Sabtu, 12 Juli 2008

Jam-jam untuk Penjaga Masjid

16.45 WIB
Selalu beberapa orang dari keempat penjaga masjid mengepel pendopo masjid ini bergantian dan kadangkala bersama-sama. Biar masjid ini kelihatan bersih dan suci, itu jawaban ketika aku ditanya seseorang. Aku tidak mau menjawab lebih panjang. Kadang temanku menjawab sebagian dari iman itu kebersihan. Tepatnya mungkin kebersihan sebagian dari iman. ada saja orang yang selalu menanyakan perihal kebersihan masjid dan sebagainya padahal menjaga masjid adalah kewajiban setiap orang. Sore itu aku mengepel dengan temanku bertiga. Sementara udara dingin dan gerimis hujan seolah sangat kerasan dan betah mengguyur kota kecil ini. Kami bertiga berbagi tugas, sahabatku yang satu membenahi karpet di dalam masjid yang berantakan karena ulah anak-anak yang bermain sewaktu mengaji, belajar membaca huruf Hijaiyah dan Al Qur'an.

Sahabatku yang satunya dengan gagah memegang sapu yang telah pendek gagang sapunya. Sementara aku memegang tongkat pel dengan ember air yang berisi setengah saja. Aroma pewangi lantai dalam ember itu seolah menjadi shockterapy bagiku yang baru saja kuliah dengan dosen killer yang menjemukan tadi siang. untuk mahasiswa dengan intelegensia pas-pasan seperti aku, nilainya pelit, tugas-tugasnya berbelit-belit dan terlampau sulit,

Entah kenapa beberapa bulan ini aku merasa mengalami gejala keanehan dalam diriku tapi tak pernah tahu pasti penyebabnya. Aku seringkali terbalik-balik dalam menyusun kata-kata dalam setiap harinya. Arah tidurpun selalu sangat kontra arah dengan sahabat sekamarku, kepalaku di bagian kepalanya dan kepalanya di depan kakiku. kebetulan aku tidur dengan sesame pria setipa malamnya. Pernah aku berpikir sebab semua ini mungkin karena aku kebetulan kuliah di sosiologi,efek dari kuliah dari dekonstruksi Derida atau Foucault. Ah…tapi….setelah aku amati ternyata teman-teman sosiologi juga normal-normal saja. berarti hipotesisku bisa saja salah. Aku selanjutnya mencari jawaban lain yang lebih logis. Tapi lagi-lagi aku tak pernah puas, selalu saja aku merasa jawabanku sangat irrasional. Sementara aku pernah berkesimpulan mungkin karena aku tinggal di mesjid. Karena konon katanya mahasiswa yang tinggal di masjid berbeda dengan mahasiswa yang tinggal di kos-kosan. Lagi-lagi katanya. orang yang tinggal di masjid terkendali imannya, tapi sekali lagi pernyataan itu aku serta merta kusangkal dengan keras.

17.00 WIB
Masjid yang aku tempati bersama kedua sahabatku di pinggir jalan, bahkan sangat dekat dengan jalan yang selalu ramai dengan lalu lalang kendaraan dan juga pedagang makanan yang setiap sore selalu berjajar berjualan melayani mahasiswi-mahasiswa cantik berkulit putih yang selalu menjadi impian lamaku dan selalu menjadi impian terbaruku. Bagiku waktu dulu atau sekarang itu tak ada bedanya, karena menurutku aku masih saja seperti dulu, tetap sama. Tetap sama sebagai mahasiswa yang tinggal di masjid bersama kedua sahabat setiaku. Sama-sama sebagai santri Pak Kyai. Sama-sama sebagai mahasiswa yang sudah semester sepuluh tapi belum lulus-lulus.

Impianku memang dari dulu ialah cukup sederhana. Mempunyai seseorang yang bisa memotivasiku ketika aku sedang lemah dan patah semangat. Tapi entahlah, aku belum menemukan orang tersebut. Aku harap seseorang itu adalah seorang gadis atau perawan yang cantik baik hati, bukan seorang lelaki konyol seperti sahabat-sahabatku di masjid yang ketika tidur senang sekali melingkarkan kakinya di pinggangku.

Aku terus saja mengepel lantai yang kotor oleh kaki-kaki sang ahli ibadah yang rajin ke masjid. Walaupun bersandal dan berpayungan kaki mereka tetap saja ngeres. Entah semangat apa yang menjadi rajin ke masjid untuk sembahyang pada tuhan sang pemberi hujan. Tapi aku tak peduli dengan mereka yang rajin sholat di masjid yang aku tempati. Yang penting waktu itu dalam pikiranku adalah menyelesaikan pekerjaan mengepel lantai itu rampung dengan secepatnya karena keburu waktu maghrib tiba. Sambil cepat-cepat mengepel lantai masjid, sambil cepat-cepat pula aku mencuri-curi pandang ketika melintas mahasiswi-mahasiswi pemburu makanan sore di deretan penjual makanan di jalan kampus. Kebetulan setelah lama aku mengamati satu persatu orang melintas di depan mesjidku. Kebetulan aku melihat seorang gadis. Kebetulan pula seperti gadis impianku. Kebetulan pula dia menengok ke arahku dan melihatku yang keren dengan pegangan tongkat pel, berkaos dan bersarung.
Alam khayalku muncul dihadapanku setelah melihat wajah manis yang melintas di depan masjidku. Wajahnya manis seperti madu penawar sariawanku. Rambutnya mengombak seperti ombak lautan sore hari yang menenangkanku ketika aku melihat matahari tenggelam. Alisnya yang kata orang jawa nanggal sepisan semakin menambah jelas jernih matanya dan lentik bulu matanya yang telah membuaiku terbang ke langit biru yang amat tinggi dengan menutup mata. Ya… Tuhan bibirnya begitu indah, melebihi indah bibir para bidadari syurga mungkin….

Sosok impian akhirnya melintas dengan cepat meninggalkan pelataran masjid yang sempit. Yah…seandainya aku bisa menghentikan waktu mungkin akan kulukis dirinya sebelum ia pergi. Sementara mega merah di ufuk barat telah benderang menandakan waktu maghrib segera tiba, aku hentikan mengepel sambil berjalan menaruh kain pel seraya memandangi kepergian sosok impian yang telah hilang bersama angin senja yang menyapa perutku yang keroncongan.

17.45 WIB
Maghrib telah tiba, suara adzan temanku menggema menyambut mega merah di langit barat. Sesaat kemudian pujian pada Tuhan dan sholawat Nabi berkumandang dilanjutkan iqomat didengungkan. Kamipun semua bercinta dengan Tuhan lewat gerak takbir, ruku dan sujud kami. Gerak bibir kami senantiasa memujinya, membesarkan namanya dan mensucikan keindahan dan keagungan-Nya.
Selesai sholat aku berdoa pada Tuhan yang maha pemurah untuk mengasihi penjaga masjid. Mendatangkan bidadari-bidadari dari langit untuk sholat berjamaah di masjid ini, hingga aku dapat mencuri mukena milik salah satu bidadari yang ikut sholat jamaah supaya menjadi isteriku. Mungkinkah ketika kupintakan kepada-Mu, terkabulkah? Kebetulan aku hanya bisa berdo’a dan usahaku sebagai seorang penjaga mesjid.

17.45-22.42 WIB
Sholat, mendengarkan ceramah, berdiskusi tentang wanita yang kami tak kenal namanya.

00.12 WIB
Menjelang tidur aku biarkan imajinasi liarku berkelana. Seandainya tengah malam ini datang seorang bidadari. Menemuiku di bilik masjid yang sepi ini. Sementara saudara-saudaraku telah tertidur lelap dalam pangkuan-pangkuan mimpi malam.Sementara para pedagang di jalan kampus telah banyak pulang mendorong gerobaknya.

Sementara bidadari itu mengajakku terbang. Sementara kabut malam ini begitu tebal putih dalam hitam malam.Sementara dingin udara ini semakin memucatkan bibirku. Sementara badanku menggigil kedinginan. Sementara ada depanku terpatung seorang bidadari.Sementara senyumnya tersungging sangat manis dari bibirnya yang tipis. Sementara aku semakin kedinginan. Sementara angin itu merangkak menelusuri tubuhku yang menggigil. Sementara rambut bidadari yang wangi itu sebagian terkena angin mengenai wajahkuTuhan….apa yang harus aku lakukan. Sementara bidadari itu telah hilang terbang bersama kabut malam yang semakin meninggi dan menjemput embun malam untuk turun ke bumi.

05.30 WIB
Jum’at pagi ini seperti biasa berusaha untuk bekerja keras untuk membersihkan karpet yang terpasang di masjid. Entah kenapa semenjak malam tadi kabut begitu tebal menutupi jalanan di sudut kecil kota purwokerto. Yah….kabut begitu tebal. Menjelang subuh aku tidak begitu memperhatikan cuaca alam, yang aku perhatikan mungkin karena aku sudah kesiangan bangun untuk adzan subuh. Kebetulan entah kenapa tadi malam aku juga mimpi cukup indah hingga membasahi sedikit bagian dari tubuhku. Mungkinkah ini karena kabut yang tebal yang menutupi malam.ah….aku tak tahu, aku tak peduli. Yang aku pedulikan adalah aku begitu ingin mengurangi mimpi yang sangat ini. Aku ingin mengulangi lagi mimpi malam tadi. Tapi….mungkinkah ketika aku tidur kembali aku akan bermimpi yang sama seperti tadi malam. Ah….lagi-lagi aku berkhayal.

Sementara kabut masih tebal menutupi sisi jalan kampus setelah subuh ini. “wahai saudaraku, kabut begitu tebal pagi ini bahkan akhir-akhir ini. Kenapa ya?” aku bertanya dengan spontan kepada sahabatku ketika memasuki bilik suci tempat tinggal kami berdua bahkan bertiga. “kata pak kyai ini lah tanda-tanda jaman akhir”jawaban yang tak disangka-sangka keluar dari lisan sahabatku, yang sedari tadi ada di kamar setelah melanjutkan tahlil dan wirid bersama pak kyai.” Ah…benarkah seperti itu?”tanpa sadar aku merasa gelisah, setelah mendengar jawaban dari sahabatku tadi.
Jaman akhir, jaman mendekati kiamat. Bumi sudah tua, sudah banyak bencana, sudah banyak musibah besar silih berganti menerpa negeri ini. Kalau kata pak kyai, semua ini karena banyak umat yang telah meninggalkan ulama, banyak laku maksiat. Tapi kalau kata mbah buyutku ini jaman akhir jaman edan, jaman orang gila yang serakah dengan harta, tahta dan wanita. Semua cara dihalalkan dan semua yang haram dihalalkan.tapi katanya nanti kata mbahku aka nada ratu adil. Tapi katanya pak kyai di jaman akhir akan datang sang penyelamat dunia, pembawa risalah kebenaran untuk orang-orang yang sesat. Mungkinkah sang penyelamat ini atau ratu adil ini adalah orang yang sama, tapi siapakah dia? Dimanakah dia dan kapan dia akan datang untuk memperbaiki semangat jaman yang sudah edan ini.

Sementara kabut masih tebal namun sorot sinar matahari pagi selalu beranjak naik dan berusaha menerobos kabut tebal yang menutupi jalan. Ketika aku melihat sinar matahari pagi aku ingat pada kasih ibuku yang sepanjang nafasku selalu mendo’akanku. Aku tahu bahwa setiap jam empat pagi ibuku dan mbahku yang sudah tua dan bungkuk telah bangun dan memasak air.
Sementara kabut masih tebal aku juga teringat bapakku. Sepanjang kuliahku ia selalu berusaha bekerja semampu tenaga untuk menghidupiku. Sementara aku juga sangat ingat ayahku yang mungkin di saat kabut masih tebal, pastinya ia sudah berjalan menelusuri panjangnya pematang sawah yang masih berembun. Aku bisa bayangkan kalau dipundaknya sudah ada cangkul kesayangannya. walaupn bapakku punya banyak cangkul namun aku melihat hanya cangkul itu yang selalu dibawa bapakku ke sawah. Kalau cangkul-cangkul lain bisa dipinjam oleh tetanggaku atau pamanku, tapi cangkul ini sangat berat dan larangan untuk dipinjamkan.

Aku bisa menebak kenapa bapaku begitu sayang dengan cangkulnya yang satunya itu. Mungkin karena selama inilah dengan cangkul itu bapakku menghidupiku menghidupi adikku, menafkahi ibuku. Cangkul itulah yang telah menyemaikan benih-benih padi disawahnya untuk tumbuh subur. Padi itulah harapan baginya. Ketika panen tiba, selalu aku melihat senyumnya dan tarikan dan hembusan nafasnya yang panjang menandakan kelegaan dan kebahagiaan.Namun aku masih ingat ketika musim kemarau kemarin bapakku tidak bisa menanam padi, ia begitu pontang-panting menjual segala macam hasil bumi untuk keperluan kuliahku bahkan ditambah ongkos transport adikku yang masih SMP.

Lembah Gunung Slamet (Purwokerto) 7 Juli 2008

Tidak ada komentar: