Minggu, 26 Februari 2012

seperti

seperti langit yang berucap lewat hujan
seperti senja yang berkata lewat semburat mega

terlalu indah untuk dikatakan
kata tak cukup untuk mengatakan semua
?:[???????)

A: Rasa kasihan itu sering membunuh perasaan...
Saya terjebak tak mampu berbalik, atau berbelok, terkekang rasa kasihan. saya terlalu rapuh untuk berkata tidak. meski dengan begitu rasaku terbunuh.
B:Dinikmati saja, Bismillah
A:Sepertinya kita sama-sama....semoga diberikan yang terbaik/Bismillah
B:.....
Kita lihat aja nanti....

26 februari 2012

Sabtu, 17 Desember 2011

Memproduksi Ciu Untuk "Tulak Mlarat"

Bau khas menyengat tercium dari dapur salah satu rumah di Dukuh Bantarmuncang, Desa Wlahar, Kecamatan Wangon, Banyumas. Sebuah tungku kayu bakar terlihat membara. Di atasnya sebuah panci berisi adonan cairan gula kelapa, ketan hitam dan singkong terus dimasak. Sementara di atas panci itu terpasang sebuah pipa yang tersambung dengan sebuah jembangan berisi air yang berfungsi sebagai pendingin.

Di bawah ujung pipa terpasanglah sebuah toples kecil sebagai tempat hasil sulingan uap air. Tetes demi tetas uap air itu dikumpulkan oleh Tini, istri Kartasim perajin ciu dari Desa Wlahar. Puluhan tahun ia menyandarkan hidup dari kerajinan ciu tersebut.

Walaupun usianya sudah senja suami istri Kartasim (77) dan Tini (67) ini masih memproduksi arak tradisional tersebut. Pengelihatan Kartasim yang sudah lama berkurang tak menciutkan semangat hidup orang tua itu untuk menggantungkan hidup kepada anak-anaknya. Di rumah itulah suami istri renta itu menjalani setiap periode jaman dengan menggantungkan hidup dari kerajinan ciu warisan nenek moyangnya.

"Yah untuk "tulak mlarat" lah mas, kita membuat ciu. Kita bisanya kerja seperti ini dari jaman dulu hingga sekarang. Saya bisa menghidupi anak-anak, iuran lingkungan, membayar pajak juga dari sini. Yah walaupun kondisi saya seperti ini saya membuat ciu. Dengan meraba peralatan karena memang telah terbiasa sejak dulu" kata Kartasim yang memang sudah terganggu pengelihatannya sejak puluhan tahun lalu. Dengan kondisinya yang terbatas ia tetap memproduksi ciu bersama isterinya Tini (67) yang setia menemaninya.

Kartasim sudah mengenal ciu sejak kecil. Bapak dan ibunya juga dulu pembuat ciu. Bahkan jaman 'Landa'
(kolonial Belanda,Red) ayahnya ditangkap dan dihukum kerja paksa karena membuat ciu ini. Terpaksa bapak saya harus kerja paksa sesuai dengan keinginan Landa karena tidak sanggup membayar denda. Ibunyapun juga terpaksa dihukum satu bulan karena ketahuan membuat ciu tersebut.

Di jaman penjajahan Belanda yang sengsara itu keluarganya ihidup dengan membuat ciu. Penangkapan perajin ciu dan perampasan peralatannya oleh Belanda disebabkan karena harga ciu yang lebih murah dibandingkan dengan minuman alkohol Junewer produksi Belanda. Produksi ciu dianggap membuat penurunan pemasaran minuman beralkohol kegemaran sebagian bangsa Landa waktu dulu.

Kejadian serupa juga terjadi ketika pemerintah Jepang tiba. Para perajin ciu ditangkapi oleh pemerintah Jepang. Pembuatan ciu tersebut juga dibuat secara sembunyi-sembunyi. Tidak hanya itu penjualan ciu juga dilakukan dengan cara tertutup. Semua dilakukan agar tidak diketahui pemerintah Jepang. Kartasim mengaku sejak ayahnya meninggal di jaman Jepang ia mulai membuat ciu bersama ibunya. Dengan membuat ciu itulah ia bersama ibunya bertahan hidup. Waktu itu harga 1 liter ciu hanya sekitar 5 ketip atau 50 sen.

"Saya masih ingat saya sunat dengan berpakaian karung goni. Saat itu kita memang sangat kekurangan makan. Apapun kita lakukan agar bisa makan termasuk membuat ciu. Karena dilarang, dulu membuat ciu tersebut di hutan. Ketika datang Jepang, api langsung kita matikan. Sedangkan kalau menjual kita jual ke babah di Pasar Ajibarang. Kalau sedikit ciu kita tempatkan pada botol namun kalau banyak ciu kita tempatkan di impes (kantong kencing kerbau, Red) biar muatannya lebih banyak" cerita Kartasim.

Dihitung sejak Jaman Jepang hingga sekarang, kakek 5 orang cucu telah menjadi perajin ciu sekitar 50 tahunan. Ia telah banyak mengalami peristiwa razia kerajinan ciu ini sampai dengan sekarang. Tak terkecuali peristiwa razia besar-besaran pada perajin ciu di Wlahar sekitar tahun 1993-1994.

Sebagai ayah yang sudah pengelihatannya berkurang ia bersyukur bisa membesarkan anak-anaknya, walaupun dengan usaha membuat minuman yang dihukumi haram oleh agama yang dipeluknya. Namun tidak bisa dipungkiri tidak hanya Kartasim, puluhan perajin ciu di Wlahar juga menjadikan ciu sebagai topangan hidup di tengah kesulitan dan keterbatasan ekonomi yang membelit mereka.

Dibanding dengan juragan, tengkulak ataupun pedagang penampungnya, pendapatan perajin memang sangat jauh berbeda. Dengan produksi yang panjang hingga mencapai seminggu, ciu produksi perajin hanya bisa dihargai Rp 7.000-8.000 per liter. Sedangkan di pasaran harga miras oplosan yang berasal dari ciu bisa dihargai mulai dari Rp 20 ribuan. Bisa dibilang kehidupan perajin ciu dari dulu memang biasa-biasa saja.

Sebagaimana perajin ciu yang lain iapun mengetahui bahwa pada dasarnya hasil kerajinanya itu melanggar aturan agama dan hukum positif. Namun memang dari keterbatasan pekerjaan, kemampuan dan keterampilan ia tak berdaya untuk bisa beralih ke pekerjaan lainnya. Sampai dengan sekarang dengan membuat ciu itulah ia bisa menghidupi dirinya dan keluarganya. Iapun menyatakan bahwa ciu hasil kerajinannya memang sebenarnya tidak hanya bisa dimanfaatkan untuk hal negatif saja. Dengan dosis dan takaran tertentu, ciu bisa menjadi jamu yang menyehatkan.

Kartasim juga mengalami pengalaman yang serupa dengan perajin ciu lain di desanya. Untuk memproduksi ciu, tidak jarang ia harus berhutang dulu kepada juragannya. Harga gula kelapa yang tinggi seringkali menjadi kendala pasokan bahan baku mereka. Selain gula kelapa, ia juga harus mencari ketan hitam dan singkong sebagai tambahan bahan baku pembuatan ciu tersebut. Proses perendaman adonan cair gula kelapa dan tape ketan hitam ini mencapai seminggu. Baru setelah seminggu itulah ia menunggu pembeli atau tengkulak yang memberinya modal. Posisi tawar mereka dalam menentukan hargapun rendah. Harga ditentukan oleh para tengkulak dan pedagang besar. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa kecuali membuat dan membuat terus ciu untuk bisa menghidupi mereka.

Tak mengherankan ketika harga miras melambung di pasaran, ciu menjadi salah satu alternatif pengganti miras yang dipandang murah. Melambungnya pasaran miras bermerek di pasaran melambung, produksi ciu cikakak itulah menerima dampaknya. Ciu produksi para perajin laris manis. Melihat harga ciu yang gila-gilaan itulah, perajin yang semula tak memproduksipun tertarik untuk memproduksi ciu lagi. Namun panen perajin ciu itu hanya sebentar, karena dua orang perajin tertangkap oleh pihak berwajib.

"Yyah memang seperti itulah pasang surut perajin ciu di sini sejak jaman dulu hingga sekarang. Sebagai perajin kita hanya hidup pas-pasan dari membuat ciu ini. Tapi mau tidak mau saya bisanya bergantung dari sini, karena dari sinilah dari dulu saya hidup. Membuat ciu adalah tulak mlarat bagi saya" pungkas Kartasim seperti menunjukkan kepasrahannya. Anehnya walaupun telah puluhan tahun ia memproduksi ciu, Kartasim mengaku belum pernah setetespun ia merasakan ciu buatannya sendiri.

Sekretaris Desa Wlahar Kadiwan juga membenarkan bahwa tidak hanya Kartasim, sebagian warga Wlahar memang menggantungkan hidup dari pembuatan minuman beralkohol tersebut. Pemberian alat penyulingan dan pelatihan memproses ciu menjadi bioetanolpun pernah diterima oleh para perajin di desa Wlahar. Namun memang dari pengalaman pembuatan dan hasilnya memang belum maksimal. Perbandingan penghasilan dari proses membuat ciu dan bioetanol memang selisihnya sangat sedikit. Padahal prosesnya memakan waktu lagi.

"Perbandingan dari hasil membuat ciu dan etanol ini memang tidak jauh berbeda. Perbandingan dari pembuatan ciu dengan etanol kemarin sekitar 2:1 padahal perlu proses dan waktu lagi. Harga etanolpun tentunya harus tidak jauh berbeda dengan harga BBM seperti bensin. Mungkin dari situlah para perajin belum bisa mempraktikkan hal itu. Sesuai informasi yang ada katanya dalam peraturan yang ada katanya pembuatan etanol ini tidak boleh menggunakan bahan makanan. Padahal di sini orang membuat ciu dengan gula jawa. Jadi perlu pencarian solusi yang tepat untuk permasalahan ini agar para perajin atau warga secara umum bisa terus hidup"jelas Sekretaris Desa Wlahar Kadiwan. *

::memory untuk mengenang perajin ciu yg telah tiada...::
17 Desember 2012

Minggu, 31 Juli 2011

Ribuan Pengikut Bonokeling Ikuti Unggah-unggahan

Ribuan pengikut Bonokeling mengikuti puncak prosesi upacara Unggah-Unggahan Jumat (22/7) kemarin di Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang.

Selain warga pribumi, sekitar 500 orang kerabat Bonokeling juga datang dari sejumlah kecamatan Kabupaten Cilacap. Sebagian besar dari mereka menempuh jarak hingga 60 kilometer dengan kaki telanjang dan mengenakan pakaian adat Jawa. Namun ada sebagian pengikut Bonokeling yang sudah diperbolehkan naik angkutan umum.

"Kalau daerah Daunlumbung, Cilacap mereka berangkat kemarin sejak pukul 03.00 pagi. Kalau kami yang berasal dari Adireja Kecamatan Adipala berangkat pukul 08.00 dan sampai di sini kemarin pukul 14.00," ungkap Harjo Suprapto (33) warga asal Cilacap yang mengaku berangkat dengan 393 warga lainnya.

Setiba di perbatasan Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang, mereka dijemput oleh warga pribumi. Barang bawaan yang mereka pikul berupa hasil bumi dan sayur mayur kemudian diserahkan ke penduduk setempat untuk diolah. Usai beristirahat dan bersilaturahim dengan kerabat Bonokeling lainnya. Para pengikut Bonokeling dari luar daerah melebur dengan penduduk setempat.


Usai tengah malam tiba, para warga yang telah duduk berombongan terpisah lelaki dan perempuan tersebut mengikuti "Nedu" atau membaca dzikir dalam rangka memuji syukur ke hadirat Tuhan. Mereka duduk berjajar di enam rumah adat Balai Pasemuan melafalkan dzikir dipimpin Kyai Bedogol yang juga berjumlah enam bersama juru kunci tertinggi dari pukul 02.00 hingga 05.00.

"Sebelum ada listrik, dulu kita hanya menggunakan dlepak atau lentera minyak klapa bersumbu potongan kapas. Dlepak dipasangkan di dinding dan berjajar. Sehingga suasana khusuk sangat terasa sekali. Namun sekarang karena berbagai pertimbangan kita juga memakai lampu, namuan dlepak juga tetap masih diadakan" ujar Sumitro, yang dipercaya sebagai humas adat Desa Pekuncen.

Sementera para perempuan pribumi memasak nasi dan lauk untuk makanan slamten usai ziarah. Jumat (22/7) pagi kemarin, para bapak menyembelih 17 ekor kambing dan ratusan ayam. Bersama dengan santan dan bumbu lainnya, mereka memasak daging tersebut di dapur umum dadakan di samping balai Pasemuan. Gulai kambing yang disebut 'becek' itu dimasak di dalam ratusan kuali, kendil dan panci dengan tungku batang pisang. Usai matang, 'becek' kemudian ditaruh dalam wadah janur dan daun pisang untuk dijadikan takir.

"Dalam rangkaian upacara ini semua pria memang memakai blangkon, iket, baju warna hitam dan sarung. Sedangkan wanita memakai kemben yang sebagian berwarna putih," kata Sumitro.

Semua mengandung maksud. Kata Sumitro, blangkon berarti ketika belum 'gamblang' (jelas) maka harus 'takon' (bertanyalah). Sementara untuk sarung, mempunyai maksud itu manusia jangan sampai 'kesasar' (tersesat) dan 'kedlarung' (terjebak) ke hal yang buruk. Sementara warna hitam dalam baju yang dikenakan itu menandakan 'teguh cekelan waton ' atau kuat memegang prinsip.
Sedangkan untuk iket ialah mengandung arti, bahwa bentuk segi empat iket yang gelar menyimbolkan empat kiblat manusia dalam dunia dan menandakan pula empat saudara manusia. Setelah digelar maka akan iket dibuat segi tiga ketika harus dipakai dikepala. Itu berarti bahwa segitiga iket tersebut menandakan simbol dari kakang kawah atau kandungan tempat ketuban dalam rahim ibu tempat dilahirkannya manusia. Sehingga itu pemakaian iket menandakan penghormatan kepada ibu.

Di saat warga pribumi memasak dan mempersiapkan hidangan slametan, tamu kerabat Bonokeling yang berasal dari luar daerah melaksanakan prosesi unggah-unggahan. Setelah meminta ijin kepada juru kunci, dengan telanjang kai, para ibu dan remaja putri yang memakai kain, secara bergantian memasuki areal Makam Kyai Bonokeling. Usai masuk gerbang pertama mereka antre bersuci di mata air di kompleks sebelum melakukan ritual ziarah.

Setelah diri mereka suci maka merekapun secara bergantian naik menuju kompleks makam yang berada di atas bukit. Sebelum memasuki pintu gerbang makam ke dua, berulang kali mereka melaksanakan sembah pangabekti dengan duduk jongkok sungkem.Tak lupa sebagian peziarah juga menabur bunga dan membakar kemenyan dan mengucap permintaan sesampai di Makam Kyai Bonokeling.

"Pengikut Bonokeling ya Islam, karena mereka juga bersyahadat. Mereka juga tidak menyembah kepada yang tidak ada, tetapi dengan ziarah mereka meminta ke Tuhan Yang Maha Esa," tegas Sumitro.

Banyaknya peziarah yang bergantian berdoa, membuat prosesi unggah-unggahan berlangsung hingga malam. Usai ziara selesai, dipimpin oleh Juru Kunci Makam Mbah Bonokeling, Kartasari prosesi doa bersama dan slametan dilaksanakan. Sambil menghadap takir berisi 'becek', mereka memanjatkan doa keselamatan dalam puncak upacara unggah-unggahan tersebut.

"Setelah slametan sebagai puncak acara unggah-unggahan, hari Sabtunya menjadi hari bagi ziarah umum bagi warga di sini, sambil membersihkan area makam seusai upacara dan slametan unggah-unggahan hari ini. Sedangkan hari Minggu kita mengadakan 'sadranan' dengan cara masing-masing rumah membuat makanan yang nantinya didoakan oleh para Kyai Bedogol masing-masing. Selanjutnya makanan ini diberikan kepada Kyai Bedogol dan sanak kerabatnya yang ada. Sehingga makna dari sadranan ini dalarm rangka untuk menunjukkan garis keturunan kepada anak cucu" terang Sumitro.

Sumitro menuturkan bahwa dalam sejarahnya awalnya upacara unggah-unggahan ini merupakan upacara pada saat mau menanam padi dan biasanya dilaksanakan di bulan Sadran. Namun seiring dengan masuknya Islam di Banyumas, upacara ini terakulturasi dengan adanya penyambutan bulan Ramadhan dengan cara berziarah ke Makam Mbah Bonokeling. Sehingga usai upacara unggah-unggahanpun, akan dilaksanakan kembali upacara Turunan yang dulunya berasal saat petani akan memulai panen padi. Dan ini dilaksanakan di bulan Syawal.

(Susanto- Untuk Suara Merdeka-Suara Banyumas 23 Juli 2011)

Kamis, 28 Juli 2011

Warga Saka Tunggal Gelar Ziarah Jelang Ramadhan





BERKUMPUL:Sejumlah warga terlihat duduk-duduk menunggu rombongan ziarah di luar kompleks Masjid Saka Tunggal, Desa Cikakak, Kecamatan Wangon Rabu (27/7) malam kemarin.
WANGON-Ratusan warga Desa Cikakak yang berada di sekitar kompleks Masjid Saka Tunggal Desa Cikakak mengikuti kegiatan ziarah kubur sebelum datangnya bulan Ramadhan 1433 Hijriyah, Rabu (27/7) malam.

Juru rawat Makam Mbah Toleh, Turahmat (55) mengatakan kegiatan ziarah itu rutin dilaksanakan oleh warga Desa Cikakak menjelang akhir bulan Sya'ban. Ratusan peziarah akan bergantian melakukan ziarah dipimpin oleh tiga juru kunci.

"Kami biasa melaksanakan kegiatan ziarah ini setiap Senin dan Kamis. Khususnya di akhir bulan Sya'ban memang sudah rutin dilaksanakan secara bersama," kata Turahmat.

Sebelum melakukan ziarah, ratusan warga itu mensucikan diri terlebih dulu dengan berwudlu di Masjid Saka Tunggal. Setelah itu mereka menghadap kepada juru kunci yaitu Bambang Johari, Diman dan Sulam.

Dengan membawa bunga dan kemenyan sebagai perlengkapan ziarah warga secara bersama-sama naik menuju area kompleks Makam Mbah Toleh yang berada di sekitar bukit Jojok Telu. Untuk menerangi kegelapan malam beberapa diantara peziarah membawa lentera kecil.

"Ziarah di malam hari ini biasanya dilaksanakan tiga kali secara bergantian. Mereka membaca wirid, tahlil dan doa mulai sekitar satu jam-an. Pertama ziarah ini dilaksanakan mulai pukul 21.00 hingga tengah malam nanti," jelas Turahmat.

Juru Kunci Makam Mbah Toleh, Sulam (46) mengatakan ziarah kubur itu sudah dilaksanakan secara turun temurun oleh warga setempat dan luar daerah. Tujuan dilaksanakan ziarah itu untuk mengingat mati dan memohon keselamatan kepada Yang Maha Kuasa.

"Sedangkan Mbah Toleh ini memang dipercaya warga sebagai pendiri Masji d Saka Tunggal ini. Makanya selain berziarah ke makam leluhur masing-masing mereka juga berziarah ke Makam Mbah Toleh ini," jelas Sulam.

Usai melaksanakan ziarah, para warga berkumpul di rumah tiga juru kunci setempat. Mereka kemudian bersama-sama menggelar slametan dengan menyantap hidangan dan tumpeng yang sudah disiapkan sebelumnya.(sus-)

Jumat, 22 Juli 2011

Ribuan Pengikut Bonokeling Ikuti Unggah-unggahan

Ribuan pengikut Bonokeling mengikuti puncak prosesi upacara Unggah-Unggahan Jumat (22/7) kemarin di Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang. Selain warga pribumi, sekitar 500 orang kerabat Bonokeling juga datang dari sejumlah kecamatan Kabupaten Cilacap. Sebagian besar dari mereka menempuh jarak hingga 60 kilometer dengan kaki telanjang dan mengenakan pakaian adat Jawa. Namun ada sebagian pengikut Bonokeling yang sudah diperbolehkan naik angkutan umum.
"Kalau daerah Daunlumbung, Cilacap mereka berangkat kemarin sejak pukul 03.00 pagi. Kalau kami yang berasal dari Adireja Kecamatan Adipala berangkat pukul 08.00 dan sampai di sini kemarin pukul 14.00," ungkap Harjo Suprapto (33) warga asal Cilacap yang mengaku berangkat dengan 393 warga lainnya.

Setiba di perbatasan Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang, mereka dijemput oleh warga pribumi. Barang bawaan yang mereka pikul berupa hasil bumi dan sayur mayur kemudian diserahkan ke penduduk setempat untuk diolah. Usai beristirahat dan bersilaturahim dengan kerabat Bonokeling lainnya.

Para pengikut Bonokeling dari luar daerah melebur dengan penduduk setempat.
Usai tengah malam tiba, para warga yang telah duduk berombongan terpisah lelaki dan perempuan tersebut mengikuti "Nedu" atau membaca dzikir dalam rangka memuji syukur ke hadirat Tuhan. Mereka duduk berjajar di enam rumah adat Balai Pasemuan melafalkan dzikir dipimpin Kyai Bedogol yang juga berjumlah enam bersama juru kunci tertinggi dari pukul 02.00 hingga 05.00.

"Sebelum ada listrik, dulu kita hanya menggunakan dlepak atau lentera minyak klapa bersumbu potongan kapas. Dlepak dipasangkan di dinding dan berjajar. Sehingga suasana khusuk sangat terasa sekali. Namun sekarang karena berbagai pertimbangan kita juga memakai lampu, namuan dlepak juga tetap masih diadakan" ujar Sumitro, yang dipercaya sebagai humas adat Desa Pekuncen.

Sementera para perempuan pribumi memasak nasi dan lauk untuk makanan slamten usai ziarah. Jumat (22/7) pagi kemarin, para bapak menyembelih 17 ekor kambing dan ratusan ayam. Bersama dengan santan dan bumbu lainnya, mereka memasak daging tersebut di dapur umum dadakan di samping balai Pasemuan. Gulai kambing yang disebut 'becek' itu dimasak di dalam ratusan kuali, kendil dan panci dengan tungku batang pisang. Usai matang, 'becek' kemudian ditaruh dalam wadah janur dan daun pisang untuk dijadikan takir.

"Dalam rangkaian upacara ini semua pria memang memakai blangkon, iket, baju warna hitam dan sarung. Sedangkan wanita memakai kemben yang sebagian
berwarna putih," kata Sumitro. Semua mengandung maksud. Kata Sumitro, blangkon berarti ketika belum 'gamblang' (jelas) maka harus 'takon' (bertanyalah). Sementara untuk sarung, mempunyai maksud itu manusia jangan sampai 'kesasar' (tersesat) dan 'kedlarung' (terjebak) ke hal yang buruk.

Sementara warna hitam dalam baju yang dikenakan itu menandakan 'teguh cekelan waton ' atau kuat memegang prinsip.
Sedangkan untuk iket mengandung arti, bentuk segi empat iket yang gelar menyimbolkan empat kiblat manusia dalam dunia dan menandakan pula empat saudara manusia. Setelah digelar maka akan iket dibuat segi tiga ketika harus dipakai dikepala. Itu berarti bahwa segitiga iket tersebut menandakan simbol dari kakang kawah atau kandungan tempat ketuban dalam rahim ibu tempat dilahirkannya manusia. Sehingga itu pemakaian iket menandakan penghormatan kepada ibu.

Di saat warga pribumi memasak dan mempersiapkan hidangan slametan, tamu kerabat Bonokeling yang berasal dari luar daerah melaksanakan prosesi unggah-unggahan. Setelah meminta ijin kepada juru kunci, de
ngan telanjang kai, para ibu dan remaja putri yang memakai kain, secara bergantian memasuki areal Makam Kyai Bonokeling. Usai masuk gerbang pertama mereka antre bersuci di mata air di kompleks sebelum melakukan ritual ziarah.

Setelah diri mereka suci maka merekapun secara bergantian naik menuju kompleks makam yang berada di atas bukit. Sebelum memasuki pintu gerbang makam ke dua, berulang kali mereka melaksanakan sembah pangabekti dengan duduk jongkok sungkem.Tak lupa sebagian peziarah juga menabur bunga dan membakar kemenyan dan mengucap permintaan sesampai di Makam Kyai Bonokeling.


"Pengikut Bonokeling ya Islam, karena mereka juga bersyahadat. Mereka juga tidak menyembah kepada yang tidak ada, tetapi dengan ziarah mereka meminta ke Tuhan Yang Maha Esa," tegas Sumitro.


Banyaknya peziarah yang bergantian berdoa, membuat prosesi unggah-unggahan berlangsung hingga malam. Usai ziara selesai, dipimpin oleh Juru Kunci Makam Mbah Bonokeling, Kartasari prosesi doa bersama dan slametan dilaksanakan. Sambil menghadap takir berisi 'becek', mereka memanjatkan doa keselamatan dalam puncak upacara unggah-
unggahan tersebut.

"Setelah slametan sebagai puncak acara unggah-unggahan, hari Sabtunya menjadi hari bagi ziarah umum bagi warga di sini, sambil membersihkan area makam seusai upacara dan slametan unggah-unggahan hari ini. Sedangkan hari Minggu kita mengadakan 'sadranan' dengan cara masing-masing rumah membuat makanan yang nantinya didoakan oleh para Kyai Bedogol masing-masing. Selanjutnya makanan ini diberikan kepada Kyai Bedogol dan sanak kerabatnya yang ada. Sehingga makna dari sadranan ini dalarm rangka untuk menunjukkan garis keturunan kepada anak cucu" terang Sumitro.


Sumitro menuturkan awalnya upacara unggah-unggahan ini merupakan upacara pada saat mau menanam padi dan biasanya dilaksanakan di bulan Sadran. Namun seiring dengan masuknya Islam di Banyumas, upacara ini terakulturasi dengan adanya penyambutan bulan Ramadhan dengan cara berziarah ke Makam Mbah Bonokeling. Sehingga usai upacara unggah-unggahanpun, akan dilaksanakan kembali upacara Turunan yang dulunya berasal saat petani akan memulai panen padi. Dan ini dilaksanakan di bulan Syawal.

( Susanto- for Suara Merdeka, Suara Banyumas, 22 Juli 2011)

Jumat, 12 November 2010

tak harus kau percaya…

Ini cerita yang terjadi di sebuah negeri Sastradireja. Sebuah negeri yang tak mungkin kau temukan di peta manapun. Jika ke sana engkau akan menemui raja Sastranegara dan jika engkau lelaki sejati engkau pasti akan jatuh cinta dengan Puteri Sastrawati dan jika engkau perempuan sejati niscaya engkau akan jatuh hati akan seorang pangeran bernama Pangeran Sastrawarman. Memang nama-nama mereka mirip dengan nama-nama tokoh sejarah kerajaan di negerimu mungkin? Tapi sudahlah. Perlu kau ketahui negeri ini konon hanya dapat ketahui ketika dirimu menjadi orang-orang terpilih. Untuk menjadi orang terpilih engkau harus menjadi orang yang punya fantasi gila dan otomatis dalam anggapan umum engkau akan dianggap orang gila. Dengan menjadi gila engkau kelak akan bisa mengunjungi negeri tersebut.

Tapi apakah engkau mau gila? Itu pertanyaanku kepada semua orang yang berhasrat untuk menapakkan jejak ke negeri Sastradireja. Aku yakin sebagian besar orang tak mungkin berani menjadi gila hanya untuk bisa masuk ke negeri yang tak ada dalam peta manapun walaupun di sana engkau akan menemui banyak cerita yang tak mungkin engkau lupakan dan tak mungkin sependek cerita yang nanti aku ceritakan nanti. Makanya aku berkeyakinan hanya orang-orang yang benar-benar gilalah yang mau dan dapat berkunjung ke negeri Sastradireja.

Suatu hari aku berkunjung ke negeri itu sehingga orang tuaku dan tetangga-tetanggaku mengira aku hilang sehingga mereka mencariku ke hutan seberang desa. Yah mereka mengira aku telah raib diselong oleh jin, setan mrekayangan dan siluman penunggu hutan. Sungguh tak dapat disalahkan karena aku kecil senang sekali naik pohon Asemkamal sehabis pulang sekolah sampai petang. Bahkan tidak jarang aku ketiduran di dahan pohon yang serupa kursi sampai larut malam. Dengan susah payah bapak dan paman menurunkanku yang tidur dengan menggendongnya dengan sarung. Ketika aku sudah tidur aku memang susah sekali dibangunkan. Tidur seperti mayat. Setelah dua hari aku kembali ke rumah, semua orang menanyaiku dari mana dan kujawab dengan cerita ini tapi mereka tidak tidak percaya dan aku yang kecil dibilangnya sudah pandai berdusta. Entah kamu nanti mau mengatakan apa padaku setelah membaca ceritaku ini.

***

Akupun tak tahu kenapa aku bisa sampai bisa berkunjung ke negeri itu. Entahlah, yang pasti suatu petang aku naik pohon asem kamal dan aku ketiduran di sana dan tahu-tahu ketika aku sadar aku telah berada di sebuah beranda rumah khas Joglo jaman kuno dan orang-orang berpakaian kain khas Jawa seperti aku lihat dalam film Tutur Tinular. Dan akulah anak yang berpakaian paling aneh, pikiranku akulah anak yang datang dari masa depan menuju masa lalu. Lalu aku bertanya kepada orang-orang di sana namun ternyata aku tak terlihat oleh mereka. Suara tanpa rupa, tapi anehnya mereka tak mengiraku hantu. Hal itu sudah menjadi hal biasa bagi mereka. Suara tanpa wujud bisa jadi adalah wangsit leluhur yang selalu mereka nanti-nantikan. Ketika aku lapar aku mengambil beraneka sesaji yang ada di setiap bangunan wajar dan pohon besar di sana.

Setelah lama aku berkeliling sebuah desa di negeri itu aku mampir di sebuah rumah dimana sekerumunan anak sedang duduk melingkar dengan seorang kakek tua duduk diantara mereka sambil bercerita tentang negeri mereka yang dulu tak seperti sekarang. Akupun dengan santainya duduk di antara mereka, toh mereka tak melihatku. Namun aneh, kakek tua itu melihat kedatanganku dan mempersilahkanku duduk diantara mereka dengan bahasa isyarat. Akupun mengikuti jalan cerita kakek tua itu dari awal sampai selesai. Dari situlah aku menjadi mengerti bahwa negeri itu adalah negeri Sastradireja dengan penduduk sebagian besar berpekerjaan sebagai pujangga. Pangan sandang dan tempat tinggal sudah bukan lagi masalah bagi mereka. Kegemaran mereka adalah bersastra. Tapi ternyata sebelum itu negeri sastra tertimpa sebuah krisis yang amat dahsyat akibat kemarau panjang. Krisis itu amat mengguncangkan persediaan pangan, sandang, papan.

Namun yang tak kalah menjadi masalah justeru dalam kemarau itu mereka kekurangan krisis daun lontar. Daun lontar adalah media dimana mereka paling suka untuk menulis segala karya sastranya. Anehnya, kemarau itu tanaman lontar hanya bisa berbuah dan berpelepah tanpa daun. Padahal daunlah lontarlah yang menjadi amat penting bagi mereka.

Akhirnya diselenggarakanlah konggres sastrawan di negeri Sastradireja. Semua sastrawan datang. Konon konggres itu diadakan di sebuah desa dengan alasan para sastrawan sudah bosan melakukan konggres di kotaraja. Terlebih dari itu tujuannya adalah untuk mengenal keindahan desa dan memperkenalkan sastra kota kepada orang desa. Di desa diharapkan para sastrawan bisa menemukan banyak kosakata, cerita, setting dan alur yang baru atau yang telah lama mereka tinggalkan. Begitulah bunyi seruan dalam poster-poster dan media masa yang tidak lain berupa rangkaian daun lontar yang tersebar di pelosok negeri itu. Entah siapa yang membuatnya dan menyebarkannya. Tapi yang pasti hal itu serentak terjadi pada hari yang sama tepatnya sejak sepekan sebelumnya, kongres sastrawan muda negeri itu telah dimulai.

Pendek cerita, berdatanganlah para pujangga ke desa itu. Mulai dari penyair muda, pujangga muda , penulis roman, suluk dan babad menampakkan batang hidungnya. Mereka berumur antara sepuluh samapi dupuluh lima tahun. Umur itulah yang konon menurut data Badan Pusat Statstik negeri Sastradireja masuk kategori muda. Ada dari mereka yang dari mereka datang dengan kudanya , delmannya, gerobagnya bahkan dengan jalan kaki. Mungkin di sana belum (saatnya) ada mobil atau kendaraan bermotor lainnya, di sana hanya ada kendaraan berhewan. Penampilan merekaun bermacam-macam . ada yang memakai sepatu, sandal, ada juga yang telanjang kaki. Kebanyakan dari mereka memakai ikat kepala baik itu yang berambut panjang diurai dan yang digelung. Saking bayaknya gaya merka aku tak dapat menguraikannya satu persatu, pokoknya mereka tak seperti aku lihat sebelumnya di jaman kita.

Satu persatu mereka daatang dari berbagai kota da n desa namun setelah sampai pada lokasi mereka kebingungan. Kngres sastrawan mud ibarat kongres dalam cerita, kongres fiktif. Di lokasi meeka tak pernah disambut panitia bahhkan tak pernah tahu sipa panitia. Tak ada administrasi untuk penyai atupun sastrawan muda. Mereka banyak meluapan darah mudanya. Berbicaara, meggerutu, mengupat dengan puisi, memarahi dengan syair, menggerutu dengan kidung lagu dan sajak entah pada siapa. Orang-ornag desa sekitar stu hanya melongo melihat tingkah mereka. Sampai suatu saat muncullah serorang pemuada muncul di tenagtah kekacauan itu. ‘selamat datang wahai para sastraawn muda di kongres sastrawa n muda di desa Sesaksajak ini’ suaranya demikian jernih padahal yang berkata itu hanyalah seorang anak kecil.

Para sastrawan muda yang telah datang hanya kaget dan tak mengira hanya disambut seorang anak kecil bertelanjang dada berambut ikal. Mendengar ucapan selamat datang , ereka haya diam sesaat namun stelah itu mereka memberondong anak lelaki kecil itu dengan berbagai pernyataannn.

‘anak kecil kau mau apa disini, kalu kau tau dimana kami bisa bertemu dengan teman paitia kongres ini dan dimana kai tinggal selama tiga hari di di desa ini. Dimana kami makan, dimana tempat baca puisi membuat sajak merangkai syair, dimana, bagaimana…………dan seterusnya dan seterusnya mengapa semua ini terlihat kacau balau?’

Mendengar itu semua pertanyaan itu seorang anak kecil itu hanya duduk mematung. Beberapa saat kemudian para sastrawan muda itu puas memberondong pertanyaan itu, tubuh anak kecil yang tadinya mematung diam. Namun lama-kelamaan terlihat berbagai macam sajak cacian, syair kedengkian dan puisi kemuakan mengalirkan huruf-hurufnya masuk kedalam kepala anak kecil itu dan setelah itu anak kecil itu seperti berat menahan kepala hingga akhirnya rebah di tengah kerumunan kemarahan para sastrawan muda.

***

Akhirnya dimulailah kongres sastrawan muda dipimpin oleh seorang anak kecil bersuara jernih itu. Disebut-sebutlah bahwa anak kecil itu adalah titisan dari seorang pujangga negeri Sastradireja, bernama Sastraatmaja pendiri dari desa Sesaksajak yang moksa setelah lama meninggalkan kotaraja akibat tidak terima keitka sastra dipergunakan untuk konsprasi kuasa dan alat untuk menindas rakyat. Dialah pengusung genre sastra nglawan kuasa. Rupanya keturunannya yang dikira oleh kakek raja Sastranegra telah mati diburu itu masih hidup sampai sekarang. Entahlah kenapa para sastrawan muda itu begitu takjub dan patuh kepada anak kecil itu yang ternyata bernama Sastrapinunggul.

Sambil duduk santai di lelumutan kerak di bawah rumpun bambu ampel gading semua sastrawan berkumpul. Anak kecil itu menjelaskan bahwa menjelaskan bahwa panitia penyeleggara kongres itu tak lain dia senridri tanpa orang lain. Semeentra para sastrawan muda selaama melakukan kongres dipersilahkan tingal di mana saja dan makan apa saja. Anak kecil itu tahu bahwa para sastrawan hanya berbekal puisi, cerita, dongeng , dan syair pada lembaran lontar dan pada mulut mereka yang telah dihafalkan.

Dalam tiga hari itulah para sastrawan peserta kongres itu ada yang bertahan dan kabur karena tak yakin akan bisa bertahan hidup hanya berbekal karya sastra mereka. Daun lontar berisi sajak tak mungkin mengenyangkan mereka. Sedangkan para penduduk desa Sesaksajak sedang kekurangan pangan akibat kemarau panjang ini dan mereka telah muak dan trauma dengan sajak yang hanya berjejaring dengan penguasa lalim seperti dulu.

Sastrawan muda yang tersisa hanya tinggal sebelas orang dari sekitar seratus sebelas orang. Mereka masih duduk di lelumutan kerak di bawah rumpun bambu ampel gading membahas masalah sastra dan kehidupan negeri Sastradireja. Anak kecil itu kemudian berkata dengan kidung lagu. Suaranya mirip dengan suara orang dewasa. Para sastrawan meyakini bahwa yang menyanyikan kidung mistis itu bukan anak kecil itu, melainkan eyang Sastraatmaja yang sedang merasuk ked alam jasad cucunya.

Dalam kidung itu sastraatmaja menutrukan bahwa keamrau panjang iini tak lain karena kesalahan manusia sendiri yang membuat murka Dewata akibat telah menyalahgunakan sastra bukan lagi sebagai alat penyampai kebajikan namun telah menjadi alat pengadu domba manusia dan alat mencapai kekuasaan. Barangsiapa yang ingin wilyahnya makmur kembali maka merke ak harus berkerja keras tidak hanya menyembah raja lalim dan menjadikan sastra sebagau dewata baru. Begitulah pesan sastraatmaja yang dapat ditangkap waktu itu yang ditangkap dari anak kecil itu. Bersamaan nyanyian kidung selesai terjadilah gemuruh angin besar yang meluruhkan daun-daun kering ampel gading. Semua sastrawan menutup menoleh dan sontak menutupkan jemarinya untuk melindungi mata dari luruhan daun dan kepulan debu. Setelah itu anak itu telah hilang pergi bersama angin yang menyapu tempat itu.

Tanpa anak kecil itu kongres sastra terus berlangsung. Sebalas sastrawan ituoupn menjalankan tirakat menugrangi makan minum selama kongres sastrawan berlangusng. Keitka siang mereka berkumpul di temapat tu, namun mketika malam datang mreka berpencar di berbagai tempat. Mencari inspirasi, duduk di pinggir kali menghayati keheningan tanpa suara gemericik air. Menghayati dingin malam kemarau panjang. Merenungi wangsit dan pesan eyang sastraatmaj tentang musibah kemarau panjang. Ada pula yang duduk bersila di tengah rekah tanah sawah di bawah remang bulan sabit. Ada yang merangkai bait-bait syair dan lagu lewat suara miris tangis anak kecil yang tak lagi bisa menyusu karena air susu ibunya telah kering. Malam membuat mereka merenungi semua, memahami teka-teki sepi dalam kekeringan yang belum diketahui ujungnya.

Selama kongres tidak ada penduduk yang mengikuti dan melihat, mereka telah muak dengan sajak. Desa mereka telah sesak dengan sajak. Mereka tidak peduli dengan adanya pentas syair, puisi dan sajak dan apresiasi sastra apapun. Mereka akan menghargai sastra ketika sastra bisa berguna. Puisi dan syair akan lebih indah ketika mampu menghidupkan tanaman, sajak akan rancak berirama merdu mampu mengundang gemericik air kehidupan. Dan seterusnya dan seterusnya……..sastra akan berguna ketika mampu memanusiakan manusia dan harmoni dengan alam semesta di sekitarnya. Selama itu belum terjadi mereka tidak akan percaya pada sastra.

Suatu siang setelah berdebat cukup lama akhirnya sebelas orang sastrawan itu bersepakat untuk bertaubat pada Dewata atas semua kesalahan yang pernah dilakukan. Menginsyafi kekeliruan dan kemusyrikan, menghindari bid’ah-bid’ah yang jelas-jelas merugikan umat manusia dan alam semesta.

Malamnya, di bawah remang bulan sabit mereka berangkat menyusuri jalan penduduk desa menuju mata air Belik Banyumumbul mereka naik terus menuju sebuah bukit. Di atas bukit Pamujan tempat petilasan Eyang Sastraatmaja moksa itulah, akhirnya mereka bersebelas bersujud meminta wangsit Dewata untuk meminta petunjuk dan memanjatkan pinta agar kemarau panjang segera usai.

Siang terakhir akhirnya disepakati bahwa sastra yang baik adalah sastra yang menyuarakan kebenaran bukan sastra yang melindungi kepentingan penguasa yang lalim. Sebelas sastrawan menyetujui bahwa bersastra tidak harus berebut lewat media masa sebagai lahan satu-satunya penyair untuk hidup. Mereka bersepakat bahwa sastrawan sejati adalah semua orang mampu menggunakan bahasanya untuk kebenaran, kebaikan umat manusia dan alam semesta. Sastra harus memayu hayuning bawana. Semua orang bisa jadi sastrawan.

Tersebutlah setelah beberapa tahun kemudian, bahwa kesebelasan sastrawan itu menjadi pelopor petani sastrawan, pandita yang pujangga, ahli tatanegara yang ahli sastra, pedagang yang benar menggunakan neraca dan bijak menggunaka katanya dan ada pula yang menjadi guru bahasa dan sastra yang tidak membebek pada kata penguasa.

Tersebutlah Revolusi sastra negeri Sastradireja itu bermula. Dari desa Sesaksajak sebelas sastrawan itu bersusah payah membuat saluan air dari sambungan panjang batang bambu dari belik Banyumumbul menuju pemukiman penduduk. Penduduk yang awalnya enggan berangsur-angsur penduduk sadar akan kemanfaatan usaha para sastrawan itu. Mereka mulai belajar kembali sastra di jeda bertani dan berdagang mereka. Mereka ajarkan anak mereka syair dan cerita sebelum anaknya terlelap. Mereka rasakan dengan sastra keindahan hidup, Mereka dan percaya sastrawan tidak hanya bisa berdusta dan menyihir kata-kata. Sastrawan juga mampu berbuat yang bermanfaat bagi manusia. Setelah beberapa lama di desa Sesaksajak itu, sebelas sastrawan itu tak terekam jejaknya. Kemudian tersiar kabar bahwa mereka moksa padahal sebenarnya mereka telah dibunuh oknum penguasa yang resah dengan genre sastrasejati. Sastra yang menampilkan segalanya apa adanya tanpa ada prasangka dan kuasa angkara.

***

Setelah mendengar cerita itulah, si kakek tua itu menghampiriku. Menyalamiku dan berkata ‘akulah Sastrapinunggul, anak kecil dalam cerita itu’ setelah itu aku ditepuknya dan aku tak sadar. Ketika aku bangun aku sudah berada di atas dahan pohon Asemkamal. Kuceritakan semua ini berulang kali tapi mereka tidak percaya. Termasuk kau juga mungkin akan mengatakan bahwa semua yang telah kukisahkan ini bohong. Saranku jika engkau tak percaya sering-seringlah engkau tidur di atas dahan pohon Asemkamal. Barangkali Eyang Sastrapinunggul akan membawamu menuju negeri Sastradireja itu.

Purwokerto, Senen Kliwon 1 Juni 2009

foto:mobil gubernur bibit waluyo dan bupati mardjoko saat meninjau PLTMH di Pesawahan, Gununglurah Cilongok beberapa bulan lalu.