BANYUMAS-Ada fenomena menarik ketika melihat perayaan lebaran pengikut Aboge di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Sabtu (11/9) lalu. Di tengah ratusan jamaah sholat Idul Fitri, ternyata diperkirakan separuh dari pengikut Aboge yang ada adalah generasi muda. Tak mengherankan kalau Desa Cikakak masih terkenal sebagai basis pengikut Aboge di Banyumas.
Walaupun telah memasuki dunia pendidikan formal dan lingkungan kehidupan modern yang sarat akan pengetahuan dan teknologi, ternyata sebagian generasi muda Desa Cikakak masih teguh mengikuti lebaran versi perhitungan Aboge. Padahal dibandingkan dengan generasi muda muslim secara umum, mereka akan menjadi sangat berbeda dan menjadi minoritas. Pasalnya mereka merayakan lebaran lebih akhir dibandingkan dengan lebaran yang ditetapkan oleh pemerintah.
Jono (21) pemuda asal Desa Cikakak, yang sudah tiga tahun merantau di Jakarta, tiap tahun harus bisa pulang mudik untuk berlebaran di kampung halamannya. Mengerjakan sholat Idul Fitri sesuai dengan perhitungan Aboge seperti sudah menjadi hal yang wajib baginya. Untuk itulah dengan berbagai cara, iapun harus bisa pulang dan lebaran di tiap tahunnya.
"Walaupun di sana (Jakarta) ada sholat Idul Fitri tapi itu kan berbeda. Tidak seperti di sini, menggunakan perhitungan Aboge. Jadi mau tidak mau saya harus pulang untuk bisa berlebaran dengan saudara-saudara kita di desa. Karena memang perhitungan Aboge di sini sudah turun temurun seperti ini. Makanya kita sudah seharusnya menjaga tradisi leluhur ini" ungkap Jono kemarin (11/9).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wahyu (16). Meskipun sebagian besar teman-temannya di sekolah merayakan lebaran hari Jumat, ia mengaku tidak masalah. Bahkan karena mengikuti perhitungan Aboge, di saat teman-temannya lebaran ia masih merampungkan ibadah puasa hari terakhirnya.
"Saya puasa lebih akhir dan lebaran lebih akhir. Teman-teman saya di sekolah juga tahu itu. Tapi tidak masalah, karena memang di sini sejak dulu seperti itu. Kita ikuti saja kebiasaan di sini, apalagi perhitungan Aboge ini konon warisan dari Mbah Toleh yang mendirikan Masjid Saka Tunggal di sini" ujar siswa SMK di Purwokerto ini. Menurut perhitungan Aboge, di Tahun Dal ini, puasa sebulan penuh kemarin dilaksanakan mulai hari Kamis Pahing karena berpedoman pada Sanemro (Puasa Enem Loro) atau jatuh pada hari ke-6 dan pasaran ke-2 dari Sabtu Legi (Manis).
Walaupun mengikuti lebaran menggunakan versi perhitungan Aboge namun ternyata kebanyakan generasi muda pengikut Aboge di Desa Cikakak belum sepenuhnya mengetahui secara pasti sejarah, asal usul dan perhitungan Aboge mereka. Mereka lebih banyak menurut dan taat dengan petunjuk orang tua dan sesepuh masyarakat setempat. Hal ini dikarenakan bahwa sosialisasi nilai-nilai beragama bagi generasi muda pengikut Aboge dilaksanakan melalui tingkatan atau tahapan.
Sulam, tokoh pengikut Aboge di Cikakak menyatakan bahwa sosialisasi nilai-nilai dan perhitungan Aboge ini di Cikakak ini memang dilaksanakan secara bertahap kepada generasi penerusnya. Namun untuk mempelajari berbagai inti hakikat beragama memang diberlakukan sejumlah syarat dan tahapan kepada para generasi penerusnya.
"Mereka akan dikasih tahu tentang hakikat beragama ini secara bertahap termasuk juga perhitungan Aboge ini. Mereka yang bisa mempelajari adalah mereka yang biasanya telah berkeluarga. Karena mereka yang masih muda apalagi masih sekolah biasanya belum bisa mengikuti secara penuh" ungkap Sulam usai melaksanakan ibadah Idul Fitri kemarin.
Tahapan dan persyaratan pembelajaran pendidikan akidah Islam yang diterapkan untuk generasi penerus pengikut Aboge setempat ini memang tidak lepas dari pengaruh ajaran tarekat Satariyah yang diikuti oleh sebagian pengikut Aboge. Sebagai pengikut tarekat memang tidak semua hal bisa dibicarakan dan diajarkan secara terbuka kepada masyarakat umum. Pembelajaran dan sosialisasi nilai akidah agama ini biasanya dilakukan secara eksklusif di kalangan para pengikut tarekat bersama gurunya yang disebut sebagai 'mursyid'. Selain kepada orang tua, para murid punya kewajiban untuk berbakti, taat dan 'takdim' kepada gurunya.
Melalui tradisi keberagamaan yang terpengaruh tarekat atau tasawuf inilah, para pengikut Aboge melaksanakan keberagamaannya. Merekapun bersikap dan bersifat toleran dengan kondisi di sekitarnya. Tak mengherankan dalam keberagamaan dan kesehariannya para pengikut Aboge ini sangat kental dengan pola akulturasi Islam dan kejawen. Penghormatan terhadap arwah leluhurpun merupakan tradisi yang tak dapat ditinggalkan oleh mereka. Pola keberagamaan ini terjadi mayoritas pada pengikut Aboge di Banyumas baik itu di desa-desa, pengikut Bonokeling yang menggelar Perlon Unggah-unggahan di Bulan Sadran dan pengikut Aboge Cikakak yang menggelar Jaro Rojab dan ziarah kubur tiap Senin dan Kamis.(san)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar