"mengisi ruang antara ada dan tiada" tempat menuang catatan jati diri, sosial budaya, agama, keseharian lokalitas wong penginyongan.
Jumat, 31 Oktober 2008
senyum
heeeeeeeeeeeee
ternyata yang kutargetkan dapat tujuh desa
satu desa,
motorku batuk-batuk
jadi mohon maaf
Kamis, 23 Oktober 2008
kosong
melolong
tanpa isi tanpa makna
mengulang
dalam kelam
bangkit
mampir
kepolosan
ketidak tahuan
sadar
berpikir
bertindak
tanpa kata tidak
Senin, 20 Oktober 2008
LARASATI
Larasati duduk di sebuah batu besar di tepi kali. Matanya yang sayu memandang aliran air kali. Seakan ada yang dicarinya. Kedua tangannya memeluk kedua kakinya beserta dagunya yang dibenamkan diantara kedua lututnya yang bersatu. Bibir mungilnya mengatup. Aingin kali mempermainkan rambut panjangnya yang terurai.
Di sekitar tempat larasati duduk, rimbun pohon pandan itu menjadi istana bagi burung paruh udang dan kepodang. Kali itu menjadi sumber perairan bagi sawah-sawah yang mengapitnya. Sawah-sawah itu mulai menguning. Serombongan burung emprit terbang menyerbu serumpun padi yang menguning. Suaranya yang gemericit, ramai sekali. Serombongan emprit itu menikmati biji-biji padi petani. Batang-batang padi itu bergoyang-goyang dan melengkung-lengkung ketika serombongan emprit itu hinggap dan berpindah kesana kemari untuk bermain sekaligus mencari makan.
“larasati…larasati…”suara itu datang dari kejauhan. Nampak seorang perempuan yang rambutnya digelung dan memakai kain jarit bermotif kawung, melambaikan tangannya kea rah larasati yang seduduk mematung. Suara itu rupanya membangunkan lamunan larasati. Gadis itu bangkit. Tanpa menyahut ia berlalu meninggalkan pinggiran kali.
Ibunya memerlukan bantuannya di rumah. Larasati menuju daput. Ditemuinya ibu yan gsedang sbuk menyalakan tungku batu dngan kayu bakarnya. Setelah menyala ditinggalkannya. Larasati kemudiansibuk memasak bersama ibunya untuk mengirimkan makanan untuk bapak dan kulinya di sawah.
Larasati melenggang di jalan kecil yang diapit persawahan. Melalui pematang sawah ditujunya sebuah gubug di tengah sawah itu. Tangan kanannya menjinjing rantang dan makanan dan gelas. Tangan kirinya membawa ketel air. Anign utara menghapas padi-padian yang mulai menguning. Larasati terus melenggang . Di gubung beratapkan ilalang itu tiga orang terlihat duduk-duduk. Kepulan asap rokok tembakau buatan tangan mereka sendiri.
*****************
Siapa yang tak kenal larasati. Di desanya ia dikenal sebagai kembang desa. Sudah banyak ibarat bunga, sudah banyak kumbang yang telah mencoba menghisap madunya. Tapi jangankan menghisap manis sari madunya, mendekati bunganya saja susah. Belum satupun yang mampu pemuda di desa itu yang mampu menaklukkan hatinya.
Kesukaan larasati yang sering menyepi di tepi kali mulai menggelisahkan orang tuanya. setiap kali selesai mengantar makanan ke sawah untuk bapaknya. setiap kali selesai memasak, mencuci dan menjemur, ia kemudian langsung duduk di tepi kali. sepertinya ia amat nyaman ketika berada di tepi kali, dengan rimbunan pandan ayng berduri. sering sekali banyak yang mencoba menggodanya dan melamarnya, namun jawabanya selalu saja tidak atau belum. banyak tetangga yang selalu menegurnya.
”Laras aa tidak taku nanti kulitmu tertusuk duri pandan yang tajam.”
”Laras apa tidak takut kesambet setan kali. demit-demit di sini galak-galak”
”Laras, mendingan kamu terima lamaran anak Pak Lurah itu. dari pada kamu kluntang-klantung tidak jelas jluntrungannya. duduk di tepi kali setiap hari.”
TO BE CONTINUED....
TUKANG OJEK
Jalan menuju pasar temat mangkal ojegnya,berliku-liku tidak pernah lurus seperti pikirannya. sepanjang perjalanan ia berpikir tentang keluarganya. perekonomian keluarganya yang semakin sulit. terbayang anaknya yang besok kemungkinan besar tidak ikut study tour ke Jakarta karena tak ada biaya. Perasaan bersalah pada anak isterinya semakin menyesakkan dadanya yang selama ini telah sesak oleh penyakit asma yang kata orang merupakan warisan dari ayahnya yang meninggal tanpa meninggalkan warisan barang sepetak sawahpun layaknya teman-teman di desanya.
pagi itu sebenarnya ia telah berangkat ke rumah bosnya untuk mengambil motor sewaan ojegnya yang dicicil bersamanya namun karena motor bos dipakai anaknya seperti biasanya tanpa ada kejelasan pulang jam berapa dan kapan. iapun kembali ke rumah. di branda rumahnya yang kecil ia duduk termenung di sebuah kursi kayu panjang warisan mertuanya saat menikah. pandangannya yang kosong menembus kekosongan halaman rumahnya yang tak pernah ada pohon besar mengelilinginya. hanya barisan rumput teki dan ilalang kecil yang mengelilingi rumah mungil berdinding anyaman bambu itu. mulutnya yang kosong tanpa asap rokok ditutupinya dengan tangan yang memangku dagunya. kelihatan sekali tangannya sudah mulai keriput, tak sepadan dengan jumlah usianya.
Dari kejauhan halaman rumahnya, tepatnya seberang jalan rumahnya sawah menguning membentang. terlihat banyak orang sedang sibuk memanen padi. ada yang yang sedang semangat membabat rumpun-rumpun padi yang ranum menguning, ada yang sibuk memanggul, ada yang sibuk mengetam. bulir-bulir padi itu rontok lepas dari tangkainya. sementara anak-anak berlarian ke sana kemari tanpa arah yang jelas dengan tawa keceriaan yang tampak dari rona wajah dan keluguan mereka. mereka yang ada di sawah seperti tak pernah peduli dengan matahari yang menyala-nyala siang itu.
”Pak, saya ikut panen padi ya?”
”Oh maaf, mas. petakan-petakan sawah di sini sudah dibagi-bagi pada setiap anggota keluarga. jadi kami masing-masing juga telah jelas bagian kami masing-masing.”
”Oh....begitu ya Pak. Terima kasih. kalau begitu saya barangkali bisa membantu barang sedikit ”
”tenaga kami sekeluarga, kayaknya sudah cukup”
beberapa kali dia mencoba untuk membantu memanen padi di sawah seberang jalan itu, tapi beberapa kali itu pula ia ditolak dengan alasan yang sama. intinya karena lelaki itu bukanlah anggota keluarga si tuan tanah.
lamunannya terbangun ketika lamat-lamat mendengar percakapan antara isteri dan anaknya. semakin lama semakin jelas.
”mbok, besok saya harus membayar study tour ke Jakarta. paling lambat tanggal 15 jadi kurang lima hari lagi.
TO BE CONTINUED...
Minggu, 05 Oktober 2008
menangisi ramadhan
karena sekarang menjadi sepi
tak ada lagi sholat jamaah
tak tampak lagi teriak anak-anak jamaah
tak terdengar lagi tadarus firmanNya
tak terkumpul lagi sodakoh-sodakoh jariah
pedagang-pedagang merindukannya lagi
merindukan laba segunung dari dagangannya
tanpa peduli tangis perih si duafa
tanpa sodakoh untuk si miskin papa
setan-setan menertawakan kepergiaannya
karena belenggu telah hilang dari tubuhnya
aktivitas dosa mulai berjalan
goyangan dan erangan syahwat kembali memuncak
antara setan dan manusia hampir tak ada beda
manusia telah berubah menjadi setan
setan semakin kesetanan
astaghfirullah al ngadzim
semoga ENGKAU selalu menjagaku wahai Yang Berkuasa membolak-balikan hati
antara mudik dan balik
ada yang bersepi ria
ada yang memakai motor
ada yang memakai mobil
ada yang pulang bawa motor
ada yang kembali bawa mobil
ada yang suka cita
ada yang duka cita
ada kecelakaan
ada kecelakaan
ada kecelakaan
salah siapa?