KOMPAS.com - Sepuluh penari cilik itu bersiap di panggung sederhana beratap ilalang di Desa Plana, Kecamatan Somagede, Banyumas. Mereka bersiap memainkan dolanan tradisional Banyumas, seliring genting dalam bentuk sendratari. Satu penari berdiri terpisah menghadap ke sembilan penari lainnya, yang membentuk formasi rangkaian membujur ke belakang dengan memegang pinggang kawan di depannya, mirip formasi permainan ular-ularan.
Penari yang menghadapi ke sembilan rekannya berperan sebagai Maling Aguna, si pencuri baik hati, sedangkan penari terdepan di formasi ular-ularan berperan sebagai Nini Nini, atau nenek penunggu bulan. Tak berapa lama, dialog pun terjadi di antara mereka dalam bahasa Banyumas.
Maling Aguna: Nini nini sing tunggu wulan, inyong njaluk genine
Nini: Diwadahi opo?opo ora kepanasen?
Maling Aguna: inyong njaluk pitik trondol
Nini: nggo apa?
Maling Aguna: nggo cempal
Nini: ora ulih
Maling Aguna: nggon ora ulih tak pleter kucing
Niat Maling Aguna hanya satu, yakni meminta api kepada Nini. Untuk dapat membawa api, sang maling harus merebut dulu pitik trondol, atau ayam . Dalam formasi ular-ularan itu, si pitik berada di ujung belakang. Permintaan maling ternyata ditolak Nini. Mendengar penolakan itu, maling pun mengejar pitik. Sekuat tenaga, Nini dan tujuh orang yang berada di be lakangnya melindungi pitik.
Sambil kejar-kejaran, anak-anak tersebut menyanyikan tembang berbahasa Jawa kuno, yang merupakan tembang khas dolanan ini. Tembang itu mengalun riuh bersamaan tawa di di antara mereka. Salah satu lirik tembang tersebut antara lain: Seliring genting, rangu-rangu bang sikatan, sikatane gawe rutuh, rutuh-rutuh bedhil gede, onek kena sanggul bale. Dorrr...
Itulah sepenggal pertunjukan dolanan tradisional Banyumas, Seliring Genting yang digelar di Padepokan Seni Banyubiru, Plana, Somagede, Banyumas, pekan lalu. Dolanan tersebut ditampilkan dengan tarian lengger dan musik calung.
Seliring genting adalah satu dari puluhan ragam dolanan anak di Banyumas yang pernah ada. Seni ini diperkirakan sudah ada jauh sebelum pengaruh Mataram Islam dan Pajajaran masuk ke wilayah ini. Penggunaan tembang bahasa Jawa kuno adalah salah satu hal yang mendukung perkiraan tersebut.
Biasanya, dolanan ini dilakukan saat bulan purnama tiba. Saat mana anak-anak dapat berkumpul di halaman luas untuk gojekan (bercanda ria) dan bermain. Saat yang selalu ditunggu masyarakat pedesaan yang agraris karena nini wulan, nenek penunggu rembulan, datang serta memberikan harapan baru bagi kehidupan esok hari.
Namun demikian, kini keberadaan dolanan ini dalam kehidupan praksis telah hilang. Nyaris tak ada lagi anak-anak di wilayah Banyumas dan sekitarnya yang memainkan jenis permainan tradisional ini.
Seperti halnya budaya tradisional lainnya, dolanan anak seperti seliring genting ini sudah diterjang oleh riuh rendahnya budaya pop yang hadir hingga ke relung desa. Jangankan memainkannya, mungkin mendengar nama dolanan ini saja anak-anak di Banyumas zaman sekarang tak pernah lagi, tutur pembina Padepokan Seni Banyubiru, Yusmanto.
Keprihatinan ini yang mendorong Yusmanto menggelar pertunjukan dolanan yang nyaris punah tersebut. Bukan hanya seliring genting, pekan lalu, padepokan yang terletak di antara Kali Serayu dan di lereng pegunungan Kendheng Selatan ini juga menggelar puluhan dolanan anak yang pernah ada di Banyumas.
"Tujuan kami menampilkan seni dolanan tradisional ini selain sekadar melestarikan juga untuk mendokumentasikan bahwa seni ini adalah milik kita. Seni komunal Banyumas. Sebagai pecinta budaya tradisional, tentu kami juga khawatir dengan apa yang terjadi dengan beberapa budaya kita yang diklain negara lain," papar Yusmanto.
Banyumas memang kaya akan dolanan tradisional semacam ini. Hal tersebut tak terlepas dari tiga faktor, yakni budaya lokal yang eksis, pengaruh Jawa, dan pengaruh Sunda. Tak heran, banyak dolanan tradisional khas Banyumas yang mirip dolanan khas Jawa maupun Sunda, sebagi contoh adalah benthik dan ujungan.
Budaya televisi
Budayawan Banyumas, Saeran Samsidi, mengungkapkan, dolanan khas banyumasan seperti siguk, andul kopet (mande), dir-diran lewok, poces, thomprang, ganden, umbul wayang, sangkutawar kini tidak lagi akrab di telinga anak-anak zaman sekarang di daerah ini.
Bahkan, dolanan tradisional yang bersifat umum, seperti benthik, mel-melan, gobak sodor, dan dolanan ketangkasan lainnya sangat jarang dimainkan anak-anak di sini.
Dolanan banyumasan banyak yang disertai ungkapan-ungkapan khas dan tembang-tembang, serta tarian. Dalam masyarakat umum, dolanan ini sudah tidak ada lagi. Kalau benthik, atau gobak sodor mungkin masih ada, tetapi sangat ja rang. Semuanya terlupakan karena pengaruh televisi dan modernisme, Saeran.
Keberadaan dolanan tradisional itu kini tinggal sebatas pementasan di festival dan pertunjukan seni tradisional. Sejumlah sekolah ada yang berinisiatif memasukkan dolanan anak ini dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti di SD Negeri III Notog, Banyumas. Terakhir, pementasan dolanan anak itu di lokakarya Budaya Banyumas di Universitas Muhammadiyah Purwokerto awal Maret 2009.
Terkait dengan punahnya dolanan tradisional itu, sejak tahun 2008 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyumas membuat buku tentang dolanan anak. Buku tersebut berisi berbagai jenis dolanan Banyumas beserta tembang-tembangnya.
Sayangnya, tak ada program berikutnya untuk lebih jauh memperkenalkan budaya ini kepada masyarakat setelah buku itu ada. Hak cipta atas dolanan tersebut pun tak pernah diupayakan.
Namun demikian, sejumlah pegiat seni tak kehilangan semangat dengan minimnya dukungan pemerintah itu. Mereka sadar, menggelar pertunjukan dolanan anak sebagai mana adanya tak akan menarik minat masyarakat untuk menonton. Langkah kreatif pun mereka tempuh dengan memadupadankan dolanan dengan seni tari lengger, ebeg, musik calung, dan teater tradisional.
Langkah tersebut memang cukup efektif memperkenalkan kembali budaya warisan yang nyaris hilang itu. Namun, sampai kapan kekuatan swadaya itu mampu bertahan di tengah desakan kapitalisme dan kehidupan yang serba pragmatis? Bila tak segera ada langkah nyata, bukan tak mungkin dolanan semacam seliring genting tiba-tiba muncul di situs resmi pemerintah negara tetangga. (M Burhanudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar