Kamis, 24 Juli 2008

Tangan Abah Yang Bercahaya

Syair al barjanzi itu terus mengalun berulang-ulang diiringi bunyi tepakan rebana oleh tangan-tangan ibu-ibu berseragam putih. Ibu-ibu itu berdiri berjajar rapi di serambi masjid berwarna hijau pinggir jalan itu. Sementara jamaah pengajian juga ikut berdiri rapi memenuhi jalan beraspal depan masjid yang telah ditutup untuk acara itu. Atap panggung yang telah didirikan terlihat basah karena hujan sore itu mengguyur. Sementara jalananpun tidak jauh berbeda. Aku mencium bau amis katak yang mungkin baru saja terlindas roda motor di jalan itu sewaktu hujan. Padahal mungkin katak itu sedang bermain-main dengan hujan sambil mengejar pasangannya.
Semua mata jamaah pengajian malam itu mengarah ke barat jalanan yang basah. Lisan mereka tetap saja mengucap berulang-ulang syair biografi Kanjeng Nabi. Mereka masih berdiri layaknya sikap sempurna ketika upacara bendera di sekolah. Tiba-tiba setelah lama berdiri semua jamaah, dengan kompak melongokkan kepalanya menuju arah barat ketika di jalan mulai terllihat serombongan orang berjalan menuju arah masjid.

Thola’al badru ‘alaina min tsaniyyatil wada’ : Wajabasy syukru ‘alaina mada’a lillahi da
Ayyuhal mab’utsufiina : Ji tabil amril mutha’

“Abah… abah sudah datang” kata temanku di samping kiriku yang berdiri.
“Iya” jawabku singkat, namun semua mata tertuju pada satu sosok dalam rombongan itu yang ke arah masjid. kelibat-kelibat sosok itu mulai terlihat. Sosoknya kecil memakai sarung hitam dan jas hitam. Namun wajahnya tak terlhat olehku karena terhalang oleh kepala jamaah pengjian yang ingin melihat Sang Abah Kyai yang baru datang. Semakin dekat sosoknya terlihat dengan jelas. Syair bacaan sholawat itu masih saja dibaca berulang-ulang dengan bunyi rebana yang ditepak-tepak.
“Masya Allah” mulutku refleks mengucap ketika sosok wajah teduh bercahaya semakin dekat dengan ke arah masjid. Aku melihat sesosok Abah yang berpakaian serba hitam, mukanya teduh bercahayan dengna balutan sorban hitam dikepalanya diiring oleh para jamaah.

Semakin dekat saja sosok Abah berjalan menuju kerumunan jamaah pengajian yang sedang berdiri menantinkannya sejak lama. “apa yang membuat orang yang sebegitu dihormati, bahkan dinantikan kehardirannya” tiba-tiba temanku nyeletuk kepadaku. “Mungkin ikhlasnya” kataku sok tahu, padahal aku tak tahu pasti kenapa sesosok manusia biasa jadi sangat dihormati oleh manusia lain.
“Sungguh berbeda dengan dosen-dosen kita di kampus, bagaimana dosen-dosen dinantikan kehadirannya di tengah-tengah kampus.” Lagi-lagi temanku nyeletuk padaku. Rupanya dari tadi ia juga sedang memikirkan sosok yang semakin dekat menuju kerumunan jamaah pengajian. Rupanya ia sedang membandingkan Abah Kyai dengan dosen-dosen di kampus yang pandai bersilat lidah membicarakan konsep logika dan angka pada mahasiswanya.

Ketika Abah telah memasuki arena pengajian dengan atap panggung yang basah, kerumunan jamaah itu berebut, berdesak mendekati sang Abah untuk bersalaman. Aku bersama temanku pun tak mau kalah ikut bersalaman dengan beliau. Semakin cepat, semakin dekat abah berjalan melintasi kursi posisi tempat kami berdua duduk. Aku telah berdiri berdiri sejak lama menantikannya melintas dihadapan kami. Jujur saja aku, dadaku berdegub kencang dan semakin kencang ketika Abah semakin dekat denganku . tiba saatnya akhirnya sang abah malintasi jalan di depanku. Akupun langsung meraih tangannya, untuk beralaman dan mencium tangannya seperti jamaah-jamaah lain. Seolah tangan abah adalah makanan yang dinanti-nanti setelah kami seharian berpuasa.

“Tangannya bercahaya” ucapku dalam hati saat aku salaman dan mencium tangannya. Rasanya aku tak percaya ternyata di dunia ini memang benar ada tangan yang bercahaya. Ketika aku mencium tangannya aku merasakan ada kesejukan yang menghangatkan suasana malam yang dingin. Ada desir seperti air mengalir dan menetes dingin ke dalam relung kalbuku yang sudah sekian lama gundah. Aku ingin berlama-lama mencium tangan itu bahkan aku ingin selamanya mencium tangan bercahaya itu, biar hatiku dan jiwaku selalu adem ayem dan tentrem menghadapi hidup di jaman edan ini. Aku semakin tak percaya ternyata di dunia ini masih ada orang yang memiliki tangan yang bercahaya.

Hatiku berkata mungkin inilah yang dsebut pengalaman spiritual yang tak bisa dibagikan keada orang lain. Mungkinkah yang kurasakan ini sama dengan perasaaan orang lain. Adakah pengelihatanku itu sama dengan yang lain ketika menyalami tangan Abah yang bercahaya. Rasanya terenyuh saat aku bisa menyentuh tangannya dengan tanganku yang penuh lekatan dosa. Mungkin ketika tanganku berasalam dengan tangan beliau, seluruh debu kotoran yang ada di tanganku bahkan di hatiku tersapu bersih oleh air telaga Kautsar yang jernih membersihkan. Masya Alloh….

Sebenarnya aku ingin bercerita dengan teman samping kirirku namun rasanya aku malu. Mugkinkah yang dirasakanya sama dengan apa yang aku rasakan. “Bagaimana orang bisa begitu dihormati, seperti itu?” sekali lagi teman samping kiriku bertanya kepadaku. Mendengar pertanyaannya aku hanya menggelengkan kepala saja, bukan pertanda bahwa aku tidak tahu. Terbersit di hatiku, bisakah tanganku bisa menjadi seperti tangannya. Bercahaya seperti bintang dan selalu menyejukkan ketika ada mata yang memandang. Wajahnya teduhnya mampu menenteramkan hati yang gelisah. Saat aku mencium tangannya aku merasakan ada yang lain dari yang lain. Yah…tangan itu bercahaya aku hanya bisa mengatakan itu.

“Sementara abah itu terus berjalan dan setiap jamaah menyalaminya dengan takdzim. Entah mengapa semua orang di situ seperti mencintainya, tepatnya tersirhir olehnya. Mugkinkah Sang Abah punya sihir, tapi hatiku mengatakan tidak mungkin Sang Abah memilliki sihir. Aku terus mengamati perjalanan Abah sampai tempat duduk yang telah disedikan khusus untuknya. Setelah sampai dia masih saja disalami, bukan menyalami. Bahakan berebut orang ingin menyalaminya. Aku lihat abah bersalaman bersama Kyai-Kyai dan Pak Lurah sambil berpelukan. Rasanyr aku semaikin iri melihat beliau. Mungkinkah itu yang namanya karomah?

Aku telah duduk dikursi. Sholawat al barjanzi dan bunyi rebanapun telah berhenti bersamaan ketika Sang Abah duduk. Pembawa acara membacakan susunan acara, sementara pikirku terus melayang, bekelana dalam ruang imaji yang tak pernah aku singgahi sebelumnya.
“Aku berpikir dan membayangkan seandainya aku ditakdirkan menjadi anaknya, tapi tak mungkin karena aku sekarang sudah menjadi anak bapakku. Atau kalau tidak aku ingin jadi menantunya. Tapi apakah dia punya anak perempuan? Apakah beliau sudi menjadikanku menantu beliau? Padahal statusku, fisikku, ilmuku, agamaku bisa dibilang masih sangat dangkal. Tangankupun tak bercahaya seperti tangan beliau. Wajahku hampir tak pernah teduh, wajahku gersang ibarat padang pasir tanpa oase. Mulutku tak pernah fasih melafal ayat suci Tuhan dan Sabda Kanjeng Nabi yang dikutip, Orang selalu percaya pada setiap tutur kata diucapnya. Sementara aku hanya orang yang gagap untuk berbicara kejujuran aku wasis ketika berbicara dosa maksiat dan syahwat. Nada jawabul jawab seorang qori yang melantunkan ayat-ayat awal surat Luqman itu menyentakku, khayalanku yang melayang seketika turun menukik tajam menuju lembah kesadaranku.

Pikiranku semakin berkecamuk dan hatiku semakin merintih ketika kudengan suara saritilawah membacakan terjemahan surat luqman itu. Terbayang olehku bagaimana sikapku selama ini kepada orang tua. Bagaimana aku membohongi orang tua tentang kiriman uang, kebutuhan kuliah dan sebagainya. Bagaimana aku selalu menghambur-hamburkan uang kirimannya untuk berbuat maksiat. Aku harus berbakti. Aku harus menghormati bapaku dan ibuku. Tanpa terasa dalam khayalku aku berharap pada Tuhan, tentang impianku agar bisa berbuat baik pada orang tua dan sering bisa mencium tangan-tangan bercahaya seperti tangan Abah Kyai. Terimakasih yang tak terhingga untuk teman di samping kiriku yang telah membatalkan acara begadang di malam minggu dan susah payah mengajakku ke pengajian ini. Mungkin kaulah kran yang mengalirkan hidayah Tuhan untukku setelah selama ini aku telah mengabaikanNya.

Aku akhirnya mengikuti pengajian itu sampai selesai, mendengarkan ceramah Abah Kyai dan tak pernah bosan terpana memandang tangan Abah Kyai yang bercahaya dan selalu bertanya apa yang membuat tangan itu bercahaya?

Purwokerto, 24 Juli 2008
Cerita ini terinspirasi sosok Abah Ipung (K.H Saiful Anwar Zuhri Rosyid)

1 komentar:

Samaranji mengatakan...

Assalamu'alaikum...