Ribuan pengikut Bonokeling mengikuti puncak prosesi upacara Unggah-Unggahan Jumat (22/7) kemarin di Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang.
Selain warga pribumi, sekitar 500 orang kerabat Bonokeling juga datang dari sejumlah kecamatan Kabupaten Cilacap. Sebagian besar dari mereka menempuh jarak hingga 60 kilometer dengan kaki telanjang dan mengenakan pakaian adat Jawa. Namun ada sebagian pengikut Bonokeling yang sudah diperbolehkan naik angkutan umum.
"Kalau daerah Daunlumbung, Cilacap mereka berangkat kemarin sejak pukul 03.00 pagi. Kalau kami yang berasal dari Adireja Kecamatan Adipala berangkat pukul 08.00 dan sampai di sini kemarin pukul 14.00," ungkap Harjo Suprapto (33) warga asal Cilacap yang mengaku berangkat dengan 393 warga lainnya.
Setiba di perbatasan Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang, mereka dijemput oleh warga pribumi. Barang bawaan yang mereka pikul berupa hasil bumi dan sayur mayur kemudian diserahkan ke penduduk setempat untuk diolah. Usai beristirahat dan bersilaturahim dengan kerabat Bonokeling lainnya. Para pengikut Bonokeling dari luar daerah melebur dengan penduduk setempat.
Usai tengah malam tiba, para warga yang telah duduk berombongan terpisah lelaki dan perempuan tersebut mengikuti "Nedu" atau membaca dzikir dalam rangka memuji syukur ke hadirat Tuhan. Mereka duduk berjajar di enam rumah adat Balai Pasemuan melafalkan dzikir dipimpin Kyai Bedogol yang juga berjumlah enam bersama juru kunci tertinggi dari pukul 02.00 hingga 05.00.
"Sebelum ada listrik, dulu kita hanya menggunakan dlepak atau lentera minyak klapa bersumbu potongan kapas. Dlepak dipasangkan di dinding dan berjajar. Sehingga suasana khusuk sangat terasa sekali. Namun sekarang karena berbagai pertimbangan kita juga memakai lampu, namuan dlepak juga tetap masih diadakan" ujar Sumitro, yang dipercaya sebagai humas adat Desa Pekuncen.
Sementera para perempuan pribumi memasak nasi dan lauk untuk makanan slamten usai ziarah. Jumat (22/7) pagi kemarin, para bapak menyembelih 17 ekor kambing dan ratusan ayam. Bersama dengan santan dan bumbu lainnya, mereka memasak daging tersebut di dapur umum dadakan di samping balai Pasemuan. Gulai kambing yang disebut 'becek' itu dimasak di dalam ratusan kuali, kendil dan panci dengan tungku batang pisang. Usai matang, 'becek' kemudian ditaruh dalam wadah janur dan daun pisang untuk dijadikan takir.
"Dalam rangkaian upacara ini semua pria memang memakai blangkon, iket, baju warna hitam dan sarung. Sedangkan wanita memakai kemben yang sebagian berwarna putih," kata Sumitro.
Semua mengandung maksud. Kata Sumitro, blangkon berarti ketika belum 'gamblang' (jelas) maka harus 'takon' (bertanyalah). Sementara untuk sarung, mempunyai maksud itu manusia jangan sampai 'kesasar' (tersesat) dan 'kedlarung' (terjebak) ke hal yang buruk. Sementara warna hitam dalam baju yang dikenakan itu menandakan 'teguh cekelan waton ' atau kuat memegang prinsip.
Sedangkan untuk iket ialah mengandung arti, bahwa bentuk segi empat iket yang gelar menyimbolkan empat kiblat manusia dalam dunia dan menandakan pula empat saudara manusia. Setelah digelar maka akan iket dibuat segi tiga ketika harus dipakai dikepala. Itu berarti bahwa segitiga iket tersebut menandakan simbol dari kakang kawah atau kandungan tempat ketuban dalam rahim ibu tempat dilahirkannya manusia. Sehingga itu pemakaian iket menandakan penghormatan kepada ibu.
Di saat warga pribumi memasak dan mempersiapkan hidangan slametan, tamu kerabat Bonokeling yang berasal dari luar daerah melaksanakan prosesi unggah-unggahan. Setelah meminta ijin kepada juru kunci, dengan telanjang kai, para ibu dan remaja putri yang memakai kain, secara bergantian memasuki areal Makam Kyai Bonokeling. Usai masuk gerbang pertama mereka antre bersuci di mata air di kompleks sebelum melakukan ritual ziarah.
Setelah diri mereka suci maka merekapun secara bergantian naik menuju kompleks makam yang berada di atas bukit. Sebelum memasuki pintu gerbang makam ke dua, berulang kali mereka melaksanakan sembah pangabekti dengan duduk jongkok sungkem.Tak lupa sebagian peziarah juga menabur bunga dan membakar kemenyan dan mengucap permintaan sesampai di Makam Kyai Bonokeling.
"Pengikut Bonokeling ya Islam, karena mereka juga bersyahadat. Mereka juga tidak menyembah kepada yang tidak ada, tetapi dengan ziarah mereka meminta ke Tuhan Yang Maha Esa," tegas Sumitro.
Banyaknya peziarah yang bergantian berdoa, membuat prosesi unggah-unggahan berlangsung hingga malam. Usai ziara selesai, dipimpin oleh Juru Kunci Makam Mbah Bonokeling, Kartasari prosesi doa bersama dan slametan dilaksanakan. Sambil menghadap takir berisi 'becek', mereka memanjatkan doa keselamatan dalam puncak upacara unggah-unggahan tersebut.
"Setelah slametan sebagai puncak acara unggah-unggahan, hari Sabtunya menjadi hari bagi ziarah umum bagi warga di sini, sambil membersihkan area makam seusai upacara dan slametan unggah-unggahan hari ini. Sedangkan hari Minggu kita mengadakan 'sadranan' dengan cara masing-masing rumah membuat makanan yang nantinya didoakan oleh para Kyai Bedogol masing-masing. Selanjutnya makanan ini diberikan kepada Kyai Bedogol dan sanak kerabatnya yang ada. Sehingga makna dari sadranan ini dalarm rangka untuk menunjukkan garis keturunan kepada anak cucu" terang Sumitro.
Sumitro menuturkan bahwa dalam sejarahnya awalnya upacara unggah-unggahan ini merupakan upacara pada saat mau menanam padi dan biasanya dilaksanakan di bulan Sadran. Namun seiring dengan masuknya Islam di Banyumas, upacara ini terakulturasi dengan adanya penyambutan bulan Ramadhan dengan cara berziarah ke Makam Mbah Bonokeling. Sehingga usai upacara unggah-unggahanpun, akan dilaksanakan kembali upacara Turunan yang dulunya berasal saat petani akan memulai panen padi. Dan ini dilaksanakan di bulan Syawal.
(Susanto- Untuk Suara Merdeka-Suara Banyumas 23 Juli 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar