Jumat, 16 Oktober 2009

Srintil “Mbabar” di Halaman Mushala


HALAMAN belakang kediaman Ahmad Tohari di Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jumat (29/8) malam lalu, potensial menjadi sumbu kericuhan sepanjang Orde Baru masih bertahta. Selama lebih dari dua jam, ruang lapang yang sekaligus menjadi halaman Mushola Al-Hidayah itu menjadi panggung tempat ”mbabar”-nya lengger kondang Srintil ke alam nyata. Bersamanya pula, terpampang Dukuh Paruk lengkap dengan imaji kegetiran yang melingkupi kisah sejarah mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI).

Itulah bagian dari perjalanan pentas Teater Tarian Mahesa (TTM) Bandung yang menafsirkan trilogi novel ”Ronggeng Dukuh Paruk” (RDP) ke dalam naskah monolog. Perpaduan adaptasi naskah karya Gusjur Mahesa dengan intensitas akting Opey Sophia inilah yang rupanya mengundang fans berat RDP dari berbagai kota. Tak cuma dari Banyumas, penonton berbondong-bondong datang dari Indramayu, Semarang, dan Yogyakarta. Untuk pertama kalinya pula, penduduk desa dan para santri menyaksikan pertunjukkan teater modern yang digelar di desa itu.

Monolog yang dalam ranah seni rakyat Banyumas dinamai munthiet, bergerak dalam alur melingkar. Puncak kegilaan Srintil hadir sebagai teror pertama sebelum lakon meniti waktu hingga masa-masa awal penobatannya sebagai ronggeng. ”Lagu kebangsaan” PKI berjudul ”Genjer-genjer” yang lenyap di novel, dihadirkan untuk memperkokoh lakon. ”Tangan saya pun turut menggigil karena pengawasan penguasa sehingga tak berani seutuhnya menulis syair lagu itu,” demikian pengakuan Tohari.

Bagi TTM, kesederhanaan rupanya memang telah menjadi obsesi. Properti yang dimainkan pelakon hanya berupa ranjang, kertas koran, kotak kayu, dan sebatang pohon durian asli. Tak ada musik sama sekali, selain dendang acapella oleh Yossak Anugrah, Ani Rengganis, Dian Hardiana, dan Ersal S Rahman. ”Kami mengadaptasi RDP sejak 1997. Nilai-nilai dalam novel ini masih tetap aktual hingga kini. Kisah Srintil yang menjadi korban pergeseran nilai sama dengan yang dialami Dewi Persik, Inul hingga Ahmadiyah,” ungkap Gusjur.

Pengarang memang mati sesaat ketika teks telah sampai ke tangan pembaca. Sebagai tafsir, monolog terhitung setia pada novel. Di tengah-tengah kerumunan fans RDP, alur bisa dibaca dengan mudah. Bahkan sejumlah penonton acapkali nyeletuk sederet kalimat novel yang nyatanya kemudian diucapkan oleh aktris. Monolog juga tampak sangat keras mempertahankan lokalitas Banyumasan. ”Tafsir memang bebas. Dan tafsir TTM jauh lebih mendalam dari tafsir dalam film Darah Mahkota Ronggeng. Sebenarnya, tidak masalah jika ditafsir dalam konteks kebudayaan Sunda, bukan Banyumasan,” ungkap Ahmad Tohari. (Sigit Harsanto-)


Tidak ada komentar: