soerja sewaktu pentas di ndalem Notoprajan. Aku selalu terpukau melihat penampilan mereka. Diam-diam sudah lama aku ingin menjadi bagian dari mereka. Menjadi orang yang selalu dielu-elu kehadirannya. Disambut takjub dan hangat. Ditatap binar beratus pasang mata. O, seandainya Bapak masih hidup, tentu beliau akan senang melihat anak perempuan bungsunya sedang mengejar cita-cita menjadi pemain sandiwara.

Stasiun Tugu Jogja masih sepi. Tentara Jepang yang baru datang ke Indonesia terlihat mondar-mandir. Aku duduk di bangku ruang tunggu bersama teman-teman yang sudah datang lebih awal. Ada dua puluh orang lebih, semuanya perempuan. Menurut jadwal kereta akan berangkat pukul setengah dua siang. Kami tinggal berangkat. Semua tiket dan surat jalan sudah diurus oleh Samadikoen, pimpinan grup Pantja Soerja yang merekrut kami. Tapi laki-laki kerempeng yang tak pernah berhenti merokok itu belum kelihatan batang hidungnya. Juga dokter Seighenji yang tempo hari memeriksa kesehatan kami. Tak kuduga mata laki-laki tua Jepang yang sipit itu rupanya bisa mengerjap lebar ketika memeriksa kesehatan kami. Ya, kami semua tak luput dari pemeriksaan jika ingin berangkat. Kami harus membuka pakaian untuk diperiksa. Aku sempat heran, kenapa untuk menjadi pemain sandiwara harus diperiksa begitu rupa?

Tapi aku tak berani protes. Aku takut tak bisa berangkat. Benar, tidak semuanya bisa lolos. Ada beberapa orang yang tak boleh berangkat. Tapi aku beruntung bisa lolos setelah memalsu umurku. Aku masih tiga belas tahun, tapi aku bilang enam belas. Tubuhku memang subur, tinggi besar. Beberapa hari kemudian Samadikoen menemuiku untuk memastikan keberangkatanku.

Borneo. Aku baru mendengar nama itu. Tapi aku harus pergi ke sana demi cita-citaku. Kutinggalkan kampung halaman dan segenap kenangan bersama Bapak dan Ndoro Mantri. Di Borneo aku akan menjemput impianku menjadi pemain sandiwara. Menjadi bintang terkenal! Tapi menunggu Samadikoen berjam-jam di stasiun membuat hatiku gusar. Aku kawatir tak jadi berangkat. Banyak tentara Jepang yang mondar-mandir membawa bedil.

Tak lama kemudian Samadikoen datang tergopoh-gopoh. Napasnya ngos-ngosan, wajahnya pucat. Samadikoen segera menyuruh kami naik di gerbong lima, dekat gerbong makan. Inilah awal perjalananku yang sebenarnya. Ke Surabaya. Deru kereta membelah senyap hutan, ladang dan sawah-sawah. Sedetik pun kami tak memejamkan mata lantaran bahagia. Aku, dan banyak lagi yang lain memang baru pertama kali naik kereta. Kukira aku akan mabuk seperti naik bus. Tapi ternyata tidak. Angin yang masuk dari jendela terus membuat tubuhku segar.

Sepanjang perjalanan pikiranku terus melayang di Borneo, di mana aku akan memulai karierku sebagai pemain sandiwara. Tengah malam kami sampai di Surabaya. Kami dijemput dengan truk yang dikemudikan oleh seorang tentara Jepang. Awalnya aku merasa aneh karena setahuku tak ada tentara Jepang yang terlibat dalam perjalanan ini kecuali dokter Seighenji yang memang diperlukan karena profesinya sebagai mantri kesehatan. Tapi aku segera melupakan keanehan itu. Perasaan bahagia mengalahkan semuanya. Lagi pula teman-teman lain tak ada yang merasa curiga. Truk segera bergerak membelah kota Surabaya yang sudah tidur lelap. Kami tak tahu mau dibawa ke mana. Samadikoen duduk di depan bersama sopir.

Beberapa saat kemudian truk berhenti di halaman rumah yang lumayan besar. Beberapa lampu di dalam rumah menyala terang. Setelah turun baru kuketahui rumah itu milik Bang Sani, salah seorang anggota grup sandiwara Pantja Soerja. Kami menginap di sana. Meski tak kenal dengan Bang Sani, tapi aku sudah sering melihat penampilannya saat pentas di Ndalem Notoprajan. Hampir satu minggu kami menginap di rumah Bang Sani sambil menunggu kapal menuju Borneo, Kalimantan.

Akhirnya kapal yang ditunggu datang. Inilah perjalanan yang paling meletihkan. Selama dua hari dua malam kami berada di tengah laut, dihempas gelombang dan badai. Berkali-kali aku mabuk dan hampir pingsan. Aku sering berpikir, apa yang terjadi jika kapal yang kutumpangi tiba-tiba tenggelam? Bagaimana dengan impianku? Cita-citaku? Tapi meski sesekali oleng, kapal itu terus melaju. Ada banyak tentara Jepang di dalam kapal. Bahkan kukira merekalah yang bertindak sebagai Anak Buah Kapal. Lalu, suatu malam, di tengah udara dingin menikam dan dalam samar cahaya bulan, aku melihat beberapa orang yang berangkat bersama kami dari Surabaya berhubungan intim dengan Anak Buah Kapal. Aku miris dan nyaris tak percaya menyaksikan pemandangan itu. Siapa sebenarnya para perempuan itu?

Pagi hari kami tiba di Kalimantan. Kakiku gemetar menginjak tanah Kalimantan. Inilah tempat yang akan menyulapku menjadi pemain sandiwara terkenal. Tapi udara masih terlalu dingin. Tubuhku terus menggigil. Perutku lapar karena selama di kapal aku kehilangan nafsu makan. Lagi-lagi kami dijemput truk dengan sopir tentara Jepang. Aku semakin merasa aneh, apalagi sejak menyaksikan pemandangan tak senonoh di atas kapal. Tiba-tiba aku sering disergap cemas. Bayang-bayang buruk terus menghantuiku seperti hantu. Tapi tak ada lagi tempat untuk bertanya.

Satu setengah jam kemudian truk berhenti di depan sebuah rumah panggung besar terbuat dari papan kayu yang kelihatannya masih baru. Rumah itu mirip asrama dengan puluhan kamar di dalamnya. Ada pagar setinggi hampir empat meter mengelilingi asrama dengan pintu gerbang dijaga ketat beberapa tentara Jepang. Ini benar-benar pemandangan ganjil. Aku semakin yakin banyak tentara Jepang yang terlibat dalam perjalanan kami. Tapi untuk apa?

Turun dari truk kami digiring masuk ke dalam asrama. Masing-masing dari kami mendapat jatah kamar, pakaian, sarapan pagi dan peralatan mandi. Aku menempati kamar nomor dua belas dengan jendela di belakang yang jika dibuka akan segera berhembus bau lumpur dan tetumbuhan segar. Selama beberapa hari kami tinggal di asrama, hanya makan dan tidur, tak boleh keluar. Diam-diam aku menunggu kapan kami mulai dilatih main sandiwara. Aku sering bertanya-tanya, siapa yang mau melatih kami bermain sandiwara? Apakah tentara Jepang?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus melingkar-lingkar dalam kepalaku. Hingga suatu malam, malam yang bertabur gerimis pedih, kutemukan semua jawabannya. Aku baru selesai makan sore ketika kudengar seseorang mengetuk pintu kamar. Aku mengira yang mengetuk pintu penjaga asrama, tapi ternyata seorang tentara Jepang. Ia langsung masuk begitu pintu kubuka dan menguncinya dari dalam. Ia tersenyum dan sempat menyapaku dengan bahasa Jepang, pendek-pendek, tapi aku tak tahu artinya. Berkali-kali kudengar ia memanggil namaku Haruye. Padahal namaku Lasiyem.

si-mbah190.jpgSuasana asrama begitu lengang. Aku tiba-tiba merasa takut berhadapan dengan laki-laki itu. Mestinya aku berpikir bahwa laki-laki itu akan melatih main sandiwara. Tapi pikiran seperti itu sama sekali tak muncul di kepalaku. Aku justru menemui kenyataan lain, bayang-bayang buruk terus mengepung kepalaku. Firasatku mengatakan sesuatu buruk bakal menimpaku. Benar. Senyum laki-laki itu semakin lebar, menyeringai, sambil melepas pakaiannya. Dadanya penuh bulu. Kumisnya terus bergerak-gerak. Ada kilat di matanya. Ia mulai berjalan pelan mendekatiku. Aku menggigil di pojok kamar.

Aku masih meringkuk di pojok kamar, saat kurasakan tangan kekar laki-laki itu menarik lenganku dari belakang. Aku berusaha menepis tangan laki-laki itu, tapi tak berhasil. Tangan laki-laki itu kokoh dan justru semakin bernafsu. Menyentak tubuhku ke dalam dekapannya, lalu dihempas di ranjang. Pinggangku terasa ngilu membentur gigir ranjang. Dan, aku hanya bisa menangis saat laki-laki itu mulai melepas paksa pakaianku. Malam mendidih. Impianku menjadi pemain sandiwara musnah. Dan, rupanya malam masih teramat panjang. Lebih panjang dari derita awal yang kualami. Usai laki-laki itu melampiaskan nafsu setannya, datang lagi teman-teman yang lain. Sampai pagi. Ketukan pintu selalu membuat aku takut, serasa ingin bunuh diri.

Setiap malam aku harus melayani berpuluh laki-laki tentara Jepang yang tak bisa kuingat wajah mereka satu per satu. Ya, aku tak bisa mengingatnya karena mereka adalah mimpi burukku. Aku justru sering teringat dengan Antoni Van Moller, laki-laki Belanda yang masih tertahan di Kalimantan. Aku berkenalan dengannya ketika beberapa kali dapat izin keluar asrama di hari-hari tertentu dengan waktu yang terbatas. Kepada Antoni kuceritakan semua penderitaanku. Awalnya aku memang ragu karena dia orang asing. Tapi rupanya Antoni Van Moller laki-laki yang baik dan penuh perhatian. Aku semakin dekat dengannya. Aku juga bisa merasakan ada perhatian khusus yang diberikan Antoni pada diriku. Hingga suatu kali dia mengutarakan perasaan cintanya padaku. Sejak itu diam-diam kami menjalin hubungan asmara.

Tapi hubungan itu akhirnya diketahui Hikaro, seorang tentara Jepang. Hikaro marah-marah memukul dan meludahi wajahku. Ia tidak senang melihat aku menjalin hubungan dengan Antoni Van Moller. Suatu hari aku menemui Antoni dan kuceritakan apa yang baru menimpaku. Antoni sangat sedih dan prihatin. Dengan bahasa Indonesia yang patah-patah ia bilang ingin mengawiniku dan membawaku ke Belanda. Aku senang sekali mendengar kata-kata itu, meski aku masih sedikit ragu apakah bisa meninggalkan negeriku. Lagi pula aku masih dalam kekuasaan tentara Jepang yang arogan. Tidak mudah bagiku untuk bisa kabur dari asrama bersama Antoni Van Moller.

Dengan pura-pura sakit untuk sementara waktu aku tidak melayani tentara Jepang. Aku dapat izin periksa ke rumah sakit, tapi kesempatan itu kugunakan untuk menemui Antoni. Kukira kami sungguh-sungguh saling mencintai hingga sutu hari aku merasakan perutku mual, mulas. Dokter yang setiap hari sabtu datang ke asrama mengatakan bahwa aku hamil. Antoni Van Moller sangat senang sekali saat kuceritakan hal itu. Ia sudah tak sabar ingin mengawiniku dan mengajakku ke Belanda.

Kehamilanku akhirnya diketahui Hikaro. Ia sangat marah dan mengerahkan teman-temannya untuk mencari Antoni Van Moller. Aku dijaga ketat tak boleh keluar asrama untuk alasan apa pun. Aku sangat cemas sekali. Aku takut terjadi sesuatu buruk menimpa Antoni. Hingga suatu hari penjaga asrama memberiku sebuah amplop berisi sejumlah uang dan secarik surat tulisan tangan Antoni Van Molller:

"Lasiyem… maaf, akoe tidak bisa tinggal lebih lama lagi di Indonesia. Akoe memang haroes poelang. Apalagi Hikaro dan teman-temannya teroes mentjari ingin memboenoehkoe. Lasiyem... akoe sangat mentjintaimoe. Akoe ingin mengadjak kamoe ke Belanda. Tapi waktoekoe amatlah singkat. Djika kamoe mentjintaikoe goenakan oeang ini oentoek ongkos ke Belanda. Akoe kan selaloe menoenggoemoe. Satoe pesankoe, peliharalah anak jang sedang kamoe kandoeng. Itoe adalah anakkoe. Salam sajang. Antoni Van Moller"

Aku gemetar membaca tulisan tangan Antoni Van Moller. Uang di tanganku jatuh berhamburan di lantai. Wajah Antoni terus menari-nari di pelupuk mataku. Aku semakin yakin ia benar-benar mencintaiku. Ia telah banyak berkorban untuk diriku. Aku juga mencintainya, hanya aku tak terlalu yakin apakah aku siap berkorban untuk dirinya. Sampai kini. Ya, sampai kini, setelah tahun-tahun itu luruh menjelma keriput, uban dan tubuh gemetar. Antoni Van Moller hanya menjadi bayang-bayang yang hanya bisa kutemukan pada bola mata anak laki-lakiku semata wayang: Soegeng Moller.

Jakarta, 2005

Tidak ada komentar: