Jumat, 12 November 2010

BAYI

Lima tahun aku tak ke kotamu, banyak yang hilang. Hanya kenangan dan cerita-ceritamu yang selalu kau kutip dari seorang novelis kondang yang berasal dari kotamu. Aku masih ingat ketika engkau tertawa sendiri seusai mengulang cerita-ceritamu. Cerita seorang suami yang memenuhi keinginan istrinya yang sedang ngidam makan buah kedondong di malam hari.

"Masa karena ia tak bisa memanjat pohonnya, terpaksa ia harus menebang langsung pohon kedondong itu di malam hari lagi. Pantas saja tetangganya pada heboh datang mendengar robohnya pohon kedondong kecil itu" katamu sambil tertawa kecil. Aku yang mendengar ceritamu berulang kali itu terpaksa tersenyum. Padahal hal itu bagiku tak lucu karena aku juga termasuk orang yang tak pandai memanjat pohon.

Waktu itu kita masih sering duduk bersama di sebuah gazebo dalam kampus. Di gazebo itulah aku pertama kali mengenalmu. Ketika itu kita sama-sama mahasiswa baru. Akupun tahu bahwa dengan kecantikanmu seorang mahasiswa angkatan kita suka sama kamu. Tapi waktu itu akupun tak peduli dan kaupun tak mempedulikannya. Akhirnya kita sering bertemu di gazebo itu, tak pernah kulupakan ketika dirimu terus saja membawa novel-novel kesukaanmu. Guguran daun-daun pohon belimbing dekat gazebo itu ternyata pelan-pelan menumbuhkan rasa cinta diantara kita. Semakin daun belimbing itu berguguran semakin tumbuh pula itu benih-benih cinta diantara kita.

Mulanya kaupinjamkan novel-novel kecil dari pengarang asal kotamu. Aku yang tak suka membaca novel pada mulanya menolak. Beberapa hari kubiarkan novel-novel itu di meja kamar kosku. Kubiarkan tergeletak, namun akhirnya mulai kubaca. Darimulah kukenal tokoh seorang ronggeng dari sebuah dukuh di pedesaan yang jadi korban tragedi sejarah bangsa ini. Ataupun juga kukenal seorang tokoh pemuda desa yang akhirnya menjadi tentara.

"Dengan membaca novel, aku ingin kau tahu bagaimana kondisi bangsa ini. Aku ingin kau tahu keadaan bangsa ini dulu sampai sekarang" begitu katamu ketika kuselesaikan bacaan novel-novel pemberianmu waktu itu. Bahkan semakin sering ku mendengar kata-katamu semacam itu. Kata-kata agitasi, propaganda, provokasi, demokrasi, hegemoni dan semacamnya. Kutahu bahwa kau termasuk perempuan aktivis di kampus itu. Dan aku hanya seorang perenung dan pendengar ceritamu dan ceramahmu. Tapi entah kenapa engkau mau menerimaku menjadi salah satu bagian hidupmu waktu itu.

"Aku ingin ada yang bisa mendengarku. Dan kaulah yang kuanggap paling bisa mendengarku" katamu singkat. Setelah itu kau teruskan lagi tentang cerita tentang sejarah bangsa ini, tentang kemanusiaan di sekitar kita. Ah...bagiku itu dulu membuatku pusing. Bagiku sederhana saja, selesaikan dulu tugas kampus. Penuhi jadwal kuliah dosen ataupun yang lainnya. Yang penting kita bisa lulus cepat, cepat kerja, cepat dapat duit dan seterusnya. Itu kataku yang selalu membuatmu menentangnya. Namun ternyata semakin kau menentang prinsip pragmatisku, semakin aku menyukaimu. Aku mencintai gadis cerdas sepertimu. Mahasiswi aktifis. Aneh memang.

Lima tahun berlalu akhirnya aku bersamamu dapat lulus. Aku lulus dengan nilai sangat memuaskan sementara kau lulus dengan nilai pas-pasan. Berbeda dengan teman-teman perempuanmu yang rajin di kampus. Akhirnya kuperkenalkan kau dengan kedua orang tuaku. Seperti kutahu, karaktermu yang kuatpun terlihat oleh orang tuaku. Akhirnya kutegaskan pada orang tuaku bahwa kau adalah calon bagi ibu dari anak-anakku. Sementara orang tuamu yang datang waktu itu adalah hanya ayahmu. Memang ibumu telah meninggal sejak kau kelas lima sekolah dasar. Kutahu didikan ayahmulah yang membuatmu begitu keras sebagai seorang perempuan.

Akhirnya kaupun menjadi istriku. Malam pertama kita jalani dengan mesra. Di malam pertamapun kau ceritakan kisah dua orang desa yang hidup bahagia di tengah kesederhanaannya. Malam pertama, bulan pertama hingga akhirnya tahun pertama pernikahan pertama kita masih begitu mesra. Namun sampai tahun kelima pernikahan, belum ada tanda-tanda kalau kau akan menjadi ibu dari anak-anakku. Entah kenapa? Keluargakupun semakin menginginkanku ingin segera punya anak. Namun tak kunjung kesampaian. Katamu kita harus kembangkan karir kita dulu. Emansipasi wanita, menunda kehamilan itu boleh saja. Dan akupun tak dapat menolakmu.

"Lebih baik kau menikah lagi saja. Kau terlalu kalah dengan isterimu" kata ibuku suatu hari yang tak sengaja kau dengar lewat celah pintu kamar kita yang terbuka. Sejak pagi itulah kau tak lagi nampak di rumahku itu. Padahal secara status kau masih isteriku. Kau hanya meninggalkan sepucuk surat di atas bantal kamar kita. Katamu, kau mau pulang ke kotamu sebentar saja untuk menenangkan diri. Akupun tahu, sekeras apapun sifat dan watakmu. Kau tetap saja seorang wanita dengan segala kewanitaanmu.

Lima tahun berlalu sejak kepergianmu ke kotamu. Ke kota orang tuamu, ke kota tempat pengarang kesukaaanmu. Namun tak kutemukan sosokmu seperti sosokmu yang seperti dulu. Sosok perempuan yang tegas lagi cerdas. Seperti penilaian ku dan penilaian semua orang ketika bertemu. Siapapun tak meragukan itu walaupun indeks prestasimu tak memuaskan. Tapi aku tak mempedulikan itu, karena aku menikah bukan karena indeks prestasimu. Selepas sehari kau pulang kabur dari rumah kita. Aku menyusulmu ke kota itu, itu lima tahun yang lalu.

Lima tahun lalu aku sampai di stasiun kotamu. Kubergegas menuju ke alamat rumahmu yang lama. Tapi ternyata kau tak ada. Karena memang ayahmu juga telah meninggal beberapa tahun lalu sebelumnya. Kutanya kepada tetanggamu yang rumahnya berada di samping dekat rumahnya. Katanya sampai dua hari itu kau tak datang ke rumahnya. Kutelusu ri sudut-sudut kotamu untuk mencarimu tapi tak kunjung kutemukanmu.

Di ujung kelelahanku di teras rumah Tuhan, aku menemukanmu. Pagi itu berkat jasa seorang anak kecil ingusan itu akhirnya kumenemukanmu. Kutemukan namamu di sejumlah surat kabar kotamu. Jadi headline pula. Rupanya dengan namamu koran pagi itu begitu laris. Siapa yang tak kenal namamu, seorang aktivis pejuang hak-hak perempuan. Mantan mahasiswa aktivis perempuan yang lantang berteriak di jajaran paling depan ketika mendemo seorang oknum dosen yang melakukan pencabulan atas mahasiswinya. Aku masih ingat itu. Dulupun di bagian depan pula kau menjadi headline koran kotamu. Pembela perempuan nomor satu, aktivis pembela perempuan.

Pagi itupun, di ujung kelelahan dalam pencarianmu. Kutemukan lagi namamu dengan jelas di bagian depan koran itu. Jadi headline koran kotamu. Terpampang jelas judul harian lokal itu. '"Mantan Aktivis Pembela Perempuan Diperkosa Lima Orang di Stasiun" . Lalu kulihat lagi gambar lima lelaki bajingan yang merampas kehormatanmu. Saat itulah itulah aku lemas dan berteriak di depan rumah Tuhan itu. Kusobek koran itu, dan kuberjalan tak tentu arah. Setiap kuberjalan kuterus merebut setiap orang yang sedang membaca koran. Aku selalu mendengar jelas judul headline koran yang secara langsung menyebut namamu. Aku tak terima semua itu. Hal itupun aku lakukan setiap hari. Setiap hari dan setiap hari aku selalu benci melihat orang yang baca koran.

Aku akhirnya berkeliling terus di kotamu terus menerus tanpa lelah walaupun kelelahan pencarianmu telah berujung. Akupun menjadi malas mandi, malas berhias, malas berkeramas dan malas berpakaian. Dan terlebih lagi akupun menjadi sangat malas aku datang ke rumah Tuhan. Karena setiap aku mau duduk di teras rumah itu, setiap itu pula aku teringat melihat seorang anak ingusan penjual koran itu. Penjual koran yang membiarkanku menemukanmu lewat headline koran yang sangat menyakitkanku.

Setiap aku melihat koran maka aku ingin semakin merobeknya. Terlebih lagi dan paling menjengkelkan ketika aku melihat ada anak kecil sedang membawa koran dan menawariku untuk membacanya. Akupun akan semakin beringas untuk mengejarnya. Kemudian yang kudapatkan adalah cacian, hinaan dan bahkan lemparan batu dari orang-orang dewasa yang melihatku. Sampai akhirnya aku dibawa oleh mobil putih menuju suatu tempat dimana aku nantinya dikerangkeng dan dibiarkan bebas di suatu tempat.

Saat aku dibawa oleh dua orang berbadan kekar aku terus berteriak. "Aku bukan orang gila" yah empat kata itu berulang kali dan terus menerus kuteriakan sambil kumeronta dengan sejadi-jadinya. "Mana ada orang gila mengaku dirinya gila" kata seorang kekar itu sekali saja sambil tertawa terkekeh. Namun kuterus berteriak dan berteriak. Namun akhirnya akupun tak lagi bisa berteriak ketika sebuah jarum suntik ditusukkan di bokongku.

Setelah sadar aku telah berada di ruangan yang sempit. Kedua tangan dan kakiku telah diikat sekuat-kuatnya. Dan akupun kembali teriak memanggil namamu sekuat-kuatnya. Namun kaupun tak muncul. Yang muncul hanya seorang wanita berpakaian putih dengan kopiah putih di kepalanya. Dan kembali aku disuntik sampai aku merasa lemas. Lemas sekali. "Bangsat" kataku sampai akupun lelap. Entahlah aku sampai berapa lama aku di ruangan sempit itu. Diikat di atas ranjang dan disuntik setiap kali aku berteriak. Aku tak sempat bisa menghitung hari, karena memang di ruangan itu aku tak tahu lagi ada matahari atau tidak di luar sana.

Tiap hari di kamar sebelahku ternyata banyak lagi orang berteriak seperti aku. Tiap hari betambah orang yang suka berteriak. Sampai akhirnya datang ke kamarku orang yang berteriak-teriak juga. Akupun akhirnya di keluarkan dari kamar sempit itu. Menuju ke luar kamar ternyata malah terlihat semakin banyak orang yang berteriak-teriak seperti aku dulu. Bahkan mata-mata mereka cukup garang melotot tapi tak jarang dari mereka tertawa sendiri setelahnya. Dan akupun akhirnya mengikuti kebiasaan mereka. Berteriak dan berteriak sampai aku tertidur pulas di manapun aku berada.

Entahlah sampai berapa aku melihat bulan berganti matahari di lapangan itu. Sampai akhirnya suatu hari, aku melihatmu berteriak-teriak pula. Ternyata kaupun suka berteriak-teriak pula. Kaupun sepertiku tidur terlentang dengan tangan kaki diikat dalam sebuah ranjang berjalan didorong oleh dua orang berbaju putih. Aku mengejarmu namun aku dihalang-halangi oleh orang membawa pentugan dan bertopi hitam. Setelah berapa lama akupun menunggumu dari kamar kau beteriak-teriak.

Suatu hari akhirnya kaupun keluar. Kita akhirnya betemu. Saat bertemupun kau dan aku berpelukan. Menangis sesenggukan. Namun setelah itupun kita akhirnya tertawa bersama-sama. Berteriak sekeras-kerasnya. Mereka yang melihat kita awalnya diam. Namun akhirnya orang seisi tempat bertembok tinggi itu akhirnya ikut tertawa sekerasnya pula. Akhirnya seperti dulu, di tempat itu kita duduk bersama seperti di kampus dulu. Duduk di gazebo kampus dekat pohon belimbing. Kaupun mengulang-ulang terus cerita seorang suami yang menebang pohon kedondong untuk memenuhi keinginan isterinya yang sedang ngidam. Dan kaupun terlihat puas sambil mengelus-elus perutmu yang semakin hari semakin membesar.

Setiap kau bercerita itu, kau berperan sebagai si isteri dan aku sebagai suaminya. Kau memegang perutmu yang benar-benar besar dan akupun mencari golok dimanapun. Setelah kudapat, akhirnya kutebang setiap pohon yang kuanggap sebagai pohon kedondong. Setelah itu pohon itu tumbang kita pun bersama tertawa dan tertawa. Setiap hari kita lakukan itu, sampai akhirnya setelah pepohonan di tempat itu tumbang karenaku akupun berusaha untuk mencari pohon-pohon yang lain. Aku mencoba menaiki tembok keliling yang tinggi untuk mencari pohon yang kutebang untukmu. Beberapa kali aku bisa menebangnya. Tapi setiap aku menebang setiap kali itu pula aku dikerangkeng lagi. Sampai akhirnya aku kembali dikurung di tempat sempit seperti dulu. Yang terakhir aku hanya melihatmu berteriak di kamar sebelahku. Dan mendengar suara tangis seorang bayi. Seperti biasanya akupun beteriak dan berteriak untuk bisa menemuimu. Dan akupun akhirnya tak bisa menemuimu. Padahal aku ingin sekali melihat bayi seorang mantan aktivis wanita. Setiap kali kuberteriak aku disuntik. Dan suatu hari aku disuntik lagi oleh orang berbaju putih sampai aku tak berteriak lagi. Untuk selamanya.

Pekuncen, 27 Maret 2010

Tidak ada komentar: