Kebetulan aku seorang penjaga masjid.
Sore hari selalu dari kami mengepel bergantian dan kadangkala bersama-sama. Yah katanya biar masjid ini kelihatan bersih mengkilap. Katanya sebagian dari iman itu kebersihan. Eh mungkin kebalik ya…kebersihan sebagian dari iman. Memang telah lama aku mengalami gejala keterbalikan dan serba berbeda dari biasanya. Aku seringkali terbalik-balik dalam menyusun kata-kata dalam setiap harinya. Arah tidurpun selalu sangat kontra arah dengan sahabat sekamarku, kepalaku dibagian kepalanya dan kepalanya di depan kakiku. kebetulan aku tidur dengan sesame pria setipa malamnya.
Ketidakberesan dan kekacauan pikiranku ini aku tidak tahu pasti apa penyebabnya. Pernah aku berpikir sebab semua ini mungkin karena aku kebetulan kuliah di sosiologi,efek dari kuliah dari dekonstruksi Derida atau Foucault. Ah…tapi….setelah aku amati ternyata teman-teman sosiologi juga normal-normal saja, berarti hipotesisku bisa saja salah. Aku selanjutnya mencari jawaban lain yang lebih logis.
Tapi lagi-lagi aku tak pernah puas, selalu saja aku merasa jawabanku sangat irrasional. Sementara aku pernah berkesimpulan mungkin karena aku tinggal di mesjid. Karena konon katanya mahasiswa yang tinggal di masjid berbeda dengan mahasiswa yang tinggal di kos-kosan. Lagi-lagi katanya. orang yang tinggal di masjid terkendali imannya, tapi sekali lagi pernyataan itu aku serta merta kusangkal dengan keras. Yah….tapi mungkin juga ada benarnya juga sih….jadi ngelantur ceritanya.
Kebetulan aku seorang penjaga masjid.
sore itu aku mengepel dengan temanku bertiga. Sementara udara dingin dan gerimis hujan seolah sangat kerasan dan betah mengguyur kota kecil ini. Kami bertiga berbagi tugas, sahabatku yang satu membenahi karpet di dalam masjid yang berantakan karena ulah anak-anak TPA yang bermain sewaktu mengaji, belajar membaca huruf Hijaiyah dan Al Qur An.
Sahabatku yang satunya dengan gagah memegang sapu yang telah pendek gagang sapunya. Sementara aku memegang tongkat pel dengan ember air yang berisi setengah saja. Aroma pewangi lantai dalam ember itu seolah menjadi shock terapi bagiku yang baru saja kuliah dengan dosen killer yang menjemukan tadi siang. untuk mahasiswa dengan intelegensia pas-pasan seperti aku, nilainya pelit, tugas-tugasnya berbelit-belit dan terlampau sulit,
Kebetulan aku seorang penjaga masjid
Masjid yang aku tempati bersama kedua sahabatku di pinggir jalan, bahkan sangat dekat dengan jalan yang selalu ramai dengan lalu lalang kendaraan dan juga pedagang makanan yang setiap sore selalu berjajar berjualan melayani mahasiswi-mahasiswa cantik berkulit putih yang selalu menjadi impian lamaku dan selalu menjadi impian terbaruku. Bagiku waktu dulu atau sekarang itu tak ada bedanya, karena menurutku aku masih saja seperti dulu, tetap sama. Tetap sama sebagai mahasiswa yang tinggal di masjid bersama kedua sahabat setiaku. Sama-sama sebagai santri pak kyai. Sama-sama sebagai mahasiswa yang sudah semester sepuluh tapi belum lulus-lulus.
Impianku memang dari dulu ialah cukup sederhana. Mempunyai seseorang yang bisa memotivasiku ketika aku sedang lemah dan patah semangat. Tapi entahlah, aku belum menemukan orang tersebut. Aku harap seseorang itu adalah seorang gadis atau perawan yang cantik baik hati, bukan seorang lelaki konyol seperti sahabat-sahabatku di masjid yang ketika tidur senang sekali melingkarkan kakinya di pinggangku.
Kebetulan aku seorang penjaga masjid
Aku terus saja mengepel lantai yang kotor oleh kaki-kaki sang ahli ibadah yang rajin ke masjid. Walaupun bersandal dan berpayungan kaki mereka tetap saja ngeres. Entah semangat apa yang menjadi rajin ke masjid untuk sembahyang pada tuhan sang pemberi hujan. Tapi aku tak peduli dengan mereka yang rajin sholat di masjid yang aku tempati. Yang penting waktu itu dalam pikiranku adalah menyelesaikan pekerjaan mengepel lantai itu rampung dengan secepatnya karena keburu waktu maghrib tiba.
Sambil cepat-cepat mengepel lantai masjid, sambil cepat-cepat pula aku mencuri-curi pandang ketika melintas mahasiswi-mahasiswi pemburu makanan sore di deretan penjual makanan di jalan kampus. Kebetulan setelah lama aku mengamati satu persatu orang melintas di depan mesjidku. Kebetulan aku melihat seorang gadis. Kebetulan pula seperti gadis impianku. Kebetulan pula dia menengok ke arahku dan melihatku yang keren dengan pegangan tongkat pel, berkaos dan bersarung.
Kebetulan aku seorang penjaga masjid
Alam khayalku muncul dihadapanku setelah melihat wajah manis yang melintas di depan masjidku. Wajahnya manis seperti madu penawar sariawanku. Rambutnya mengombak seperti ombak lautan sore hari yang menenangkanku ketika aku melihat matahari tenggelam. Alisnya yang kata orang jawa nanggal sepisan semakin menambah jelas jernih matanya dan lentik bulu matanya yang telah membuaiku terbang ke langit biru yang amat tinggi dengan menutup mata. Ya… TUHAN bibirnya begitu indah, melebihi indah bibir para bidadari syurga mungkin….
Kebetulan aku seorang penjaga masjid
Sosok impian akhirnya melintas dengan cepat meninggalkan pelataran masjid yang sempit. Yah…seandainya aku bisa menghentikan waktu mungkin akan kulukis dirinya sebelum ia pergi. Sementara mega merah di ufuk barat telah benderang menandakan waktu maghrib segera tiba, aku hentikan mengepel sambil berjalan menaruh kain pel seraya memandangi kepergian sosok impian yang telah hilang bersama angin senja yang menyapa perutku yang keroncongan.
Kebetulan aku seorang penjaga masjid
Maghrib telah tiba, suara adzan temanku menggema menyambut mega merah di langit barat. Sesaat kemudian pujian pada Tuhan dan sholawat Nabi berkumandang dilanjutkan iqomat didengungkan. Kamipun semua bercinta dengan Tuhan lewat gerak takbir, ruku dan sujud kami. Gerak bibir kami senantiasa memujinya, membesarkan namanya dan mensucikan keindahan dan keagungan-Nya.
Selesai sholat aku berdoa pada Tuhan yang maha pemurah untuk mengasihi penjaga masjid. Mendatangkan bidadari-bidadari dari langit untuk sholat berjamaah di masjid ini, hingga aku dapat mencuri mukena milik salah satu bidadari yang ikut sholat jamaah supaya menjadi isteriku. Mungkinkah ketika kupintakan kepada-Mu, terkabulkah? Kebetulan aku hanya bisa berdo’a dan usahaku sebagai seorang penjaga mesjid…..
pwt, maret 2006
Sore hari selalu dari kami mengepel bergantian dan kadangkala bersama-sama. Yah katanya biar masjid ini kelihatan bersih mengkilap. Katanya sebagian dari iman itu kebersihan. Eh mungkin kebalik ya…kebersihan sebagian dari iman. Memang telah lama aku mengalami gejala keterbalikan dan serba berbeda dari biasanya. Aku seringkali terbalik-balik dalam menyusun kata-kata dalam setiap harinya. Arah tidurpun selalu sangat kontra arah dengan sahabat sekamarku, kepalaku dibagian kepalanya dan kepalanya di depan kakiku. kebetulan aku tidur dengan sesame pria setipa malamnya.
Ketidakberesan dan kekacauan pikiranku ini aku tidak tahu pasti apa penyebabnya. Pernah aku berpikir sebab semua ini mungkin karena aku kebetulan kuliah di sosiologi,efek dari kuliah dari dekonstruksi Derida atau Foucault. Ah…tapi….setelah aku amati ternyata teman-teman sosiologi juga normal-normal saja, berarti hipotesisku bisa saja salah. Aku selanjutnya mencari jawaban lain yang lebih logis.
Tapi lagi-lagi aku tak pernah puas, selalu saja aku merasa jawabanku sangat irrasional. Sementara aku pernah berkesimpulan mungkin karena aku tinggal di mesjid. Karena konon katanya mahasiswa yang tinggal di masjid berbeda dengan mahasiswa yang tinggal di kos-kosan. Lagi-lagi katanya. orang yang tinggal di masjid terkendali imannya, tapi sekali lagi pernyataan itu aku serta merta kusangkal dengan keras. Yah….tapi mungkin juga ada benarnya juga sih….jadi ngelantur ceritanya.
Kebetulan aku seorang penjaga masjid.
sore itu aku mengepel dengan temanku bertiga. Sementara udara dingin dan gerimis hujan seolah sangat kerasan dan betah mengguyur kota kecil ini. Kami bertiga berbagi tugas, sahabatku yang satu membenahi karpet di dalam masjid yang berantakan karena ulah anak-anak TPA yang bermain sewaktu mengaji, belajar membaca huruf Hijaiyah dan Al Qur An.
Sahabatku yang satunya dengan gagah memegang sapu yang telah pendek gagang sapunya. Sementara aku memegang tongkat pel dengan ember air yang berisi setengah saja. Aroma pewangi lantai dalam ember itu seolah menjadi shock terapi bagiku yang baru saja kuliah dengan dosen killer yang menjemukan tadi siang. untuk mahasiswa dengan intelegensia pas-pasan seperti aku, nilainya pelit, tugas-tugasnya berbelit-belit dan terlampau sulit,
Kebetulan aku seorang penjaga masjid
Masjid yang aku tempati bersama kedua sahabatku di pinggir jalan, bahkan sangat dekat dengan jalan yang selalu ramai dengan lalu lalang kendaraan dan juga pedagang makanan yang setiap sore selalu berjajar berjualan melayani mahasiswi-mahasiswa cantik berkulit putih yang selalu menjadi impian lamaku dan selalu menjadi impian terbaruku. Bagiku waktu dulu atau sekarang itu tak ada bedanya, karena menurutku aku masih saja seperti dulu, tetap sama. Tetap sama sebagai mahasiswa yang tinggal di masjid bersama kedua sahabat setiaku. Sama-sama sebagai santri pak kyai. Sama-sama sebagai mahasiswa yang sudah semester sepuluh tapi belum lulus-lulus.
Impianku memang dari dulu ialah cukup sederhana. Mempunyai seseorang yang bisa memotivasiku ketika aku sedang lemah dan patah semangat. Tapi entahlah, aku belum menemukan orang tersebut. Aku harap seseorang itu adalah seorang gadis atau perawan yang cantik baik hati, bukan seorang lelaki konyol seperti sahabat-sahabatku di masjid yang ketika tidur senang sekali melingkarkan kakinya di pinggangku.
Kebetulan aku seorang penjaga masjid
Aku terus saja mengepel lantai yang kotor oleh kaki-kaki sang ahli ibadah yang rajin ke masjid. Walaupun bersandal dan berpayungan kaki mereka tetap saja ngeres. Entah semangat apa yang menjadi rajin ke masjid untuk sembahyang pada tuhan sang pemberi hujan. Tapi aku tak peduli dengan mereka yang rajin sholat di masjid yang aku tempati. Yang penting waktu itu dalam pikiranku adalah menyelesaikan pekerjaan mengepel lantai itu rampung dengan secepatnya karena keburu waktu maghrib tiba.
Sambil cepat-cepat mengepel lantai masjid, sambil cepat-cepat pula aku mencuri-curi pandang ketika melintas mahasiswi-mahasiswi pemburu makanan sore di deretan penjual makanan di jalan kampus. Kebetulan setelah lama aku mengamati satu persatu orang melintas di depan mesjidku. Kebetulan aku melihat seorang gadis. Kebetulan pula seperti gadis impianku. Kebetulan pula dia menengok ke arahku dan melihatku yang keren dengan pegangan tongkat pel, berkaos dan bersarung.
Kebetulan aku seorang penjaga masjid
Alam khayalku muncul dihadapanku setelah melihat wajah manis yang melintas di depan masjidku. Wajahnya manis seperti madu penawar sariawanku. Rambutnya mengombak seperti ombak lautan sore hari yang menenangkanku ketika aku melihat matahari tenggelam. Alisnya yang kata orang jawa nanggal sepisan semakin menambah jelas jernih matanya dan lentik bulu matanya yang telah membuaiku terbang ke langit biru yang amat tinggi dengan menutup mata. Ya… TUHAN bibirnya begitu indah, melebihi indah bibir para bidadari syurga mungkin….
Kebetulan aku seorang penjaga masjid
Sosok impian akhirnya melintas dengan cepat meninggalkan pelataran masjid yang sempit. Yah…seandainya aku bisa menghentikan waktu mungkin akan kulukis dirinya sebelum ia pergi. Sementara mega merah di ufuk barat telah benderang menandakan waktu maghrib segera tiba, aku hentikan mengepel sambil berjalan menaruh kain pel seraya memandangi kepergian sosok impian yang telah hilang bersama angin senja yang menyapa perutku yang keroncongan.
Kebetulan aku seorang penjaga masjid
Maghrib telah tiba, suara adzan temanku menggema menyambut mega merah di langit barat. Sesaat kemudian pujian pada Tuhan dan sholawat Nabi berkumandang dilanjutkan iqomat didengungkan. Kamipun semua bercinta dengan Tuhan lewat gerak takbir, ruku dan sujud kami. Gerak bibir kami senantiasa memujinya, membesarkan namanya dan mensucikan keindahan dan keagungan-Nya.
Selesai sholat aku berdoa pada Tuhan yang maha pemurah untuk mengasihi penjaga masjid. Mendatangkan bidadari-bidadari dari langit untuk sholat berjamaah di masjid ini, hingga aku dapat mencuri mukena milik salah satu bidadari yang ikut sholat jamaah supaya menjadi isteriku. Mungkinkah ketika kupintakan kepada-Mu, terkabulkah? Kebetulan aku hanya bisa berdo’a dan usahaku sebagai seorang penjaga mesjid…..
pwt, maret 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar