Minggu, 14 Juni 2009

Kamilayan

Tak ada mendung menggantung di atas langit pedukuhan Gandasari. Perbukitan yang kerontang dengan pepohonan berdaun jarang dan meranggas. Tunas-tunas mudapun tak nampak apalagi sulur umbi gadung yang tumbuh di pekarangan rumah, padahal ketika lengkung sulur gadung nampak warga dukuh percaya itulah pertanda alam bahwa musim penghujan segera tiba. Yang sering terdengar mengiris hati hanya suara batang bambu bergesekan yang dipermainkan angin kering dari utara. Setelah itu akan nampak daun-daunnya yang kering berputar-putar di udara sebelum jatuh mencium tanah berdebu tebal. Kemarau di bulan Agustus ini sepertinya masih panjang.

Pada musim ketiga ini, air menjadi begitu berharga warga dukuh itu. Entahlah, kini sumur-sumur dan sumber air hampir semuanya kering, hanya mata air di balik bukit Wadaskelir yang masih mengalir. Itulah mata air satu-satunya. Sepanjang hari nampak pemandangan warga berbondong-bondong seperti semut, menyusuri jalan setapak perbukitan yang curam menuju arah dua pohon jati raksasa. Di bawah dua pohon jati raksasa itulah ada sumber air menggenang pada sebuah ceruk kecil. Orang-orang menyebut ceruk itu, Belik Eyang Riyong. Jaman dulu orang-orang menggunakan tempurung buah Maja untuk mengambil airnya. Dulu di atas belik1 itu juga selalu ada sesaji jajanan pasar, aneka wedang2, rokok kemenyan klembak, kembang dan kepulan asap dupa. Konon di situ tempat pesugihan celengkarung3. Kini di situlah manusia-manusia dukuh Gandasari berkerumun dan bergantian mengambil air untuk dibawa pulang.
Matahari siang itu membuat bumi serasa terpanggang. Orang-orang di perbukitan itu banyak berteduh di bawah dua pohon jati raksasa sambil menunggu bergantian mengambil air. Tak ada tempat berteduh kecuali dua pohon jati itu. Namun Murdi, pria lima puluhan tahun itu melangkah menjauh. Jligen dan pikulan pengangkut air ditinggalkannya. Ia lalu duduk berselonjor kaki. Tanpa berteduh dibiarkannya tubuhnya dipeluk terik matahari, peluhnya kelihatan mengkilat mengalir halus dari kening melewati wajah sebalum menetes ke dadanya. Sesekali rongga dadanya kembang kempis menarik dan menghembuskan nafas panjang. Pandangnya kosong, padahal di depannya terhampar lereng perbukitan ilalang kering yang berombak-ombak disapu angin. Desau angin itu begitu panjang, sayup hilang-terdengar menyusuri panjangnya Bukit Wadaskelir. Suara ribut orang saling mencaci dan menyalahkan temannya yang menumpahkan air, tak mampu mengisi kosong pandangnya. Jligen-jligen dan ember penampung air berserakan, bahkan ketika keributan dua orang itu semakin menjadi Murdi tak peduli. Murdi masih hanyut dalam lamunan panjangnya.

***

Tujuh bulan yang lalu. Di rumah. ‘Murdi, sebagai suami masa kaubiarkan isterimu itu kembali akan merantau ke luar negeri ’ tegur ibunya yang telah renta.
Murdi hanya duduk termangu di atas lincak4 bamboo. Sementara ibunya terus membenamkan kayu bakar ke dalam mulut tungku. Api di dalamnya menjilat-jilat. Air nira di dalam kuali besar itu nampak mendidih. Namun sedikit bahkan terlampau sedikit. ‘Biyung5, kemarin jadi berapa kilogram gula merahnya?’ Murdi bertanya mencoba mengalihkan tema pembicaraan. Ralem perempuan tua yang sudah bongkok itu ngeloyor ke luar rumah mengambil daun kelapa kering. Tak memedulikan Murdi. Murdipun sebenarnya tahu, jauh sebelum kemarau ini, pohon kelapa yang disadapnya tak lagi mengeluarkan nira yang melimpah. Pendapatannya sebagai penderes kian hari kian tak dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Apalagi ketiga anaknya masih bersekolah.

‘Memang Murdi itu terlalu berani, sudah tahu orang melarat. Berani-beraninya menyekolahkan semua anaknya’ buat apa sekolah tinggi-tinggi toh nanti yang jadi priyayi hanya orang-orang kota saja’ tidak jarang selentingan dari tetangganya. Terlebih lagi ketika hutangnya semakin lama semakin menumpuk pada tauke gula kelapa. Tiga bulan ini sewa pohon kelapa yang disadapnyapun belum dibayar. Sering ketika memanjat pohon kelapa, terasa pusing sekali kepalanya sehingga seringkali ia berhenti dan istirahat sambil duduk bersandar pada batang pohon kelapa.
‘Kang, kalau begini terus. Anak-anak bisa putus sekolah. Utang kita terus bertambah. Bagaimana kalau aku ikut Uwak6 Gino jadi TKI di Brunei. Kalau di Brunei ga usah bisa bahasa Inggris-ingrisan juga tidak apa-apa, terus uang berangkatnya dibayar dengan potong gaji tujuh bulan kerja’ tariah berkata sambil menatap mata cekung murdi.
‘Tar, apa kamu tidak ingat waktu kamu kerja tujuh bulan di Kalimantan bersama Kang Wasrip, Bapakmu itu kena kamilayan7, sakit sebab kepergianmu dan kehilanganmu. Terus kamu pulang setelah dikabari bahwa Bapak sakit dan obat kesembuhannya adalah ketemu kamu. Ternyata kepulanganmu bukannya menjadi obatnya, tiga hari setelah itu penyakitnya tambah parah sampai akhirnya meninggal. Apa kamu ingin hal itu terjadi lagi pada Biyungmu?’ murdi mencoba mengingatkan isterinya.

‘Kang, tapi kalau aku tidak berangkat, kita mau mengandalkan apa? Sawah yang sepetak kecil itu telah tergadai selama setahun pada Pak Darso sejak Kasno awal masuk SMP. Untung Kasno tinggal di rumah Uwaknya. Tini juga setahun lagi akan lulus SMP dan butuh biaya besar. Si bungsu Ripto setahun lagi akan lulus SD. Masa kita tidak bisa menyekolahkan mereka. Kasihan mereka. Biar kita yang sengsara asal mereka bisa tetap sekolah’ tariah terus mendesak murdi. Dan murdi tak dapat menjawabnya. Semua yang dikatakan tariah memang semuanya benar. Tak ada yang dapat disangkalnya. Dadanya semakin sesak. Kepalanya serasa berputar. Tanpa berkata ia langsung bangkit sambil terhuyung meninggalkan kamarnya. Ia merasa semakin berat pundaknya tertimpa beban yang kian bertambah. Dibiarkannya tariah duduk termangu sendiri. Di luar rumah ia berbaring di atas lincak, matanya lurus memandang langit. Di atas sana bintang berkerdipan. Angin malampun masuk ke dalam rumahnya lewat celah-celah dinding anyaman bambu yang lama tak terganti.

Seminggu setelah malam itu, dengan tekad bulat isterinya jadi pergi. Tinggallah Sanmurdi di rumah bersama ibunya yang renta dan ripto yang sudah kelas enam SD. Sementara dua anaknya kasno dan tini, pasti akan ketemu tariah di rumah Uwak Gino. Murdi masih teringat pesan menjelang kepergian isterinya ‘ Kang, aku titip anak-anak’. Setelah itu ia bersalaman dengan Ralem, ibu mertuanya. ‘ Do’akan aku Biyung biar dapat hasil’. Tariah lalu melangkah pergi sambil menunduk. Tas besar dijinjingnya. Tinggallah kedua orang yang dicintainya terpatung di pelataran rumah di pagi buta. Sementara si bungsu Ripto masih tidur. Hanya ciuman Tariah yang ditinggalkannya ketika ia masih nyenyak bermimpi mengejar layang-layang di sawah.

***

‘Kang Murdi, rika sida ngangsu apa ora kiye?8’ suara kartim, membangunkan lamunannya. Matahari sudah mulai tergelincir ke barat. Murdi hanya mengangguk membalas teguran Kartim yang sudah memikul dua jligen air dan siap-siap menuruni jalan curam perbukitan Wadaskelir untuk pulang. Murdi mencoba bangkit tapi kakinya serasa begitu gemetar, lemas tak mampu menopang tubuhnya. Terasa perbukitan itu bergoyang-goyang dan berputar seperti ada gempa. Setelah itu yang dilihatnya hanya gelap dan gelap. Ia ambruk pingsan.

Setelah bangun, ia sudah ada di rumah. dan telah beberapa minggu ini ia di rumah. Ia tak lagi mampu memanjat pohon kelapa untuk mengambil nira. Pekerjaan menyadap nira diwakilkan Kartim adiknya. Yang dirasa Murdi, hanya lemas dan serasa ada yang menggerogoti seluruh persendian tubuhnya. Tubuhnya kurus, tidak enak makan, wajahnya kuning layu. Tak ada gairah lagi dalam hidupnya. Keadaannya kini sama seperti Kasnawi, almarhum bapak mertuanya. Kemudian tersiar kabar di seluruh pedukuhan itu tentang murdi. Murdi kena kamilayan. Kamilayan karena kehilangan Tariah.

juni 2009
ketika musim tak jelas ternamai

Tidak ada komentar: