Selasa, 22 April 2008

tentang desaku

babad CIBANGKONG

Dahulu ada seorang pemuda yang telah mengenal agama di negeri Pasundan. Dia jatuh hati kepada seorang gadis yang ternyata anak seorang garong atau maling. Karena saling mencintai akhirnya mereka menikah dan menjadi suami isteri. Setelah menjadi suami isteri, mereka tinggal di rumah orang tua isteri yang setiap harinya berpekerjaan sebagai maling atau pencuri. Mertuanya sangat terkenal sebagai garong yang lihai dan sakti. Namun pada suatu hari mereka diusir oleh mertuanya untuk pergi dari rumah. Hal ini dikarenakan selama mereka tinggal bersama mertuanya suami isteri itu tidak mau memakan makanan hasil jerih payah curian/garong.

Mereka meninggalkan negeri Pasundan, berjalan tak tentu arah. Lelaki itu mengembara melewati dan menelusuri hutan belantara (nglangsur ing wana) bersama isterinya. Akhirnya lelaki itu dikenal dengan (Mbah) Surawana. Panas terik dan hujan dihadapi mereka selama dalam perjalanan. Karena merasa letih akhirnya mereka memutuskan (ngundur) untuk beristirahat (liren) di bawah sebuah pohon yang teduh. Pohon itulah yang akhirnya disebut pohon durian (duren). Duren berasal dari kerata basa ngundur-liren. Di sekitar tempat itulah akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal. Mereka akhirnya membabad hutan (babad alas) dan membangun tempat tinggal.

Setelah lama diusir dan meninggalkan keluarganya di Pasundan, rupanya Surawana dan isterinya dicari-cari oleh keluarga dan kerabatnya. Para keluarga dan kerabat akhirnya mencari Surawana dan isterinya ke arah Timur. akhirnya mereka tiba di daerah tempat Surawana dan isterinya tinggal. Dalam perjalanan mereka melewati kali. Salah satu dari mereka melihat hewan di dalam air. Karena tidak tahu apa nama hewan yang ada di air itu, akhirnya dia bertanya, ” Eta naon di cai?” (apa itu yang ada di air?). Yang lainnya menjawab ”eta bangkong” (itu bangkong1). Dari dua kata itulah (cai=ci dan bangkong) akhirnya tempat Surawana dan isterinya tinggal dinamakan Cibangkong.

Akhirnya keluarga dan kerabat Surawana dan isterinya bertemu dengan Surawana dan isterinya. Rupanya isteri Surawana belum lama melahirkan seorang anak. Kerabat Surawana membawakan uthuk (anak ayam) sebagai oleh-oleh bagi si bayi. Kemuadian anak ayam tadi di kurung dalam sebuah gondek (keranjang ayam). Konon dari situlah anak pertama Surawana diberinama (Mbah) Gandek. Dipercaya bahwa kuburan Mbah Gandek sampai sekarang masih ada dan terletak di daerah Pekuburan Munthuk (salah satu pekuburan yang terdapat di daerah Cibangkong sebelah utara yang masih ada). Anak kedua dari Surawana ini bernama (Mbah) Padar. Dibanding Gandek, Padar lebih kurang ajar dan bandel. Anak ketiga dari Surawana bernama Mbah Melir, karena dia punya kebiasaan bangun siang (wis awan nembe ngelilir. Kedua anak Surawana yang lain bernama (Mbah) Kerticelili dan (Mbah) Pratin. Mbah pratin adalah salah satu dari anak Surawana yang senang menjalankan laku prihatin dan tirakat.Mbah Kerticelili dikenal sebagai garong yang sakti. ilmu garongnya ini dipelajari dari kakeknya yang merupakan seorang garong.

Diceritakan bahwa suatu hari kerticelili mencuri seekor kerbau milik orang Ciberung. Kerbau itu bertanduk nyamplang (mangarah ke atas, seperti tanduk kerbau pada umumnya). Namun berkat kesaktian Kerticelili tanduk kerbau itu dibalik menjadi ndhungkul (mengarah ke bawah seperti tanduk kambing gibas). Sehingga walaupun kerbau yang dicuri itu diperikasa oleh pemiliknya, sang pemilik tidak bisa mengenali. Selama diperiksa oleh pemiliknya, Kerticelili yang sedang menggembalakan kerbau itu hanya celala-celili (senyum-senyum) sambil melihat kebingungan sang pemilik kerbau yang tidak mengenali kerbau yang dicurinya.
Sampai sekarang makam Mbah Pratin dan Mbah Padar masih ada. Kedua makam itu berdampingan. Sedangkan makam Mbah Kerticelili itu berada tepat dipinggir jalan. Tepatnya arah pojok barat daya pemakaman Cibangkong bagian selatan (arah dukuh Gandusari). Makam Mbah Pratin ini masih sering dikunjungi masyarakat setempat untuk berziarah ketika bulan Syawal tiba atau juga sebagai sarana ijin, bertawasul agar hajat dan kepentingannya terlaksana. Dari sinilah pekuburan/pemakaman di Cibangkong masih dianggap ampuh, sampai-sampai segala macam pohon yang berbuah di pekuburan (kelapa. pisang, pucung dsb) tidak pernah diambil oleh warga sekitar untuk dimakan apalagi dijual.

Tidak ada komentar: