Sabtu, 23 Januari 2010

Tak Ingin Anaknya Jadi Lengger-Menyorot Nafas Kehidupan Lengger dan Calung Keliling


















Di tengah kesibukan persiapan para seniman calung dan lengger lain untuk mengikuti Festifal Lengger dan Calung di Fatmaba beberapa waktu lalu. Terdengar alunan calung sederhana dengan dua lengger dengan pakaian biasa. Mereka sedang me...ngamen di sebuah emper rumah seorang warga di tepi jalan Kracak Ajibarang.


"Saya tak ingin anak saya jadi lengger" kata Dede (32) seorang seniman lengger suatu saat. Bersama Dewi (32) saudara kembarnya, Dede kini menjadi seniman lengger 'ideran' (keliling, red). Diiringi oleh tiga orang yaitu penabuh calung dan kendang, Dede dan Dewi setiap hari harus berkeliling mengamen ke kota untuk menyambung nafas kehidupan keluarganya.


Tembang Bendrong Kulon sayup-sayup terdengar dari mulut dua orang seniman lengger dari depan emper sebuah rumah di Ajibarang. Suara calung pengarep dan calung penerus yang ditabuh oleh Ridun dan Yamanpun terdengar mengalun. Sementara Gino dengan lincahnya menepak-nepak alat musik kendang dari pipa paralon. Mereka seperti tidak memedulikan deru mesin kendaraan bermotor yang sibuk lalu lalang melintas di jalan depan rumah itu. Seniman-seniman jalanan itu hanya peduli pada rupiah-rupiah yang nanti akan mereka terima setelah memainkan tembang-tembang yang dipesan oleh penanggapnya.


"Satu lagu Rp 2000, dan kalau pakai 'ngibing' (menari, red) bayarannya Rp 5000. Kalau hujan, ya...kita panen tangis" kata Dewi saudara kembar Dede seusai nembang. Beruntung cuaca hari Jum'at itu cerah. Bagi mereka, mendung yang menggelayut hitam menjadi pertanda suram bagi rejeki mereka. Ketika hujan bisa dipastikan tanggapan mereka akan sepi. Jika sepi mereka mengakui hanya kebagian Rp 5000 untuk setiap orangnya.


"Kami biasa mengamen keliling sampai ke daerah Bumiayu. Kalau ada ongkos ya kita naik kendaraan, tapi kalau ga ya kita terpaksa jalan kaki. Kita sudah terbiasa seperti itu. Kita ngamen karena memang kalau sekarang tanggapan lengger itu sepi, kalah dengan permainan organ dan hiburan lain" kata Dede menjelaskan keadaan seni lengger dan calung sekarang ini.


Menurutnya seniman lengger asal Desa Rancabanteng, RT 1/5 wangon ini, lengger memang dulu pernah berjaya. Namun sepeninggal ayahnya dan seiring perkembangan jaman kesenian tradisional asli Banyumas ini tidak hanya semakin terpinggirkan bahkan menurut mereka lengger dan calung semakin tertutup. Kiblat seni generasi muda kebanyakan telah beralih ke barat.


Mereka telah menekuni profesi ini selama puluhan tahun. Selain karena sepinya tanggapan, tidak adanya lahan produksi baik lahan sawah ataupun ladangyang mereka punyai, mereka harus mengamen berkeliling ke luar desa. Ketidakjelasan penghasilan sebagai buruh tani dan buruh lepas membuat mereka tetap mempertahankan kesenian ini sebagai cara untuk menafkahi hidup mereka. Bagi mereka tidak ada pilihan menjadi pengamen lengger dan calung keliling.


"Saya tak ingin anak saya jadi lengger seperti saya. Saya ingin anak saya bisa bersekolah setinggi-tingginya. Saya bingung katanya di sekolah sudah ada dana BOS tapi kok ya anak saya harus membayar buku saja. Padahal ketika sepatunya bolongpun anak saya tidak mau sekolah karena malu. Sementara anak saya yang pertama, sekarang sudah kelas VI. Padahal untuk bisa sekolah ke SMP perlu duit berjuta-juta. Lalu bagaimana anak saya bisa sekolah" keluh Dede yang mengaku mempunyai empat orang anak. Mereka menceritakan pengalaman tetangganya yang harus memasukkan anaknya ke SMP harus membayar Rp 1,7 juta untuk membayar uang pengembagan atau pembangunan. Selain Dede, Yaman juga beranak empat.


Di satu sisi banyak pihak berkoar-koar menghimbau agar seni tradisional termasuk lengger dan calung untuk dilestarikan. Namun di sisi lain terbukti para seniman yang getol berusaha menghidupi seni tradisional ini malah hidup kembang kempis. Seni tradisional seringkali belum sepenuhnya menghidupi mereka secara layak. Untuk menyekolahkan anaknya saja mereka tak mampu. Terlebih lagi pendidikan sekarang sepertinya telah menjadi lahan komodifikasi dan komersialisasi oknum tertentu.


Adalah sebuah tragika, ketika para seniman yang menjadi subjek kesenian justru karena alasan ekonomi mereka tak mengharapkan anaknya jadi generasi penerus seniman seperti mereka. Pandangan miring sementara masyarakat terutama generasi muda terhadap Seni lengger dan calung ini yang dianggap kuno dan kurang gaul semakin membuat kesenian asli Banyumas ini semakin teralienasi.


"Entahlah bagaimana nasib kami ketika nanti orang-orang tua yang biasanya nanggap kami sudah tidak ada. Padahal kebanyakan yang nanggap kami ini orang tua. Kalau anak muda ya sangat jarang" kata Ridun menceritakan. Dalam benak Ridun terbersit kekhawatiran bahwa ketika lengger dan calung sudah tidak lagi mendapat tempat. Kepada siapa mereka akan bergantung.
Sebagai seniman kecil yang hidup dari lengger dan calung, mereka berharap agar pemerintah memperhatikan mereka. Memperhatikan kehidupan seniman lengger berarti menambah umur panjang dan kelestarian seni lengger dan calung di masyarakat. Seperti orang lain mereka juga ingin anak-anak mereka bersekolah setinggi-tingginya. Perhatian pemerintah dan berbagai pihak untuk para pahlawan kesenian itu sangat diperlukan. Jangan sampai kesenian lengger dan calung Banyumasan ini, hidup segan dan matipun enggan. Ironis.(Januari 2010)

Tidak ada komentar: