Sabtu, 12 Juli 2008

Jernih air itu mengalir

Jernih air itu mengalir di tengah pegunungan yang tandus. Memang aneh ketika di perbukitan yang gundul itu masih keluar mata air, mungkin itulah kasih sayang Tuhan yang masih saja memperhatikan segelintir orang yang tidak berdaya di tengah penggundulan hutan. Aku berdiri di atas perbukitan tandus itu, Sementara angin semilir menggiring tubuhku yang kurus untuk masuk ke bilik kamar yang telah setahun tak pernah aku tempati. Aku lihat banyak buku tebal bersampul debu. Lampu belajar yang telah mati dan jendela mulai keropos dimakan rayap hutan yang kelaparan. Aku masih ingat rumah kayu ini dibangun berdua dengan mendiang istriku yang sangat imajinatif merancang bangunan yang sekarang sudah udzur.

Aku melangkah menuju jendela kamar jendela. Kubuka jendela itu. Ternyata butuh tenaga untuk membuka engsel yang telah berkarat dimakan oleh jaman. Kubuka mataku dengan lebar keluar jendela untuk memandang lepas keluar. Harapanku pertama kali adalah mendapatkan pemandangan yang sejuk. Tapi yang kudapati hanya rumput ilalang yang tumbuh meninggi memagari pekarangan rumah itu. Warnanya telah menguning bahkan tidak jarang telah kering karena kemarau panjang telah melanda perbukitan itu.

Aku masih ingat dulu pekarangan rumah itu dikelilingi oleh pakis, bakung dan anturium putih. Daerah perbukitan itu rasanya sangat sejuk dan hijau. Suasana itu semakin terasa mesra ketika isteriku duduk di sampingku sambil bersama menikmati hangatnya secangkir kopi setiap pagi. Sayup-sayup kami dengar jernih air itu masih mengalir, gemericik suaranya selalu kami rindukan. Sementara kicauan burung kutilang dan prenjak tak henti-hentinya berlomba menyaingi suara angin gunung yang berbisik di sela dedaunan bambu ampel gading yang tinggal serumpun. Aroma bunga kopi yang menyengatpun semakin terasa karena terbawa angin gunung.

Setiap pagi, dari serambi rumah aku berdiri memandang hamparan kebun kopi yang hijau menghampar dari utara menuju selatan perbukitan hutan Cigledek. Kebun kopiku di perbukitan memang tidak rata. Bentuknya terasering, berundak. Ketika menyiangi dan memanen kopi, orang wajib naik dan turun dan harus selalu berpegangan pada batang kopi. Untuk akar pohon kopi itu terkenal cukup kuat menancap ke bumi.

Sesekali aku turun dari undak-undakan rumahku untuk melihat dan menyapa karyawan kebun kopiku yang sedang bekerja menyiangi rumput di bawah pohon-pohon kopi berbatang putih yang tumbuh di atas tanah hitam gembur dan subur. “Sugeng enjing, Pak!” suara itu selalu keluar dari seorang yang sedang memegang cangkul kecil sambil mengucap peluh yang mengalir di dahinya yang mulai keriput. Aku membalas senyumannya. Aku melihat senyumannya,begitu khas, lugu dan jujur. Aku memang mengenal mereka sebagai orang desa yang jujur,polos dan tak pernah minta macam-macam. Mungkin kokohnya gunung dan ketenangan alam pedesaan itu membuat mereka selalu bersyukur dan selalu tersenyum padaku.

“Pak Karmo, istirahat dulu. Ayo naik, ke serambi, sarapan dulu!” ajakku sambil melambaikan tanganku. Dia mendongak ke atas. “Saya sudah sarapan, Pak” jawabnya sambil menganggukkan kepalanya, tanda hormatnya kepadaku. Yah mungkin dalam pikiran mereka aku adalah majikan mereka yang harus dihormati. Entah kenapa jawaban yang sama itu selalu kudapati ketika mengajak pak Karmountuk sarapan. Pak Karmojarang sekali sarapan denganku. Sangat jarang dia mau sarapan dengan aku dan isteriku. pernah suatu hari ia mau sarapan dengan aku dan isteriku, itupun dengan ditemani oleh isterinya yang waktu itu membantunya untuk memanen kopiku. Kami berempat duduk di serambi rumah. Aku dan isteriku bersebelahan dan berhadapan dengan pak Karmodan isterinya. Nasi hangat yang masih kebul-kebul,telah tersedia di hadapan kami berempat. Sementara lauk ayam goreng, sambal terasi, lalap daun singkong, kerpupuk udang dan ikan asin juga tersedia di situ. Yah bagi kami sambal terasi adalah lauk pokok yang harus ada untuk menemani lauk lain sekalipun itu untuk sarapan pagi.

“Ayo, kita mulai makan, silahkan Pak Karmo, Bu Saitem” isteriku memulai sarapan pagi itu. Sementara aku juga mengangguk sambil memandang mereka sambil tersenyum mempersilahkan mereka untuk mengambil nasi dalam bakul anyaman bambu itu. “Inggih Pak, silahkan Bapak Ibu duluan” yah selalu saja begitu jawaban mereka ketika kami meminta mereka mengambil makanan terlebih dahulu.
“Ya, sudah. Kalau begitu aku akan ambilkan nasi dulu untuk bapak” isteriku menjawab mereka sambil mengambilkan nasi dengan piring di hadapanku untukku. Lalu dia mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Kami berdua mengambil lauk ayam goreng yang telah tersedia di situ. Sementara kami telah memegang piring dengan nasi lengkap dengan lauk pauknya, Pak Karmod an Saitem masih saja bengong memperhatikan kami. Mereka malu-malu ketika makan bersama kami, majikan mereka. “Ayo Bu Saitem, nasinya diambil, jangan malu-malu. Ayo kita makan, nanti dingin lho!” isteriku kembali mengajak mereka. “Inggih Bu” jawaban itu sering sekali aku dengar dari lisan mereka.

Saitem mengambil nasi untuk suaminya, Karmo. Nasi yang diambil Saitem porsinya begitu sedikit. “Bu, nasinya yang buat Pak Karmo, mbok ya ditambah, nanti tidak kenyang” aku menyuruh bu Saitem untuk menambah kembali porsi Pak Karmo. Akhirnya mereka sudah memegang nasi. Lalu aku persilahkan mereka mengambil lauk yang ada di situ. Aku dan isteriku saling berpandangan ketika mereka hanya mengambil lauk lalap daun singkong, sambal terasi dan ikan asin saja. Aku tidak tahu kenapa mereka hanya mengambil lauk itu. Bukankah masih ada ayam goreng? Atau mungkin mereka hanya berselera dengan sambal, daun singkong dan ikan asin itu?. Akhirnya isteriku mengambilkan ayam goreng dan ditaruhkan kepada piring Saitem. Sementara aku juga taruhkan ayam goreng dan kerupuk ke piring pak Karmo. “Ayo, dimakan sampai habis” isteriku mengajak memulai makan bersama pagi itu. Seusai isteriku mengajak mereka bersama kami, kamipun makan bersama sampai selesai makan. Selama makan bersama dengan keluarga Karmo tanpa dengan pembicaraan dan obrolan sedikitpun.
Tanpa disangka sarapan bersama pagi itu adalah sarapan kami berempat yang terakhir kalinya. Setelah itu aku tak pernah lagi merasakan enaknya makan ikan asin, sambel terasi, lalap daun singkong. …..

****

Di tengah malam yang tenang kepolosan Karmo dan isterinya telah musnah oleh longsor tanah yang menenggelamkan desa. Aku selalu berpendapat bahwa bencana longsor yang menimpa Karmo sekeluarga dan warga desa lain adalah getah dari seseorang oknum perambah hutan yang telah membabat tanpa pilih, menebang tanpa kasih. Namun warga desa yang lain selalu mengatakan bahwa bencana alam longsor ini akibat dari penguasa gunung yang sedang murka pada warga desa yang sudah meninggalkan tradisi leluhur selama beberapa tahun itu. Aku tak bisa memaksakan asumsiku dan logikaku pada mereka. Toh, segala pendapatku tak bisa lagi mengembalikan nyawa penduduk desa yang telah hilang ditimbun tanah. Yang menyedihkan isteriku yang tercinta harus juga menjadi korban saat malam itu dia yang sedang hamil dan sedang ngidam meminta kalung perhiasan berbandul mutiara. Malam itu dia tidur di rumah isteri karmo sekeluarga.

Malam itu aku harus keluar kota untuk menemui juragan kopi di kota. Aku tak membawa serta isteriku tercinta. Perjanjian jual beli itu begitu lancar namun malam itu di kotapun hujan deras mengguyur hingga memaksaku pulang esok harinya.

Besoknya dengan suka cita aku pulang membawa kalung perhiasan berbandul mutiara untuk isteriku. Setelah sampai di pedukuhan, seketika itu pula perasaanku remuk redam ketika melihat sekelilingku telah rata dengan tanah. Hujan deras itu rupanya tidak hanya melumat pedukuhan dan memporak-porandakan rumah-rumah gedheg warga. Aku bisa membayangkan bagaimana dahsyatnya air dan lumpur yang bersekutu untuk memboyong batu besar di atas perbukitan itu sekaligus mempermainkan dan menerjang rumah-rumah penduduk yang ada di bawahnya. Yang tragis aku melihat orang yang paling aku cintai, telah berbalut lumpur membujur kaku tertimpa tiang rumah Pak Karmo. Mungkin dia berusaha lari, namun larinya kalah cepat.

Hanya perkebunan kopi dan rumahku inilah yang disisakan oleh prahara longsor itu. Tak ada lagi sarapan bersama, duduk menyantap secangkir kopi, lebih-lebih senyum isteriku. Tempat inilah satu-satunya kenangan terakhir saat kami masih bersama. Ruang perpustakaan yang selalu menjadi kenangan saat aku bersama isteriku merencanakan masa depan dan menceritakannya pada anakku yang masih dalam kandungan. Semua telah hilang, yang ada hanya kenangan yang menggenang. Tanganku membuka kotak berdebu berisi kalung perhiasan berbandul mutiara. Tanpa terasa air mataku meleleh. Di depanku perbukitan itu masih tandus dan gundul. Pedukuhan itu sekarang telah hilang, semua telah pindah. Untuk menghindari kutukan penguasa gunung, kata mereka.

Purwokerto, 3 Juli 2008

Tidak ada komentar: