Jumat, 12 November 2010

Ahmad Tohari : "GusDur Sare Ning Lemah" Mengambil Pelajaran Dari Perilaku Gus Dur


Susanto-Karanglewas

100 Hari lebih Abdurahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur meninggalkan kita semua. Namun pembicaraan, cerita, kenangan tentangnya masih hangat terdengar di telinga kita. Berbagai buku yang mengulas tentang keseharian, sikap dan pemikiran Mantan Presiden RI ke-4 ini bertebaran mengisi rak-rak buku di toko-toko buku. Semasa hidup tokoh yang pernah menjadi pucuk pimpinan organisasi Islam terbesar di Indonesia ini, sikap, pemikiran dan tindakannya selalu mengundang pro dan kontra berbagai pihak. Setelah wafatnyapun jasa-jasanya masih dikenang, sampai-sampai gelar pahlawanpun mencoba diusulkan oleh berbagai pihak kepada pemerintah. Sepeninggal GusDur, orang-orang yang semasa hidupnya dekat dengan cucu Hadrotusyaikh Hasyim As'ari ini selalu diundang di berbagai diskusi, refleksi, do'a bersama mengenang Gus Dur. Sahabat dekat Gus Dur yang juga budayawan asal Banyumas salah satunya adalah Ahmad Tohari.

Memperingati 100 hari GusDur di Balai Desa Jipang Kecamatan Karanglewas yang dihadiri oleh ribuan jam'iyah Nahdlatul Ulama beberapa waktu lalu, Ahmad Tohari menceritakan sekelumit perngalamannya sewaktu dengan Gus Dur. Pengalaman Kang Tohari begitu ia lebih senang disapa berawal ketika ia menjadi salah satu redaktur di salah satu majalah di Jakarta yaitu sekitar tahun 1981 silam. Ketika itu GusDur masih duduk di pucuk pimpinan di struktural PBNU pusat.

Pengalaman pengarang Novel Ronggeng Dukuh Paruk ketika berhubungan dengan Gus Dur antara lain ketika suatu hari Gus Dur yang singgah menginap di rumahnya. Sewaktu menginap itulah berbagai perilaku Gus Dur yang waktu itu menjadi pembesar NU dan orang yang ditakuti oleh Orde Baru menjadi pelajaran bagi Ahmad Tohari dan keluarganya. Memang banyak yang tidak bisa diterka dari perilaku GusDur ketika menginap di rumah Ahmad Tohari.

"Saya masih ingat kata para Kyai, kalau "polah tingkahe wong sing sugih ilmu kuwe dadi pelajaran". Yah itulah ketika Gus Dur menginap di rumah saya. Waktu itu sudah saya sediakan kamar yang terbaik untuk Gus Dur. Ee....ternyata Gus Dur malah meminta saya karpet dan ternyata "GusDur sare ning lemah" hanya berlandaskan karpet waktu itu. Padahal siapapun tahu kalau waktu itu GusDur dengan pengaruhnya adalah orang yang ditakuti oleh Orde Baru waktu itu" cerita Ahmad Tohari menjelaskan.

Pelajaran spiritual dan sosiologis yang dapat ditarik dari GusDur yang tidur di tanah hanya berlandaskan karpet lanjut Ahmad Tohari ialah "dadi wong kuwe aja merasa diri mulia di hadapan orang lain". Ketika seseorang sudah merasa mulia dibandingkan dengan orang lain maka yang terjadi ialah seseorang tersebut akan menjadi susah untuk bersilaturahmi atau membangun hubungan baik bagi sesamanya. Sikap humanisme dan egalitarian yang dicontohkan Gus Dur inilah yang memudahkan putra Wahid Hasyim ini dapat menjalin hubungan dengan berbagai kalangan tanpa memdedakan SARA.

"GusDur tidur di karpet itu saya tafsirkan kalau Gus Dur itu konsisten dengan Syahadatnya. Analoginya yaitu ketika Umar Bin Khotob yang sewaktu menjadi amirul mukminin waktu itu rela berkeliling memanggul gandum untuk diberikan kepada janda yang sedang kelaparan. Yang sering tidak kita tanyakan adalah landasan moral kenapa Umar yang seorang amirul mukminin rela berbuat seperti itu. Dari situ kita bisa mengambil pelajaran bahwa Umar yang seorang amirul mukminin tidak merasa lebih mulia dibandingkan dengan si janda yang keluarganya kelaparan tersebut. Sikap Gus Dur yang tidak merasa mulia di hadapan siapapun tersebut memang patut ditiru. Jika orang sudah merasa dirinya mulia di hadapan orang lain itu sudah mulai menjadi penyakit yang mengotori Syahadatnya" jelas Kang Tohari mulai menguraikan tafsir-tafsirnya terhadap perilaku Gus Dur.

Ahmad Tohari menekankan bahwa sikap merasa penting dan mulia di hadapan orang lain memang bisa membatasi seseorang untuk bisa menjalin relasi dan komunikasi dengan orang lain. Sikap merasa penting di hadapan orang lain mengakibatkan silaturahmi seseorang menjadi terganggu dan sangat membahayakan bagi syahadat yang telah diikrarkan oleh setiap muslim. Padahal syahadat memang bukan hanya diikrarkan lewat lisan dan diyakini dengan hati. Namun syahadat memang juga harus diimplementasikan lewat perilaku sehari-hari. Tindakan Gus Dur yang tidur seadanya di atas karpet juga menunjukkan kalau GusDur juga tidak mementingkan kepentingannya diri sendiri. Gus Dur bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi dimanapun dan kapanpun.

Kekonsistenan GusDur dalam menjaga dan mengimplentasikan syahadat dalam kehidupan sehari-hari merupakan bukti Gus Dur menunjukan Islam sebagai agama yang diturunkan sebagai penyempurna akhlak di dunia. Dengan merangkul berbagai kalangan tanpa memperhatikan suku agama ras dan antar golongan Gus Dur menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Selain tidak merasa dirinya mulia di hadapan orang lain Ahmad Tohari juga menekankan bahwa Gus Dur juga tidak merasa dirinya di hadapan orang lain. Hal ni dibuktikan dengan sikapnya yang berani berhubungan, mengkritik, memberi masukan dengan siapapun 'tanpa tedheng aling-aling'. Tidak mengherankan bahwa jika dalam sikap hidupnya selain mengundang pro dari salah satu kalangan, juga tidak jarang dapat mengundang kontra dari berbagai pihak dari orang lain. Sebagai contoh sikap GusDur yang menjalin kerjasama dengan negara Yahudi Israel yang notabene selama ini menjadi musuh 'umat Islam'. Waktu itu ia menghadiri konferensi agama-agama se dunia.
Ahmad Toharipun merasa prihatin kalau sekarang ini jarang pemimpin yang mewarisi sikap-sikap Gus Dur dalam kepemimpinannya. Iapun berharap kalau generasi-generasi sekarang dapat kembali sikap-sikap GusDur. Terlepas dari kelebihannya, sebagai manusia GusDur juga tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan. Sebagai pemimpin Gus Dur patut ditiru lewat sikapnya yang santun dan sederhana dalam menanggapi segala persoalan yang dihadapi bangsanya. Walaupun terkadang sikap dan pemikirannya memang sulit ditafsirkan namun ternyata secara empiris ternyata banyak sikap dan pernyataan Gus Dur yang terjadi dan terbukti kebenarannya.

"GusDur rawuh Senen sore terus kondur Rebo. Dan yang menjadi perhatian saya ialah sewaktu berangkat sampai pulang Gus Dur tetap memakai baju yang sama. Baju lengan batik yang sama. Ini menunjukkan Gus Dur sikap hidup yang sederhana" cerita Ahmad Tohari menuturkan. Waktu itupun GusDur yang notabene berada di pucuk pimpinan PBNU pusat ia hanya menggunakan mobil Espas. Berbeda dengan fenomena sekarang, di mana banyak kyai-kyai yang menggunakan mobil mewah. Berbeda dengan pemimipin-pemimpin sekarang, Gus Dur memang risih dengan hal-hal yang berbau mewah. Seperti terlihat di Muktamar NU beberapa waktu banyak sekali mobil mewah yang dipergunakan oleh para pemimpin-pemimpin agama dan negara. Sementara di sisi lain, madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah di desa kondisinya banyak yang rusak dan memprihatinkan.*

Tidak ada komentar: